Aisha berjalan perlahan mendekati suaminya yang terlihat sedang menelepon di balkon, pakaian syar'i yang sehari-hari menjadi penutup tubuhnya telah dia lepaskan, kini hanya dengan memakai baju tidur yang tipis menerawang Aisha memberanikan diri terus berjalan mendekati sang suami yang kini sudah ada di depannya.
"Aku tidak akan menyentuhnya, tidak akan pernah karena aku hanya mencintaimu.."
Aisha langsung menghentikan langkahnya.
Dia lalu mundur perlahan dengan air mata yang berderai di pipinya, hingga ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, Alvin tidak tahu jika Aisha mendengar percakapan antara dirinya dengan seseorang di ujung telepon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akting?
"A...Apa?" Anita melihat Alvian tak percaya.
Dia lalu menurunkan matanya melihat tangan Aisha dan Alvian yang saling bertaut.
Dadanya terlihat kembang kempis tak menentu, menahan amarah yang semakin bergejolak di hatinya.
Semua orang yang berkerumun mulai bubar satu-persatu, meninggalkan tatapan pada Anita dengan penuh cela.
Kini hanya tinggal mereka bertiga.
Aisha melepaskan tangannya dari suaminya dengan paksa.
"Terima kasih. Sudah berakting menjadi suami yang baik." Aisha tersenyum sinis pada Alvian, dia lalu melihat Anita.
"Bukan orang lain yang telah menghina dan mempermalukan anda. Tapi anda sendirilah yang telah merendahkan diri sendiri."
Aisha lalu melirik keduanya bergantian.
"Selesaikan urusan kalian, saya tak mau ikut campur!"
Aisha lalu berjalan meninggalkan keduanya.
"Apa ini?" tanya Anita tiba-tiba melihat Alvian dengan lelehan air matanya.
Alvian tak lantas menjawab, dia hanya melihat Anita dengan penuh kecewa.
Sementara Aisha berjalan dengan sedikit tergesa. Sesekali melihat tangannya lalu menggosok-gosokannya dengan kasar pada bajunya.
Dia geram. Alvian telah seenaknya memegang tangannya. Bukan hanya itu, suaminya itu juga dengan mudahnya mengatakan jika dia mencintainya di hadapan banyak orang. Sungguh akting yang luar biasa. Aisha yakin jika berita yang akan heboh setelah ini ialah jika Alvian suaminya adalah sosok suami baik yang mencintai dan membela istrinya.
Lagi-lagi Aisha tersenyum sinis.
***
Alvian dan Anita berjalan keluar ruangan direktur Rumah Sakit, disambut oleh tatapan para rekan kerja yang seakan mengintimidasi keduanya.
Alvian seolah tak peduli, dia lalu berjalan meninggalkan Anita.
Anita yang nampak kalut dihampiri oleh beberapa temannya, mereka semua mengajak Anita untuk duduk dan beristirahat.
"Apa Direktur marah?"
Anita hanya mengangguk.
"Apa kalian diberi sanksi?"
"Tidak. Hanya di tegur secara lisan."
"Syukurlah."
Anita terdiam.
"Aku pikir hubunganmu dan Alvian baik-baik saja," ucap sahabatnya.
"Tak kusangka jika ternyata Alvian sudah menikah," ucap yang lainnya lagi.
Anita hanya terdiam. Nampak sedang berpikir.
Tiba-tiba dia berdiri, Anita lantas pergi dengan terburu-buru, meninggalkan sahabatnya yang keheranan.
Tanpa mengetuk Anita masuk ke dalam ruangan Alvian, melihat laki-laki yang dicintainya itu sedang duduk termenung di mejanya.
"Kita harus bicara."
Alvian yang kaget melihat kedatangan Anita yang tiba-tiba langsung berdiri.
"Jangan disini!"
"Aku tak peduli." Anita menutup pintu lalu menghampiri Alvian lebih dekat, menatapnya dengan kemaraharan.
"Kenapa kamu melakukan ini padaku?Kenapa kamu mempermalukanku di hadapan semua orang tadi? Kenapa kamu katakan jika kamu mencintai wanita itu?" tanya Anita bertubi-tubi.
Alvian kembali duduk di kursinya.
"Anita. Kamu yang membuatku terpaksa melakukan ini."
"Aku?"
"Iya. Seandainya kamu bisa menahan diri, menahan emosi, kejadian tadi tak akan terjadi."
"Bagaimana aku bisa menahan emosi jika semua orang di rumah sakit ini membicarakan dan menjelekkanku?"
"Anita. Sudahlah. Aku tahu jika kamu pasti tak akan merasa salah, kamu akan selalu merasa benar. Itu sikapmu dari dulu."
