Di negeri magis Aelderia, Radena, seorang putri kerajaan yang berbakat sihir, merasa terbelenggu oleh takdirnya sebagai pewaris takhta. Hidupnya berubah ketika ia dihantui mimpi misterius tentang kehancuran dunia dan mendengar legenda tentang Astralis—sebuah senjata legendaris yang dipercaya mampu menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Dalam pelariannya mencari kebenaran, ia bertemu Frieden, seorang petualang misterius yang ternyata terikat dalam takdir yang sama.
Perjalanan mereka membawa keduanya melewati hutan gelap, kuil tersembunyi, hingga pertempuran melawan sekte sihir gelap yang mengincar Astralis demi kekuatan tak terbayangkan. Namun, untuk mendapatkan senjata itu, Radena harus menghadapi rahasia besar tentang asal-usul sihir dan pengorbanan yang melahirkan dunia mereka.
Ketika kegelapan semakin mendekat, Radena dan Frieden harus memutuskan: berjuang bersama atau terpecah oleh rahasia yang membebani jiwa mereka. Di antara pilihan dan takdir, apakah Radena siap memb
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dzira Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Hutan Kegelapan
Fajar baru saja menyingsing ketika Radena dan Frieden meninggalkan kota Aelderia. Jalan setapak yang mereka tempuh perlahan berubah menjadi jalur berbatu yang mengarah ke Hutan Kegelapan, wilayah yang terkenal dengan aura magisnya yang berbahaya.
Hutan itu disebut sebagai tempat di mana sihir dunia Aelderia pertama kali lahir, tetapi juga tempat banyak petualang kehilangan nyawa mereka. Pohon-pohon di dalamnya menjulang tinggi seperti raksasa, dengan cabang-cabang yang membentuk atap alami, menghalangi cahaya matahari.
“Jadi, apa rencana kita setelah masuk ke sana?” tanya Frieden sambil berjalan dengan santai di samping Radena.
Radena menarik napas dalam, mencoba menjaga nada serius. “Kuil pertama yang disebut dalam legenda Astralis ada di tengah hutan ini. Kita harus menemukannya sebelum sekte gelap itu.”
Frieden tersenyum. “Kedengarannya sederhana. Hanya melewati hutan penuh makhluk mematikan, menemukan kuil tersembunyi, dan memastikan kita tidak mati. Apa lagi yang bisa salah?”
Radena meliriknya dengan tajam. “Kalau kau terus bercanda, aku mungkin akan mulai berpikir bahwa membawa kau adalah kesalahan.”
Frieden mengangkat tangan seolah menyerah. “Baik, baik. Aku serius. Tapi kau harus mengakui, sedikit humor bisa membantu di tempat seperti ini.”
Radena hanya mendengus, tetapi tak bisa menahan senyum kecil yang terselip di wajahnya.
Bahaya Pertama
Saat mereka melangkah lebih dalam ke hutan, atmosfer di sekitar mereka berubah. Udara menjadi berat, dan suara burung atau serangga yang biasanya terdengar di hutan menghilang sepenuhnya.
“Apa kau merasakan itu?” tanya Frieden, berhenti sejenak.
Radena mengangguk. Sihir di dalam dirinya bergetar pelan, seolah memperingatkannya akan bahaya.
“Kita tidak sendiri di sini,” katanya dengan suara rendah.
Tiba-tiba, semak-semak di depan mereka bergoyang, dan dari balik bayangan muncul makhluk besar berbentuk serigala, tetapi dengan mata merah menyala dan bulu hitam pekat yang tampak seperti asap.
Radena mengenali makhluk itu dari pelajaran sihirnya di istana. “Fenris Umbra,” bisiknya. “Serigala bayangan. Mereka memburu siapa pun yang masuk ke wilayah mereka.”
Frieden menarik pedangnya, bersiap menghadapi serangan. “Kau tidak bilang hutan ini penuh dengan makhluk seperti itu.”
“Karena aku juga tidak tahu mereka akan muncul,” balas Radena sambil mengangkat tongkat sihirnya.
Serigala itu menggeram rendah, menunjukkan taring tajamnya. Lalu, tanpa peringatan, ia melompat ke arah mereka.
