NovelToon NovelToon
Pulang / Di Jemput Bayangan

Pulang / Di Jemput Bayangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Mata Batin / Kutukan / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Novita Ledo

para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33

Orang Tua yang Putus Asa

Hancurnya pohon kegelapan di Giripati tidak mengakhiri segalanya. Para arwah yang kehilangan tubuh mereka kini berkeliaran tanpa tujuan, mengganggu pikiran para penduduk. Namun, sesuatu yang lebih mengerikan mulai terjadi: anak-anak yang pernah hilang dalam kejadian masa lalu mulai muncul dalam wujud arwah di depan orang tua mereka, memanggil-manggil dengan suara lembut.

“Ibu, Ayah… tolong aku… aku kedinginan…”

Arwah-arwah ini tidak langsung menyerang. Sebaliknya, mereka membawa kenangan, tangisan, dan rasa bersalah yang menusuk hati. Para orang tua yang kehilangan anak-anak mereka mulai kehilangan akal sehat. Mereka percaya bahwa arwah-arwah itu tidak datang untuk menghancurkan, melainkan meminta pertolongan.

Malam itu, beberapa orang tua berkumpul di rumah Pak Dirman, seorang lelaki tua yang kehilangan tiga anaknya dalam tragedi Giripati. Dengan mata yang penuh dendam dan tekad, ia berbicara:

“Jika anak-anak kita terjebak di dalam hutan, maka kita harus masuk dan membebaskan mereka. Tidak peduli apa risikonya.”

Orang-orang yang berkumpul setuju, meski mereka tahu bahayanya. Sebagian besar penduduk desa menganggap rencana ini bunuh diri. Namun, rasa kehilangan mengalahkan akal sehat mereka. Dengan membawa peralatan seadanya—lampu minyak, pisau, dan benda-benda pusaka—mereka memutuskan masuk ke hutan Giripati untuk mencari anak-anak mereka.

Perjalanan ke Dalam Kegelapan

Malam itu, di bawah bulan purnama yang redup, delapan orang tua berjalan menuju hutan Giripati. Kabut yang tebal menyelimuti mereka begitu mereka melangkah masuk. Suara bisikan halus terdengar dari segala arah, memanggil nama mereka.

“Ibu… Ayah… tolong aku…”

Pak Dirman, yang memimpin rombongan, mulai melihat bayangan anak bungsunya, Rini, di antara pepohonan. Gadis kecil itu berlari-lari kecil, tertawa riang seperti dulu. Ia mengangkat tangan, memanggil ayahnya untuk mengikutinya lebih dalam ke hutan.

“Rini! Tunggu, Nak!” teriak Pak Dirman, mulai kehilangan kendali.

Yang lain mencoba menghentikannya, tetapi mereka pun mulai melihat bayangan anak-anak mereka masing-masing. Satu per satu, mereka terpisah, berjalan mengikuti sosok anak-anak yang mereka kenal. Tapi setiap langkah membawa mereka lebih dalam ke dalam kegelapan.

Hutan yang Hidup

Semakin dalam mereka masuk, semakin aneh suasana hutan. Pohon-pohon terlihat seperti hidup, dengan cabang-cabang yang melengkung seperti tangan. Akar-akar hitam mulai menjalar di sekitar mereka, berdenyut seperti urat nadi. Bisikan berubah menjadi jeritan-jeritan menyakitkan, seolah-olah ada ribuan jiwa yang tersiksa di dalamnya.

Pak Dirman akhirnya melihat sosok Rini berdiri di tengah lingkaran akar. Gadis itu tersenyum, tetapi senyum itu terlalu lebar, dan matanya hitam pekat. Ia berbicara dengan suara yang menggema:

“Ayah… Aku kedinginan. Tolong aku. Tapi kau harus menyerahkan dirimu untukku.”

Akar-akar hitam mulai merayap ke kaki Pak Dirman, tetapi ia tidak peduli. Air matanya mengalir deras, dan ia merentangkan tangannya untuk memeluk Rini. Ketika tubuh mereka bersentuhan, sosok Rini berubah menjadi bayangan gelap yang merasuk ke dalam tubuhnya. Pak Dirman terjatuh, tubuhnya gemetar sebelum akhirnya diam.