Anita terdiam, menatap Alvian dengan kecewa.
"Di matamu sekarang aku terlihat buruk sekali."
Alvian tak segera menjawab, dia hanya memijat keningnya perlahan.
Anita terduduk lesu di kursi.
"Maafkan aku. Tapi itu benar," ucap Alvian tiba-tiba, membuat Anita terperangah.
"Anita." Alvian menatap lekat Anita yang duduk tepat di hadapannya.
"Aku mencintaimu. Karena itu aku tak ingin kehilanganmu walaupun disaat itu aku sudah menikah, aku yang memohon padamu untuk tak meninggalkanku. Aku bersyukur ketika itu karena kamu mengerti keadaanku dan akhirnya kita masih bisa bersama."
"Aku menjanjikan padamu perceraianku dengan istriku. Setelah itu aku akan menikahimu."
"Tiba-tiba aku memutuskan hubunganku denganmu, aku tahu kamu kecewa, tapi aku sudah menjelaskan alasannya padamu. Sudah aku katakan jika perpisahan sementara ini yang terbaik untuk kita. Aku ingin kamu bersabar, karena ini hanya sementara, tunggu hingga saat perceraian itu tiba dan kita bisa kembali bersama."
"Tapi ternyata kamu malah membuat ulah, membuat masalah. Anita sungguh aku jengah atas semua tingkahmu, emosimu yang meledak-ledak."
"Semua sifatmu sudah kupahami, menghadapi kemarahanmu sudah biasa bagiku, tapi maaf sekarang tak lagi."
Anita terlihat kaget.
"Semenjak Aisha hadir di hidupku, aku jadi membandingkan kalian berdua. Maaf." Alvian menundukkan wajahnya.
"Apa maksudmu?"
"Kalian berdua berbeda. Sangat jauh berbeda. Seperti yang kamu katakan tadi jika di mataku kamu memang terlihat buruk sekali jika dibandingkan dengan Aisha."
"Apa? Aisha jauh lebih baik dariku?"
"Jangan tanya aku. Kamu tanyakan pada dirimu sendiri, kamu yang lebih banyak bersitegang dengannya. Bandingkan dari caramu menghadapinya dan caranya menghadapimu."
Anita berdiri dari duduknya.
"Aku tidak percaya kamu lebih membela wanita itu dibanding aku. Kamu menyakiti hatiku Al," ucap Anita marah sambil menangis.
Alvian mendesah.
"Kita lebih menyakiti Aisha. Aku lebih menyakiti hatinya."
"Tapi sekalipun dia tak marah. Padamu atau padaku."
"Dia sering mengataiku Al,"
Alvian menggelengkan kepalanya.
"Dia menasihati. Dia menasihati kita. Dengan caranya."
Anita terdiam.
"Dia tak menginginkanku. Dia tak mengajakmu memperebutkan aku. Dia tak mengajakmu bermusuhan. Dia hanya tak ingin kita berbuat dosa dengan menjadi sepasang selingkuhan."
"Karena itu dia menginginkan perceraian, agar aku dan kamu bisa menikah."
Anita kembali duduk di kursi. Memikirkan semua perkataan Alvian padanya.
"Dan kamu tahu, semua itu membuat aku mulai bersimpati padanya sekarang."
Anita langsung melihat Alvian.
"Simpati?"
"Entah aku harus menyebutnya apa? Simpati atau cinta."
"Cinta?" Anita langsung berdiri.
"Iya. Maafkan aku."
"Semua sikapmu mengikis perlahan rasa cintaku padamu," lanjut Alvian.
Anita menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak. Aku yakin jika itu hanya simpati saja. Kamu kasihan padanya, bukan mencintainya. Mana mungkin kamu mencintainya jika melihat wajahnya saja tidak pernah."
"Itulah yang semakin membuatku kagum padanya. Aisha bisa membuat seseorang jatuh cinta padanya bahkan tanpa melihat wajahnya. Kecerdasan, karakter dan pendiriannya menjadi keanggunan tersendiri baginya, daya tariknya."
"Aku yang dulu membencinya, mengobral kata jika tak akan jatuh cinta padanya, kini seakan dibuat malu sendiri, menjilat ludah sendiri. Aku jatuh cinta padanya bahkan tanpa tahu seperti apa wajahnya."
Anita melebarkan matanya.
"Lalu bagaimana dengan aku."
Alvian melihat Anita.
"Maafkan aku." Alvian terlihat merasa bersalah.
Anita langsung mundur beberapa langkah, dari semua yang telah terjadi hari, ini saat yang paling menyakiti hatinya.
"Aku yakin jika kita bisa sama-sama saling melupakan. Izinkan aku menjalani kehidupan rumah tanggaku yang seharusnya."