NovelToon NovelToon
Between Our Heart

Between Our Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:13.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ayu Anfi

Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.

Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?

Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.

“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.

“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.

“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 25. Luka

Setelah perjalanan panjang Asha akhirnya sampai di rumah, Alvaro turun lebih dulu baru setelah itu di susul Ze dan Asha. Asha sudah tak menangis lagi, seolah semua sudah tumpah ruah dalam perjalanan tadi. Dia berjalan menuju tempat sang ayah di baringkan, tak ada air mata. Hanya ada tatapan kosong di sana, Ze dan Alvaro berjalan di belakang Asha. Untuk saat ini Ze hanya perlu memantau Asha dan membiarkan Asha memproses semua yang terjadi padanya, dia mungkin akan mengalami fase Kubler-ross.

Kafka melihat Asha berjalan menuju ayahnya, haruskah dia mendekat atau harus bagaimana. Sebelum Asha datang dia masih bersikap biasa, namun setelah kedatangan Asha dia menjadi bingung. Bagaimana dia dan Asha ke depan, pikirannya tiba-tiba kacau seolah tidak siap dengan statusnya sebagai suami saat ini.

"Ayah." Asha mencium kening ayahnya untuk terakhir kali, mencium dengan penuh rasa sayang seolah tak mau melepasnya. Dia memeluk tubuh Malvin yang membujur kaku berbalut kafan. Tak sedikitpun Asha meneteskan air mata, meskipun terlihat matanya sudah bengkak. Cia, Maira, Tiara, bi Ana bahkan Keenan meneteskan air mata melihat Asha dengan khitmad mencium kening tanpa setetes air mata. Terlalu sakit dan hancur untuk Asha, itulah gambaran dirinya saat ini.

"Ayah, tidur panjanglah dengan damai dan tenang. Asha akan melakukan yang terbaik dan membuat ayah bangga dengan pencapaian Asha nanti," Asha tersenyum dengan senyum paling indah sekaligus paling menyakitkan. Rion berlari menuju kakaknya saat melihat Asha tersenyum pada jasad ayahnya, pertahanan Rion runtuh. Dia akhirnya tergugu sambil memeluk Asha, tanpa sadar Kafka bahkan menangis melihat Asha.

"It's okay ade, tidak apa-apa. Ayah sudah bahagia dan tenang di sana," Asha mengusap punggung Rion yang memeluknya. Cia berdiri dan mendekat pada Asha, dengan tatapan penuh air mata dia menatap kakanya parau.

"Hmm ..." Asha merentangkan satu tangannya yang lain sambil tersenyum, mengijinkan Cia untuk ikut masuk dalam pelukannya seperti Rion. Kini dua kakak beradik yang selalu bertengkar itu membenamkan diri mereka dalam pelukan hangat namun pilu pada tubuh kakak sulung mereka.

Semua yang ada di sana tidak hanya di selimuti duka mendalam, tapi juga air mata haru melihat ketiga kakak beradik tersebut.

"Humey! Lihat, bukankah luar biasa sekali Malvin?" Ze sudah berpindah berada di dekat Maira, mengusap lembut lengan Maira.

"Eumm ... mas Malvin memang tidak pernah gagal mendidik mereka, terutama Asha kak." Maira mengusap air matanya, dia tersenyum. Benar betapa bersyukurnya dia menikah dengan Malvin dan di karuniai anak-anak yang luar biasa.

Sore itu juga jenazah Malvin di kebumikan, para pelayat sudah mulai pulang. Asha masih berada di pusara ayahnya dan belum mau beranjak pergi dari sana. Sementara hari sudah mulai gelap dan sedikit gerimis.

"Pak Maman, bawa dulu bu Maira dan anak-anak pulang. Asha biar saya dan Ze nanti yang bujuk untuk pulang," Alvaro meminta supir pribadi keluarga Malvin untuk pulang lebih dulu, dia tahu semua lelah terutama Maira.

"Humey, biarkan dulu Asha di sana sebentar. Aku dan mas Al akan menunggu di sini," akhirnya Maira menyetujui untuk pulang lebih dulu setelah Ze meyakinkannya.