Di tempat lain, orang tua lainnya menghadapi cobaan serupa. Sosok anak-anak mereka terus memanipulasi, menggunakan kenangan dan rasa bersalah untuk memaksa mereka menyerah. Beberapa melawan, tetapi kebanyakan akhirnya menyerah pada kegelapan.

Yang Bertahan

Di antara mereka, hanya satu yang tetap sadar—Bu Marni, seorang ibu tua yang kehilangan satu-satunya anak, Aris. Ketika ia melihat bayangan anaknya, ia tahu bahwa itu hanyalah tipu muslihat. Ia menggenggam tasbih di tangannya, berdoa dengan penuh keyakinan.

“Aris, jika kau mendengarku, maafkan Ibu. Tapi Ibu tidak akan menyerahkan diri pada kegelapan ini.”

Doa-doa itu menjadi perisai, melindunginya dari akar-akar yang mencoba merayap ke tubuhnya. Ia melihat sesuatu yang lain di dalam kegelapan: sebuah jalan menuju pohon baru yang tumbuh di tengah hutan. Pohon itu lebih kecil dari sebelumnya, tetapi akarnya menjalar jauh dan kuat. Di batangnya, wajah anak-anak terlihat samar, mata mereka hitam, tetapi bibir mereka bergerak seperti memohon pertolongan.

Dengan sisa tenaga, Bu Marni berhasil mencapai pohon itu. Ia menemukan bahwa di bawah pohon itu ada sebuah lubang besar, seperti mulut yang menganga ke dalam kegelapan tanpa dasar. Dari lubang itu, ia mendengar ribuan suara, termasuk suara anaknya, memohon untuk dibebaskan.

Pertarungan Terakhir

Bu Marni menyadari bahwa pohon itu adalah pusat dari segala kegelapan. Ia mengambil pisau pusaka yang dibawanya dan mulai menyerang akar-akar yang melilit batang pohon. Pohon itu mengamuk, menggerakkan akar-akar seperti ular yang menyerang. Namun, Bu Marni terus melawan, berdoa di setiap langkahnya.

Ketika ia menusukkan pisau ke batang pohon, cahaya terang meledak dari dalamnya. Wajah-wajah anak-anak di pohon itu mulai memudar, berubah menjadi kabut yang naik ke udara sebelum menghilang. Pohon itu runtuh perlahan, dan suara jeritan yang mengerikan memenuhi hutan sebelum akhirnya lenyap.

Bu Marni jatuh terduduk, tubuhnya lemah tetapi jiwanya penuh kedamaian. Ia merasa bahwa anak-anak yang terperangkap akhirnya bebas, termasuk Aris. Namun, ia juga tahu bahwa ia adalah satu-satunya yang selamat. Teman-temannya telah menyerahkan diri pada kegelapan, dan tubuh mereka kini menjadi bagian dari hutan itu.

Pengorbanan yang Tak Terlupakan

Bu Marni kembali ke desa dengan wajah penuh kesedihan. Ia membawa cerita tentang apa yang terjadi di Giripati dan memperingatkan bahwa meskipun pohon itu telah hancur, kegelapan tidak pernah benar-benar hilang.

Malam itu, Bu Marni bermimpi. Ia melihat Aris tersenyum kepadanya, dengan cahaya lembut di sekelilingnya.

“Terima kasih, Ibu. Aku bebas sekarang,” kata Aris sebelum menghilang ke dalam cahaya.

Namun, di sudut mimpinya, Bu Marni melihat sesuatu yang lain—sebuah tunas kecil yang tumbuh di tengah hutan, berdenyut perlahan seperti menunggu waktu untuk bangkit kembali.

**

1
Tomat _ merah
Ceritanyaa baguss thorr, mmpir balik ke ceritaku yg Terpaksa dijodohkan
そして私
numpang lewat, jangan lupa mampir di after book bang
Novita Ledo: Yups, bentar yah
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!