Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6:Bayangan yang Memudar
Ardan berjalan melalui kegelapan yang terasa tak berujung, hanya diterangi oleh cahaya kecil di dalam hatinya. Kegelapan di sekelilingnya tidak lagi terasa seperti ancaman, melainkan teman bisu yang selalu ada. Langkahnya semakin mantap, dan meski rasa takut masih menggantung di udara, ia mulai menerima keberadaan itu sebagai bagian dari dirinya.
Namun, setiap langkah membawa bisikan yang membelah keheningan. Itu bukan suara dari luar, melainkan suara dari pikirannya sendiri—suara yang mengingatkannya akan kegagalan dan dosa-dosa masa lalunya.
"Kenapa kau meninggalkan semuanya, Ardan? Bukankah kau ingin mereka menyelamatkanmu?"
"Apa kau yakin bisa melawan takdirmu? Kau bahkan tidak bisa melawan dirimu sendiri."
Ardan berhenti sejenak, mengambil napas panjang. Setiap kata itu seperti belati yang menusuk dadanya, membuatnya ingin menyerah. Tapi cahaya kecil dalam hatinya tetap bersinar, meskipun samar.
Ia meremas dadanya, mencoba menenangkan gemuruh di dalam dirinya. “Aku akan terus maju,” katanya kepada dirinya sendiri. “Aku tidak akan membiarkan bayangan ini menang.”
---
Tidak lama kemudian, kegelapan di depannya mulai berubah. Kabut kelabu menggantikan kegelapan mutlak, dan bentuk-bentuk samar mulai terlihat. Pohon-pohon kering dengan cabang melengkung seperti tangan, tanah retak yang berbisik setiap kali ia melangkah, dan langit yang berwarna merah darah—semuanya terlihat seperti dunia yang pernah ia impikan dalam mimpi buruknya.
Di tengah pemandangan itu, ia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti. Sebuah rumah kecil berdiri di kejauhan, tampak rapuh tetapi memancarkan rasa familiar yang menyakitkan. Itu adalah rumah masa kecilnya, tempat ia pertama kali merasakan apa itu ketakutan.
Ardan mendekati rumah itu dengan langkah ragu. Setiap langkah terasa seperti membawa beban berton-ton di bahunya. Pintu rumah itu terbuka sedikit, seolah mengundangnya masuk. Ia berhenti di ambang pintu, menatap ke dalam.
Ruang tamu yang sederhana itu tampak persis seperti yang ia ingat. Kursi tua di sudut, meja kecil dengan goresan di permukaannya, dan jendela besar yang selalu membiarkan sinar matahari masuk. Namun, tidak ada sinar matahari sekarang, hanya bayangan yang bergerak tanpa arah.
“Kenapa aku di sini lagi?” bisiknya.
Sebuah suara menjawab dari dalam.
"Karena ini adalah tempat segalanya dimulai."
Ardan memutar tubuhnya, mencari sumber suara itu. Di sudut ruangan, ia melihat seorang anak kecil duduk di lantai. Anak itu tampak berusia delapan atau sembilan tahun, dengan wajah yang penuh kesedihan dan mata yang kosong.
Itu adalah dirinya sendiri.
---
Ardan tidak tahu harus berkata apa. Ia mendekati anak itu perlahan, lututnya gemetar. “Apa… apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya akhirnya.
Anak itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia menatap Ardan dengan mata yang penuh keputusasaan. Setelah beberapa saat, ia berkata,
"Kenapa kau meninggalkan aku di sini, sendirian?"
Pertanyaan itu seperti pukulan keras di dada Ardan. Ia mengingat hari-hari itu—hari-hari ketika ia merasa sendirian di dunia ini, terjebak dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, tetapi malah menjadi tempat teror. Ia ingat rasa sakit, rasa takut, dan rasa ingin melarikan diri.
“Aku…” Ardan mencoba menjawab, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokannya. “Aku tidak tahu. Aku hanya ingin melupakan semua ini.”
Anak itu berdiri, matanya berkilat dengan kemarahan yang tiba-tiba.
"Melupakan tidak membuat semuanya hilang! Aku tetap di sini, terjebak, karena kau tidak mau menghadapinya!"
Ruangan itu mulai berubah. Dinding-dindingnya retak, lantainya bergetar, dan bayangan di sekitarnya mulai menyerang. Ardan mundur, tetapi anak itu tetap berdiri tegak, tidak bergeming di tengah kekacauan itu.
“Kau tidak mengerti!” Ardan berteriak. “Aku tidak bisa tinggal di sini! Aku harus pergi! Kalau tidak, aku tidak akan selamat!”
Anak itu tertawa getir.
"Dan kau pikir pergi menyelamatkanmu? Lihat dirimu sekarang, Ardan. Kau masih terjebak di sini, meskipun kau sudah melarikan diri."
---
Ardan terdiam. Kata-kata anak itu menusuk lebih dalam daripada bayangan yang mengepungnya. Ia tahu anak itu benar. Ia mungkin telah meninggalkan rumah itu bertahun-tahun yang lalu, tetapi ia tidak pernah benar-benar bebas darinya.
Ia menatap anak itu dengan penuh rasa bersalah. “Aku minta maaf,” katanya akhirnya, suaranya bergetar. “Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku terlalu takut.”
Anak itu menatapnya untuk waktu yang lama, lalu berkata dengan suara yang lebih lembut,
"Rasa takut itu tidak salah, Ardan. Tapi kau tidak bisa membiarkannya menguasaimu. Aku tidak ingin kau melupakan aku. Aku ingin kau menerima aku, karena aku adalah bagian dari dirimu."
Cahaya kecil di dalam hati Ardan mulai bersinar lebih terang. Ia menyadari bahwa anak itu adalah simbol dari semua rasa sakit dan ketakutan yang selama ini ia hindari. Ia harus berhenti melarikan diri.
Dengan langkah mantap, ia mendekati anak itu dan meraihnya dalam pelukan. Anak itu terasa nyata—hangat dan rapuh, seperti memeluk bagian dari dirinya yang telah lama hilang.
“Aku tidak akan meninggalkanmu lagi,” bisik Ardan.
Anak itu tersenyum untuk pertama kalinya, dan dengan perlahan, tubuhnya memudar menjadi cahaya yang menyelimuti Ardan. Ruangan itu berhenti bergetar, dan bayangan di sekitarnya lenyap.
---
Ketika Ardan membuka matanya, ia berada di tengah ladang yang dipenuhi bunga liar. Langit biru membentang di atasnya, dan angin lembut meniup rambutnya. Dunia yang gelap telah lenyap, digantikan oleh keindahan yang damai.
Ia merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa mampu melangkah maju tanpa rasa takut.
Ia menatap ke depan, di mana jalan lain menunggunya. Dengan cahaya di hatinya yang sekarang bersinar terang, ia melangkah menuju babak baru dalam hidupnya.
---