Raka Sebastian, seorang pengusaha muda, terpaksa harus menikah dengan seorang perempuan bercadar pilihan Opanya meski dirinya sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih.
Raka tidak pernah memperlakukan Istrinya dengan baik karena ia di anggap sebagai penghalang hubungannya dengan sang kekasih.
Akankah Raka menerima kehadiran Istrinya suatu saat nanti atau justru sebaliknya?
Yuk simak ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Pak Vino mengusap ujung matanya yang basah, lalu segera beranjak dari ruangan itu.
Pak Darren masih duduk di ruang tunggu dengan memainkan ponselnya.
Ia baru mengalihkan perhatian saat Pak Vino datang dan duduk di sisinya.
"Bagaimana?" tanya Pak Vino.
"Aku sudah menghubungi Dokter Hendrik, katanya dia akan menyempatkan waktu pagi ini. Oh iya, untuk tes DNA, dia bisa membantu menghubungkan dengan ahlinya. Kalau bisa pagi ini dilakukan pengambilan sampel."
Pak Vino mengangguk.
"Sambil menunggu, bagaimana kalau kita sarapan di kafe dulu."
"Boleh. Maaf, sudah membuatmu repot pagi ini."
"Aku yang seharusnya minta maaf, sebagai seorang Ayah aku gagal mendidik Raka. Dia tidak bisa memperlakukan Istrinya dengan baik."
Tak ada jawaban dari Pak Vino.
"Ngomong-ngomong ... apa yang akan kamu lakukan kalau hasilnya positif? Apa kamu akan mengambil Nirma dan memisahkannya dari Raka?" Ada nada keraguan saat Pak Darren mengucapkan kalimat itu.
Pak Vino menghela napas panjang.
"Aku rasa kamu pasti tahu jawabannya."
"Ya, aku mengerti. Kalau ada di posisimu, aku akan melakukan hal yang sama."
**
**
Sambil menunggu kedatangan dokter, Pak Vino dan Pak Darren menghabiskan waktu dengan sarapan di sebuah kafe yang menjadi salah satu fasilitas rumah sakit.
Setelah sarapan Pak Vino baru teringat bahwa ponselnya tidak aktif. Dia langsung terburu-buru membuka benda pipih tersebut.
Benar saja, nama 'ibu negara' memenuhi pemberitahuan pesan masuk dan juga panggilan tidak terjawab.
"Kenapa?" tanya Pak Darren saat melihat Pak Vino serius memandangi layar ponsel.
"Aku lupa menghubungi Resha. Dia pasti akan marah."
Pak Darren terkekeh.
"Sebentar, aku akan menghubunginya dulu."
Pak Vino beranjak sebentar untuk menghubungi sang Istri.
Suara wanita itu terdengar panik saat menerima panggilan dari Suaminya.
"Kamu di mana, Mas? Bima bilang kamu pergi sejak semalam, ya?"
"Maaf, Sayang. Semalam kamu sudah tidur dan aku tidak mau membangunkan kamu." jawab Pak Vino pelan.
"Kenapa suara kamu serak? Kamu habis menangis, ya?"
"Sedikit. Semalam aku bermimpi dan terbawa rasa sedih. Makanya bangun langsung menangis."
"Oh ya? Mimpi apa?"
"Aku mimpi memeluk Zahra, dalam mimpiku dia pulang ke rumah kita. Rasanya benar-benar seperti nyata, dia memanggilku Mama. Aku memeluknya dan tidak mau melepasnya."
Pak Vino mengulas senyum.
"Mimpi itu akan segera terwujud, karena Zahra akan kembali pada kita. Kamu pasti akan sangat bahagia kalau tahu Zahra kita masih ada. Maaf, aku belum bisa memberitahu kamu. Setidaknya aku harus punya bukti kuat kalau Nirma memang Zahra."
"Mungkin Zahra sedang butuh doa dari Mamanya." ucap Pak Vino.
"Aku tidak pernah berhenti mengirim doa untuknya."
"Iya, Sayang. Ngomong-ngomong ... aku sekarang di rumah sakit bersama Darren. Semalam Nirma dilarikan ke rumah sakit."
"Apa? Nirma sakit?" Bu Resha memekik kaget.
"Iya. Kata dokter gejala DBD."
"Ya Allah. Apa boleh aku ke sana, Mas?"
"Boleh, Sayang. Kebetulan Mawar juga akan kesini setelah mengurus Jia dan Jio."
"Baiklah, aku akan menghubungi Mawar."
"Kita bertemu di rumah sakit saja, ya."
"Iya, Mas."
"Kenapa, Ma?" tanya Zayn, yang berada di meja makan bersama Brayn dan Bima.
Bu Resha meletakkan ponselnya di meja. Ia tampak penuh khawatir.
"Nirma ... kata Papa, semalam dilarikan ke rumah sakit."
Brayn dan Zayn saling lirik satu sama lain.
"Semalam Nirma memang demam tinggi. Aku ke rumah mereka semalam bersama temanku untuk memeriksanya. Kalau Mama mau ke rumah sakit kita berangkat bersama saja. Aku juga mau ke rumah sakit." usul Brayn.
"Aku ikut ya, Ma." Zayn ikut menimpali.
"Bima juga mau ikut!"
"Kamu harus sekolah dulu. Nanti saja kalau mau lihat Kakak Nirma." ucap sang Kakak sulung.
