Aku di kenal sebagai gadis tomboy di lingkunganku. Dengan penampilanku yang tidak ada feminimnya dan hobby ku layaknya seperti hobby para lelaki. Teman-teman ku juga kebanyakan lelaki. Aku tak banyak memiliki teman wanita. Hingga sering kali aku di anggap penyuka sesama jenis. Namun aku tidak perduli, semua itu hanya asumsi mereka, yang pasti aku wanita normal pada umumnya.
Dimana suatu hari aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya, kami bertemu dalam suatu acara tanpa sengaja dan mengharuskan aku mengantarkannya untuk pulang. Dari pertemuan itu aku semakin dekat dengannya dan menganggap dia sebagai ibuku, apalagi aku tak lagi memiliki seorang ibu. Namun siapa sangka, dia berniat menjodohkan ku dengan putranya yang ternyata satu kampus dengan ku, dan kami beberapa kali bertemu namun tak banyak bicara.
Bagaimana kisah hidupku? yuk ikuti perjalanan hidupku.
Note: hanya karangan author ya, mohon dukungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Suasana di Kampus
Pagi itu kampus terlihat sibuk seperti biasa. Aku baru saja sampai setelah mengurus kafe kecilku di pagi hari. Dengan langkah cepat, Aku menuju gedung utama, tas selempangku bergoyang seiring langkahku. Saat melewati taman kampus, suara familiar terdengar memanggilku.
“Senja! Tungguin gue, dong!” teriak Hanan dari belakang.
Aku berhenti dan menoleh. Hanan berlari kecil menghampiriku sambil tersenyum lebar. “Lo selalu aja buru-buru, kayak dikejar waktu.”
“Ya jelas. Lo kan nggak ngerti rasanya ngejar kelas setelah kerja pagi-pagi,” jawabku datar.
Hanan tertawa kecil. “Lo keren banget sih, multitasking kayak gitu. Kalau gue, kayaknya udah tumbang duluan.”
Aku hanya mengangkat bahu. “Hidup itu soal tanggung jawab, Han. Kalau gue nggak usaha sekarang, siapa yang bakal ngelakuin buat gue?”
Hanan terdiam sejenak, lalu menepuk bahuku. “Santai, Senja. Lo nggak harus kuat sendirian, kok.”
“Ngomong-ngomong, lo mau ke mana?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.
“Ke kelas, lah. Tapi sebelumnya, gue cuma mau kasih tau...” Hanan mendekat sambil menurunkan suaranya. “Lo tau nggak, tadi di grup kampus ada yang ngomongin lo lagi?”
Aku mengerutkan kening. “Ngomongin apa lagi?”
“Katanya lo sering banget bareng sama Galaksi akhir-akhir ini.”
Aku langsung melotot. “Dan itu masalah buat mereka?”
Hanan mengangkat bahu. “Gue nggak tau. Tapi lo tau sendiri, Galaksi itu pusat perhatian. Banyak yang penasaran, mungkin juga iri.”
“Han, serius deh, gue nggak ngerti kenapa orang suka ribet urusan yang nggak penting,” kataku dengan nada jengkel.
Hanan hanya tertawa. “Itulah kampus, Senja. Drama selalu ada. Tapi kalau lo butuh back-up, gue siap kok jadi bodyguard lo.”
Aku mendengus, lalu berjalan lebih cepat. “Mending lo urusin diri lo sendiri.”
Di sisi lain kampus, Galaksi sedang duduk di bawah pohon besar di taman. Buku catatannya terbuka, tapi dia lebih sibuk melamun daripada membaca. Arya, teman dekatnya, duduk di sebelahnya sambil menyandarkan punggungnya ke batang pohon.
“Lo kelihatan mikirin sesuatu,” ujar Arya.
Galaksi menghela napas. “Nggak ada apa-apa.”
“Bohong. Gue kenal lo terlalu lama buat percaya omongan itu. Ada hubungannya sama Senja, kan?”
Galaksi tersenyum tipis. “Lo ini kenapa semua langsung dikaitin ke Senja?”
“Karena lo beda, bro. Tiap kali ada dia, lo kayak lebih hidup.”