Asha masih duduk di sana, dalam balutan gerimis hujan dia kembali menangis sejadi-jadinya. Dia menjadi rapuh dan hancur saat tak ada siapapun, Kafka berada tak jauh dari sana melihat Asha yang sekarang adalah istrinya. Betapa pengecutnya dia, seharusnya dialah yang menenangkan Asha, mendekap dan membawanya dalam pelukan. Tapi dia hanya berdiam diri melihat Asha dari kejauhan.

Asha masih enggan pergi, sampai seseorang datang yang dia kira Kafka. Asha tersenyum kecut dalam tangisnya, mana mungkin itu Kafka. Berharap apa dia tentang Kafka, ada rasa perih menghujam jantungnya.

"Mau sampai kapan lu di sini? Mau sakit trus ngrepotin banyak orang?" laki-laki seusianya dengan tinggi 180 cm menghampiri Asha.

"Abang ... sebentar lagi saja bang," dia adalah Haziel putra ke dua Alvaro dan Ze.

"Ade ... abang tahu kamu sangat kehilangan. Tapi bukan seperti ini, membuat khawatir bunda dan yang lain. Lihat tu di sana, mama nungguin kamu. Papa sama kayak kamu belum istirahat juga, kamu gak kasihan lihat mereka kehujanan nungguin ade?" Haziel menunjuk pada ke dua orang tuanya, Ze awalnya sudah beranjak menuju Asha tapi di cegah Haziel yang baru saja datang.

Asha memandangi mama dan papanya dari pusara ayahnya, dia sudah berjanji tidak akan mengecewakan ayahnya. Jika dia seperti ini berarti dia egois, beruntung kakak sepupunya menyadarkannya.

"Abang," Asha mendongakkan kepalanya melihat Haziel.

"Ada apa?" tanya Haziel

"Huaaaa ... Asha gak kuat berdiri," Asha menangis dengan keras, dia tidak bisa berdiri karena kakinya keram.

"Haiss ... diem gak de? Ngeri tahu lu nangis kenceng di makam, mana udah gelap," Haziel membantu Asha berdiri dan memapahnya, ada rasa tak rela di hati Kafka melihat Asha di papah orang lain.

Setelah Asha pulang, Kafka juga pulang menuju kediaman Asha dan sampai lebih dulu dari pada Asha. Kafka langsung berpamitan pada ke dua orang tuanya juga Maira, dia harus kembali ke Stanford karena lusa dia ada jadwal operasi yang mengharuskan dia tidak boleh absen. Penerbangannya malam ini jam 10, mau tak mau mereka tidak bisa menahan Kafka.

Asha dan Kafka tidak sempat bertemu untuk sekedar menyapa, Asha melihat Kafka masuk ke mobil dan berlalu pergi. Ada rasa sakit dalam hatinya, dia berharap Kafka ada di sampingnya di saat seperti ini. Namun lagi-lagi dia hanya kecewa atas harapannya sendiri.

"Bunda. Maafin Asha," Asha duduk di samping Maira.

"Sayang, semua yang terjadi adalah takdir. Ayah, bunda, kakak dan semua adalah titipan Allah. Semua titipan akan kembali pada pemiliknya termasuk nyawa yang ada dalam diri kita, sepahit apapun takdir kita harus berusah tetap bersyukur. Asha harus bersyukur karena punya ayah yang selalu ada walaupun mulai hari ini kita tidak akan menjumpainya lagi tap ayah akan selalu ada dalam hati dan ingatan. Kita akan saling menguatkan, kakak harus ingat kalau Kakak tidak sendiri," Maira mengusap air mata Asha yang mulai jatuh.

"Asha sayang, ada mama Tiara juga papa Keenan. Mulai saat ini tante dan om juga adalah orang tua Asha," Tiara mendekat dan memeluk Asha yang saat ini sudah menjadi putrinya juga. Tiara sebenarnya ingin mengatakan bahwa dia dan Kafka sudah di nikahkan oleh Malvin, namun Maira dan Ze melarangnya. Menurut mereka belum saatnya Asha tahu saat masih suasana berduka, dan Tiara menyetujuinya.

1
☆☆D☆☆♡♡B☆☆♡♡
semangat ✌🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!