**
**
Perlahan Nirma membuka mata pagi itu. Hal pertama yang hadir dalam pandangannya adalah Raka, yang sedang menatapnya khawatir.
Masih dikuasai kantuk, Nirma melirik keadaan sekitar.
Jarum infus yang menempel di pergelangan tangan kiri membuatnya sadar sedang berada di rumah sakit.
"Kamu sudah bangun?" ucap Raka.
"Saya kenapa, Mas?"
"Semalam kamu demam tinggi dan mimisan. Aku bawa kamu ke rumah sakit."
"Maaf, saya merepotkan Mas Raka."
"Tidak .." ucap Raka, seraya menggenggam tangan Nirma. "Aku minta maaf, semua ini salahku. Kamu sampai sakit dan aku tidak tahu."
Dalam sekejap bola mata Nirma dipenuhi kristal bening, hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia bahkan mengira sedang bermimpi.
Bagaimana tidak, Raka yang biasanya dingin itu tiba-tiba bersikap baik. Tidak hanya menemani, Raka juga membantunya ke kamar mandi, lalu menyuapinya sarapan.
"Kenyang, Mas. Terima kasih." ucap Nirma lemah.
"Tapi kamu baru makan sedikit. Bagaimana cepat sembuh kalau makannya sedikit begini." Ia kembali menyodorkan sesendok bubur. Namun, Nirma mengatupkan bibir.
"Saya ... mual."
"Kamu tidak suka rasa buburnya?"
Nirma menggelengkan kepalanya. Aroma kayu manis dari makanan itu membuatnya mual.
"Mau aku belikan sarapan yang lain? Kamu suka apa?"
"Terima kasih, tapi tidak usah. Saya merasa kenyang."
"Tidak! Kamu harus makan. Tunggu sebentar, aku belikan menu sarapan yang lain di depan."
"Tidak usah, Mas. Jangan repot-repot."
Namun, Raka tak mengindahkan ucapan Nirma.
Erlan segera beranjak.
Nirma hanya menatap punggung Suaminya yang kemudian menghilang di balik pintu. Ia menghela napas sambil bersandar di tempat tidur.
Suara ketukan pintu membuat Nirma tersadar.
Wanita itu segera mengambil kain penutup wajahnya.
Khawatir jika yang datang adalah seorang laki-laki.
"Selamat pagi. Maaf, saya mau mengambil peralatan makannya. Apa sudah selesai?" tanya wanita itu.
"Sudah, silahkan." jawab Nirma.
"Terima kasih sebelumnya."
"Sama-sama."
Ketika wanita itu melangkah masuk, Nirma menatapnya lekat-lekat. Suara wanita itu terasa familiar.
Seperti pernah mendengarnya entah di mana. Begitu pun dengan wajahnya, meskipun ia menggunakan masker yang menutupi sebagian wajah.
Hingga saat tangan wanita itu mengulur, mata Nirma membulat penuh. Dadanya mendadak terasa sesak.
Bekas luka sayatan pada pergelangan tangan kanan membuatnya mampu mengenali wanita itu.
"Ibu...?" gumam Nirma pelan.
Wanita itu menoleh sekilas dengan alis berkerut. Ia memandang wanita bercadar di hadapannya penuh tanya.
"Bu ... ini Nirma... Ini Ibu, kan?" ucap Nirma lirih, lantas membuka kain yang menutupi wajahnya.
Selama beberapa saat wanita itu terpaku di tempat. Matanya berair. Perlahan ia mendekat, membelai wajah gadis itu.
"Ini Ibu, kan? Ibu ... ini Anak Ibu...." Nirma mulai terisak, sementara wanita itu masih terpaku.
"Nirma." Ia membuka masker yang menutupi wajahnya.
Tangis Nirma pun pecah di ruangan itu. Ia memeluk wanita yang telah pergi meninggalkannya di pondok beberapa tahun yang lalu.
Selama beberapa saat keduanya saling melepas rindu.
Seakan tak percaya dipertemukan secara tiba-tiba dalam situasi tak terduga.
"Ini benar-benar kamu, Nak? Nirma? Anak Ibu?" Ia melepas pelukan sejenak.
Membelai wajah itu dan menciumi keningnya.
"Ibu dari mana saja? Nirma lama menunggu Ibu. Setiap malam Nirma menunggu Ibu di pondok? Kenapa Ibu tidak menjemput Nirma, Bu?"
"Maafkan Ibu. Ibu belum bisa memenuhi janji untuk menjemput kamu. Keadaan Ibu sekarang belum memungkinkan." ucap wanita itu.
Kembali meneliti wajah putrinya diiringi derai air mata.
Gadis kecil yang ia tinggalkan beberapa tahun lalu itu sudah menjelma menjadi seorang gadis cantik.
"Kamu sudah besar, Nirma. Masyaallah, Ibu tidak menyangka bisa bertemu kamu di sini."
Seolah kehilangan kata, Nirma kembali memeluk wanita itu. Ia memandangnya lekat-lekat.
Dari segi fisik, ibunya tidak banyak berubah, tetap cantik dan muda seperti saat terakhir kali mereka berpisah.
Nirma masih larut dalam rasa bahagia dan haru. Namun, tiba-tiba ia tersadar dan seketika panik.
***********
***********
tangisan haru dan bahagia dirasakan keluarga putri satu2 telah kembali kerumah.....
sangat marah dan emosi adiknya diperlakukan kurang baik...