novel fantsy tentang 3 sahabat yang igin menjadi petualang lalu masuk ke akademi petualang dan ternyata salah satu dari mereka adalah reinkarnasi dewa naga kehancuran yang mengamuk akbiat rasnya di bantai oleh para dewa dan diapun bertekad mengungkap semua rahasia kelam di masa lalu dan berniat membalas para dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Albertus Seran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Pertemuan Tak Terduga
Matahari yang redup masih berusaha menembus awan-awan tebal di langit, tetapi suasana di Hutan Aether tetap mencekam. Aric, Lyria, dan Kael berdiri dalam keheningan, memproses pertemuan aneh mereka dengan pria berjubah putih tadi. Hembusan angin yang membawa aroma lembap hutan mengelilingi mereka, dan untuk sesaat, tidak ada yang tahu apa yang harus dikatakan.
"Kalian melihatnya, kan?" Lyria akhirnya memecah keheningan, suaranya gemetar. "Pria itu... siapa dia sebenarnya?"
Aric mengusap luka di lengan kirinya, yang mulai berdarah. "Dia bilang dia pelindung Hutan Aether," jawabnya pelan, lalu menatap Lyria dengan ekspresi serius. "Tapi aku merasa dia lebih dari itu. Auranya... sangat kuat."
Kael, yang masih memegang busurnya dengan erat, menyipitkan mata ke arah tempat pria itu menghilang. "Kita harus tetap berhati-hati," katanya, mencoba menenangkan dirinya. "Hutan ini penuh dengan makhluk dan rahasia yang bisa membuat kita tersesat selamanya."
Aric menegakkan tubuhnya, meskipun luka-lukanya masih terasa. "Kita tidak punya waktu untuk ragu," katanya, mencoba menyemangati mereka. "Jika Batu Aether benar-benar di sini, kita harus menemukannya secepat mungkin. Ujian ini adalah kesempatan kita untuk menjadi petualang sejati."
Lyria ingin berdebat, tetapi Kael mengangguk, setuju dengan Aric. "Dia benar," katanya, meskipun suaranya tetap tegang. "Kita sudah sejauh ini, dan tidak ada jalan kembali. Kalau kita mundur sekarang, kita mungkin tidak akan pernah bisa kembali ke Akademi."
Lyria akhirnya mengangguk, meskipun rasa takutnya masih membayang. "Baiklah," katanya, mengeratkan pegangan tongkat sihirnya. "Tapi mari kita berhati-hati. Aku tidak ingin kejadian seperti tadi terulang."
Mereka melanjutkan perjalanan, langkah demi langkah, menyusuri jalan setapak yang semakin lebat dengan semak-semak berduri. Daun-daun raksasa menggantung rendah, dan suara burung aneh berkicau, menciptakan simfoni yang tidak wajar.
Aric menoleh ke Kael. "Bagaimana perasaanmu, Kael?" tanyanya. "Kau terlihat gelisah."
Kael menelan ludah, lalu menggelengkan kepala. "Aku baik-baik saja," katanya. "Aku hanya... aku merasa sesuatu atau seseorang mengawasi kita. Aku tidak bisa menghilangkan perasaan itu."
Lyria tiba-tiba berhenti, dan Aric hampir menabraknya dari belakang. "Tunggu," bisiknya, matanya membelalak. "Ada sesuatu di depan."
Mereka semua berhenti, menahan napas. Di depan mereka, di tengah-tengah jalan setapak, berdiri sosok misterius lainnya. Tapi kali ini, itu bukan pria berjubah putih, melainkan seorang wanita muda. Rambutnya panjang, hitam berkilau seperti malam, dan dia mengenakan baju zirah yang terbuat dari kulit hitam yang dihiasi rune-rune bercahaya. Matanya berwarna hijau terang, seolah-olah mereka memancarkan cahaya dari dalam dirinya.