Galaksi tidak menjawab. Dia tahu Arya benar, tapi dia juga tahu bahwa perasaannya terhadapku masih terlalu rumit untuk dijelaskan, bahkan untuk dirinya sendiri.
Di kantin kampus, suasana sedikit canggung ketika Aku baru saja duduk bersama Hanan. Maya, salah satu mahasiswi terkenal, tiba-tiba datang menghampiri meja kami.
“Senja, gue bisa ngomong sebentar?” tanya Maya dengan senyum tipis yang terkesan formal.
Aku menatapnya bingung. “Ngomong apa?”
Maya duduk di depanku, pandangannya tajam. “Lo kenal dekat sama Galaksi, kan?”
Aku mengangguk perlahan. “Ya, kenal. Tapi kenapa?”
Maya melipat tangan di depan dada. “Gue cuma mau bilang, hati-hati. Galaksi itu punya banyak perhatian di kampus ini, dan nggak semua orang suka kalau lo terlalu dekat sama dia.”
Aku menatap Maya dengan ekspresi datar. “Kalau lo suka sama Galaksi, kenapa nggak bilang langsung ke dia? Kenapa ngomong ini ke gue?”
Maya terlihat sedikit terkejut, tapi dia segera tersenyum kecil. “Gue cuma peduli. Gue nggak mau ada drama yang nggak perlu.”
“Gue nggak punya waktu buat drama,” balas ku. “Lo nggak perlu khawatir.”
Maya berdiri dengan anggun. “Bagus kalau begitu.”
Setelah Maya pergi, Hanan memandangiku dengan ekspresi campur aduk antara kagum dan geli.
“Gila, Senja. Lo bener-bener ngomong gitu ke Maya? Hebat, sih,” ujar Hanan.
“Gue nggak peduli, Han. Kalau mereka punya masalah sama gue, itu urusan mereka,” jawabku sambil mengaduk minumannya.
Namun, jauh di dalam hatinya, Senja merasa terganggu. Dia tahu ini bukan pertama kalinya orang membicarakan hubungannya dengan Galaksi, dan dia mulai merasa tidak nyaman dengan perhatian yang tidak diinginkan itu.
Sore harinya, ketika Aku hendak pulang, Aku melihat Galaksi berdiri di dekat gerbang kampus. Dia melambaikan tangan begitu melihat aku mendekat.
“Lo nunggu siapa?” tanyaku.
“Lo, lah,” jawab Galaksi sambil tersenyum.
Aku mengernyit. “Lo kenapa?”
“Gue denger Maya ngomong sesuatu ke lo tadi siang,” katanya.
Aku langsung mendengus. “Lo tahu dari siapa?”
“Hanan. Dia nyeritain semuanya.”
Aku menghela napas. “Gue bener-bener nggak ngerti kenapa orang-orang ribet banget soal kita.”
Galaksi tertawa kecil. “Biarin aja. Orang selalu punya opini.”
“Masalahnya, gue nggak suka jadi bahan omongan,” kata Senja.
Galaksi menatapku dengan lembut. “Kalau itu bikin lo nggak nyaman, gue minta maaf. Tapi lo nggak harus peduli sama apa yang mereka pikirkan. Yang penting, lo tetap jadi diri lo.”
Aku terdiam. Kata-kata Galaksi selalu terasa menenangkan, meskipun dia masih ragu dengan perasaannya sendiri.
“Lo yakin?” tanyaku pelan.
“Yakin,” jawab Galaksi tanpa ragu.
Aku tersenyum kecil. Mungkin, untuk pertama kalinya, Aku merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti dirinku tanpa meminta apa-apa.
Hari itu berakhir dengan tenang, tapi Aku tahu perjalanan ini masih panjang. Perasaanku terhadap Galaksi masih penuh keraguan, dan aku tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: keberadaan Galaksi di sisiku membuat segalanya terasa lebih mudah dihadapi.
To Be Continued...
apa yg dikatakan Senja benar, Galaksi. jika mmg hanya Senja di hatimu, tidak seharusnya memberi Maya ruang dalam hidupmu. padahal kamu tahu betul, Maya jatuh hati padamu.
Tidak bisa menjaga hati Senja, berarti kesempatan lelaki lain menjaganya. jangan menyesal ketika itu terjadi, Galaksi