🏆 Juara 3 YAAW 2024 Periode 2🏆
"Permisi Mas, kalau lagi nggak sibuk, mau jadi pacarku?"
———
Daliya Chandana sudah lama memendam rasa pada sahabatnya, Kevin, selama sepuluh tahun. Sayangnya, Kevin tak menyadari itu dan malah berpacaran dengan Silvi, teman semasa kuliah yang juga musuh bebuyutan Daliya. Silvi yang tidak menyukai kedekatan Daliya dengan Kevin mengajaknya taruhan. Jika Daliya bisa membawa pacarnya saat reuni, ia akan mencium kaki Daliya. Sementara kalau tidak bisa, Daliya harus jadian dengan Rio, mantan pacar Silvi yang masih mengejarnya sampai sekarang. Daliya yang merasa harga dirinya tertantang akhirnya setuju, dan secara random meminta seorang laki-laki tampan menjadi pacarnya. Tak disangka, lelaki yang ia pilih ternyata seorang Direktur baru di perusahaan tempatnya bekerja, Narendra Admaja. Bagaimana kelanjutan kisah mereka?Akankah Daliya berhasil memenangkan taruhan dengan Silvi? Atau malah terjebak dalam cinta segitiga yang lebih rumit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Kencan?
"Kencan?" Daliya mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Iya," Ren mengangguk. "Nanti malam kita—"
"Liya!" di belakang mereka, Kevin berjalan tertatih-tatih. "Tunggu, aku masih mau bicara!"
Ren berdecak kesal. Ia mengulurkan kedua tangannya menangkup wajah Daliya. "Jangan menoleh, dan jangan berbalik, lihat aku saja." Ujarnya kemudian. Seperti tersihir, Daliya mengangguk dan menurut saja saat pria itu menggenggam tangannya untuk pergi.
...----------------...
Kencan merupakan satu kata yang sangat asing bagi Daliya. Pasalnya, sejak dirinya dilahirkan ke dunia sampai sekarang, belum pernah sekalipun ia melakukannya! Sebutan umumnya, Daliya adalah jomblo akut di usianya yang ke 25 tahun. Pengalamannya pergi bersama laki-laki paling mentok hanya dengan Kevin, itu pun hanya sekedar jalan-jalan ke mall menemani lelaki itu mencari hadiah untuk pacar-pacarnya dulu. Makanya, saat Ren mengajaknya kencan malam ini, Daliya kalang kabut.
"Han, tolongin Aku dong...," rengek Daliya pada Hani, manajer sekaligus teman sambatnya selama di kantor. Di dalam kantor Hani memang atasan Daliya, tapi saat di luar kantor mereka lumayan dekat.
"Jangan nanya Gue dong, Lo kan tau Gue juga jomblo," decak Hani sambil menyeruput americanonya.
"Nggak apa-apa deh, yang penting kamu temenin aku cari baju yang pantes. Ya? Ya? Please...," Daliya memohon sambil menangkupkan kedua tangannya. Itu adalah gaya andalan Daliya saat meminta bantuan pada seseorang. Kalau sudah bersikap begitu, biasanya orang-orang akan luluh dan mau tidak mau menuruti perkataannya.
"Yaudah deh," Seperti yang sudah diduga, Hani mengalah.
"Yey! Thankyou! Nanti aku traktir cokelat deh,"
"Harus, seharusnya jadwal Gue hari ini rebahan di kamar,"
"Memang kapan kamu nggak rebahan, sih?"
"Waktu di kantor," jawab Hani asal.
Daliya mencebik. Hani ini adalah salah satu jenis wanita langka, karena dia sangat irit bicara. Tapi justru karena hal itu, mereka berdua menjadi dekat. Daliya dan Hani adalah dua orang teratas yang selalu menjadi sasaran gosip di kantor karena mereka berhasil memperoleh jabatan tinggi di usia muda. Hani berhasil menjadi manajer pemasaran di usianya yang baru 27 tahun, mengalahkan karyawan lain yang jauh lebih tua dan lebih senior, jadi sudah dapat dipastikan berapa banyak gosip dan fitnah yang telah disematkan padanya.
Karena hal itulah, Daliya dan Hani menjadi teman senasib seperjuangan. Ceileh...
"Memangnya Lo sudah jadian sama Pak Direktur?" tanya Hani tanpa basa-basi. Daliya langsung menutup mulut Hani sambil melihat sekeliling dengan panik. Masalahnya, saat ini mereka sedang makan siang di kafe yang berada di dekat kantor.
"Han, kalau ngomong jangan frontal gitu dong! Agak disaring dikit lah. Gimana kalau ada karyawan kantor kita yang dengar?" ujarnya panik. Hani memang satu-satunya orang kantor yang ia ceritakan tentang hubungannya dengan Ren. Soalnya ia yakin Hani tidak akan membocorkan rahasianya ke orang lain.
Hani hanya menatapnya sambil mengangkat bahu. "Nggak ada yang dengerin juga," jawabnya enteng.
"His, kamu mah!" Daliya memberengut kesal. "Nggak, kita belum jadian kok. Pak Re—eh, dia sudah beberapa kali bilang kalau tertarik padaku, tapi aku masih belum yakin dengannya," Daliya menepuk mulutnya sendiri yang hampir kelepasan menyebut nama lelaki itu. "Aku nggak tahu apa dia beneran suka padaku atau cuma penasaran,"
"Hm...," Hani mengangguk-angguk. "Kalau perasaan Lo sendiri gimana? Lo suka nggak sama dia?"