Radena bereaksi cepat, melantunkan mantra perlindungan. “Aegis Lumina!”
Perisai sihir berbentuk kubah muncul di depan mereka, menahan serangan serigala itu. Namun, makhluk itu tidak menyerah. Ia mengitari mereka, mencoba mencari celah.
“Perisai ini tidak akan bertahan lama,” kata Radena.
Frieden mengangguk. “Kau tahan dia, aku akan mencoba menghabisinya.”
Sebelum Radena bisa memprotes, Frieden melompat keluar dari perlindungan perisai, bergerak cepat dengan pedangnya. Ia menebas serigala itu dengan pukulan presisi, tetapi makhluk itu melesat seperti bayangan, menghindari serangan dengan mudah.
Radena menyadari bahwa serigala itu terlalu cepat untuk serangan biasa. Ia harus menggunakan sihir yang lebih kuat.
“Frieden! Beri aku waktu!” serunya.
Frieden mengangguk, menarik perhatian serigala itu dengan mengayunkan pedangnya. “Ayo, makhluk busuk! Cobalah tangkap aku!”
Radena memfokuskan energinya, merasakan sihir di dalam dirinya memanas. Ia melantunkan mantra yang pernah diajarkan oleh gurunya, mantra yang lebih sulit tetapi sangat kuat.
“Ignis Solaris!”
Tongkatnya memancarkan cahaya terang, dan bola api besar muncul di udara sebelum meluncur ke arah serigala itu. Makhluk itu melolong kesakitan ketika api itu mengenai tubuhnya, membakar bayangan yang menyelubunginya. Dalam beberapa detik, ia menghilang menjadi abu.
Frieden menatap Radena dengan kagum. “Itu luar biasa. Kau benar-benar berbakat, Putri.”
Radena tersenyum kecil, menurunkan tongkatnya. “Jangan terlalu kagum. Kita baru saja mulai.”
Petunjuk Kuil
Setelah mengalahkan serigala bayangan, mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih waspada. Jejak sihir yang mereka ikuti semakin kuat, membimbing mereka menuju sesuatu yang terasa seperti pusat energi magis.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah celah di hutan, tempat pohon-pohon besar terbuka untuk memperlihatkan sebuah bangunan tua yang tersembunyi di antara akar-akar raksasa.
“Kita menemukannya,” kata Radena dengan napas tertahan.
Kuil itu tampak seperti sisa-sisa peradaban kuno, dengan pilar-pilar batu yang dihiasi ukiran naga dan simbol-simbol sihir. Sebuah pintu besar berdiri di tengahnya, dihiasi dengan simbol yang sama seperti yang ada di buku Astralis.
Frieden berjalan mendekat, mengamati ukiran itu. “Ini pasti tempat yang dimaksud. Tapi bagaimana kita membukanya?”
Radena mendekati pintu, merasakan sihir di dalamnya. Ia tahu ini bukan pintu biasa. Ada teka-teki yang harus dipecahkan.
“Simbol-simbol ini... Aku pernah melihatnya di buku,” katanya, mengeluarkan Astralis dari tasnya. Ia membandingkan ukiran di pintu dengan gambar di dalam buku.
“Apa kau bisa memecahkannya?” tanya Frieden.
Radena mengangguk pelan. “Aku butuh waktu. Ini seperti... mantra tersembunyi.”
Sambil Radena bekerja, Frieden berjaga di sekitar, memastikan tidak ada bahaya yang mengintai. Namun, ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka sedang diawasi.
“Ayo cepat, Radena,” gumamnya, matanya terus memindai hutan di sekitar mereka.
Radena akhirnya menyelesaikan mantra itu, melantunkan kata-kata kuno yang ia baca dari buku: “Veritas Astra Lumina!”
Pintu besar itu bergetar, kemudian terbuka perlahan, memperlihatkan sebuah ruangan gelap di dalam kuil.
“Kita berhasil,” kata Radena dengan lega.
Namun, sebelum mereka bisa masuk, suara geraman rendah terdengar dari balik bayangan. Frieden menarik pedangnya, sementara Radena mengangkat tongkatnya lagi.
“Sepertinya kita belum sendirian,” kata Frieden, bersiap menghadapi ancaman baru.