Wanita itu tersenyum, tetapi senyumnya tidak membawa rasa damai. "Kalian bertiga benar-benar berani, atau bodoh," katanya, suaranya halus namun penuh ancaman. "Masuk ke Hutan Aether tanpa tahu apa yang menunggu kalian."
Aric merasakan otot-ototnya menegang. "Siapa kau?" tanyanya, mengangkat pedangnya dengan hati-hati. "Dan apa yang kau inginkan dari kami?"
Wanita itu melangkah maju dengan tenang, seolah-olah dia sama sekali tidak takut pada senjata Aric. "Namaku Seraphine," jawabnya. "Aku penjaga lain dari hutan ini. Dan aku di sini untuk menguji kalian."
Lyria menatap Seraphine dengan cemas. "Ujian?" ulangnya, mencoba memahami. "Apakah ini bagian dari ujian Akademi?"
Seraphine tertawa kecil, dan tawa itu seperti musik yang dingin. "Oh, tidak," katanya. "Ujian yang aku bicarakan adalah ujian keberanian kalian. Apakah kalian cukup kuat untuk melawan bayangan masa lalu kalian?"
Aric menggeram, melangkah maju. "Kami siap melawan apa pun," katanya tegas. "Jika ini ujian, maka kami akan melewatinya."
Seraphine memiringkan kepalanya, seolah terhibur oleh keberanian Aric. "Sungguh?" katanya, matanya bersinar lebih terang. "Kita lihat seberapa besar keberanianmu."
Dia mengangkat tangannya, dan bayangan dari pepohonan di sekitar mereka mulai bergerak, berkumpul menjadi bentuk-bentuk aneh. Bayangan-bayangan itu membentuk sosok yang menyerupai orang-orang yang mereka kenal—seperti bayangan dari kenangan lama yang dihidupkan kembali. Salah satu bayangan itu menyerupai wajah ayah Aric, yang sudah lama meninggal.
Aric terhuyung mundur, matanya membelalak. "Tidak... ini tidak mungkin," bisiknya, suaranya penuh emosi.
Kael melihat bayangan yang menyerupai adik perempuannya, yang telah hilang bertahun-tahun yang lalu. "Apa-apaan ini?" teriaknya, suaranya gemetar.
Lyria menggenggam tongkatnya erat-erat, melihat bayangan yang menyerupai gurunya di desa asalnya. "Ini semua ilusi," katanya dengan putus asa, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Ini tidak nyata!"
Seraphine tersenyum lebih lebar. "Ilusi atau kenyataan?" tanyanya, suaranya seperti bisikan angin. "Itu tergantung pada kalian. Bayangan ini akan menguji keberanian kalian untuk menghadapi masa lalu yang masih menghantui."
Aric merasakan hatinya berdegup kencang. Ia tahu bahwa ini lebih dari sekadar ilusi. Bayangan ayahnya berdiri di sana, menatapnya dengan mata penuh penyesalan. "Kenapa kau meninggalkanku?" bayangan itu bertanya, suaranya terdengar seperti mimpi buruk Aric yang selama ini tidak pernah bisa dilupakan.
Kael merasa matanya memanas, melihat adiknya yang hilang menatapnya dengan kesedihan. "Kael," panggil bayangan itu, "kau seharusnya menyelamatkanku."
Lyria berusaha tetap kuat, tetapi rasa bersalah membanjiri pikirannya. "Ini tidak nyata," ulangnya, tetapi air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku... aku tidak bisa..."
Seraphine menatap mereka, melihat ketakutan dan kelemahan mereka. "Bayangan kalian akan terus menghantui kalian," katanya pelan, "sampai kalian cukup berani untuk menghadapi mereka."
Aric menggenggam pedangnya erat-erat, rasa sakit dan amarah berputar dalam dirinya. Ia tahu ini adalah saat yang menentukan, momen di mana mereka harus melawan atau selamanya terperangkap oleh bayangan masa lalu.