Daliya terdiam. Itu juga pertanyaan yang sama untuk dirinya sendiri. Apakah dirinya menyukai Ren? Jujur, Daliya memang suka dengan perlakuan manis Ren padanya. Tapi, kalau ditanya tentang bagaimana perasaannya terhadap lelaki itu, Daliya tidak tahu.
"Kalau dia?" Hani memajukan dagunya, menunjuk seseorang yang berjalan ke arah mereka. "Lo suka dia?"
Daliya mengernyitkan dahi, tak mengerti apa maksud Hani. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Kevin berjalan ke arah mereka.
"Haish," Daliya beranjak dari duduknya, bersiap untuk pergi.
"Liya, maafkan aku," Kevin menahan tangan Daliya. "Aku tadi salah bicara,"
"Terserah,"
"Liya, aku benar-benar khilaf. Aku mengatakan itu karena terlalu emosi, maafkan aku,"
Daliya sebenarnya ingin mengabaikan saja ucapan maaf dari Kevin. Tapi, saat memandang ke sekeliling, dia melihat tatapan orang-orang yang tertuju pada mereka. Tatapan mereka penuh binar-binar penasaran. Daliya yang memang dasarnya tidak suka menjadi pusat perhatian orang-orang akhirnya mengalah dan duduk kembali ke kursinya.
Kevin ikut duduk di sebelah Daliya.
"Please, aku minta maaf. Perkataan ku tadi memang sedikit keterlaluan, jadi—"
"Sedikit?" Daliya menatap pria di sebelahnya sengit. "Nggak hanya dikit Vin, tapi sangat, sangat keterlaluan," Daliya menghela napas sejenak untuk meredam emosinya.
"Kamu bilang aku ada hubungan dengan atasanku hanya untuk mempertahankan posisi ku di perusahaan ini. Kamu tahu apa artinya? Itu berarti kamu meragukan kemampuan aku, sampai-sampai kamu berpikir aku bisa bertahan di sini karena memanfaatkan orang lain," Napas Daliya sudah naik turun. "Kamu waktu itu juga bilang kalau para pria yang mendekati aku cuma berniat menaklukkan aku di atas kasur. Itu berarti kamu menganggap aku sebagai wanita murahan yang mau-mau saja diajak ke hotel dengan pria mana pun!"
Daliya menahan air matanya yang sudah hampir keluar. "Aku nggak masalah kalau yang ngomong begitu orang lain, tapi yang ngomong malah kamu, sahabatku sendiri selama sepuluh tahun! Gimana aku nggak sakit hati, coba?"
"Maaf," Kevin menundukkan kepalanya.Terlihat jelas raut penyesalan pada wajahnya. "Aku mengatakan itu tanpa berpikir dulu. Aku hanya merasa takut kehilangan kamu, aku takut kamu akan jatuh ke pelukan pria yang salah,"
Daliya menghela napas panjang. Dia tahan-tahan air matanya karena sedang berada di tempat umum. Hani sepertinya menyadari itu dan menyodorkan tisu pada Daliya.
"Kamu benar. Seharusnya aku nggak mencampuri urusan kamu dengan pacar kamu. Kita sudah sama-sama dewasa, dan nantinya akan membangun keluarga kita masing-masing. Tapi, Daliya, aku—" ucapan Kevin teredam dengan raungan dering ponselnya. Kevin meraih ponsel itu dari dalam saku dan wajahnya berubah muram. Meski begitu ia tetap menerima telepon itu.
"Halo? Sayang?"
Daliya memutar bola matanya. Pasti si sia*lan Silvi.
"Iya, aku masih ada kerjaan di kantor. Iya, nanti aku jemput. Iya sayang, sabar. Iya, nanti ya... Astaga, kamu kenapa marah-marah terus, sih?" Kevin berbicara di telepon sambil melirik Daliya. Karena sepertinya tidak nyaman percakapannya didengar orang lain, Kevin segera menyingkir keluar kafe.
"Kelihatannya, cowok itu ada rasa ke Lo," ucap Hani setelah Kevin pergi. Daliya yang sedang meminum jus alpukat hampir tersedak mendengar itu.
"Nggak mungkin, dia nggak pernah ada rasa sama aku. Selama ini dia cuma menganggap aku sebagai adiknya, nggak lebih. Sementara aku sudah memendam rasa sama dia selama hampir sepuluh tahun," Daliya mencebik. Mengingat kelakuannya dulu yang tergila-gila pada Kevin membuatnya jijik.
"Begitu, ya?" Hani tampak masih ingin mengucapkan sesuatu, tapi ia urung karena merasa bukan ranahnya mengurusi percintaan orang.
"Han, kalau kencan biasanya pergi kemana sih?" Daliya kembali membahas topik utama mereka.
"Ke hotel kali," Hani menjawab asal, yang langsung mendapatkan cubitan gemas dari Daliya.
"Heh, yang bener aja!"
tulisannya juga rapi dan enak dibaca..
semangat terus dlm berkarya, ya! 😘
ujian menjelang pernikahan itu..
jadi, gausah geer ya anda, Pak Direktur..
tanpa gula tambahan, tanpa pemanis buatan..