Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 28
Sore itu, matahari yang hampir tenggelam menampilkan cahaya keemasan yang begitu indah. Dua wanita lanjut usia itu duduk berdampingan di depan toko, ditemani secangkir teh panas dan kue bawang di dalam toples. Mereka berbincang berdua, mengenang masa-masa kecil bersama.
Sesekali terdengar tawa lantang mbah Sani, saat nenek Ratih mengingatkannya bagaimana dulu wanita itu belajar sepeda hingga masuk ke dalam parit, kemudian mbah Sani gantian mengolok nenek Ratih yang terkencing di celana saat mereka diganggu setan sepulang mengaji. Sungguh, suasana sore yang damai.
Sukma hanya tersenyum mendengar tawa cekikikan dua wanita sepuh itu, ia sendiri memilih duduk di ruang tamu bersama Wijaya dan Nadira. Seperti biasa, putrinya itu sedang bermain game dan Wijaya sedang menonton televisi.
Nenek Ratih meminta Nadira mengambil uang di kamar, rupanya seorang penjual kue putu lewat di depan rumah. Nenek Ratih ingin membelinya, mengenang masa-masa kecil yang selalu langganan kue putu di warung Mak Maryam sepulang sekolah. Begitulah cerita sang nenek kala Nadira datang menyerahkan dompet wanita tua itu.
“Nah, ini bawa ke dalam. Makan bersama dengan ibu dan pak lekmu,” ucap mbah Sani, menyerahkan tiga bungkus kue putu pada Nadira.
“Aduh, ngapain sih kamu ini Sani. Biar aku yang bayar buat mereka,” cegah nenek Ratih.
“Apa sih, orang cuma kue. Sukma dan Nadira sudah seperti cucu dan menantuku sendiri, Mbak.” Mbah Sani terkekeh pelan.
“Apa maksudmu? kamu mau jodohin menantuku dengan Seno? begitukah?”
“Astaga, ya ya… berpikirlah sesukamu wanita tua,” ledek mbah Sani sambil menepuk pundak rekannya itu. Nenek Ratih lantas tertawa, sedangkan Nadira hanya geleng-geleng kepala mendengar percakapan dua nenek-nenek itu.
“Nadira, ucapkan terima kasih pada mbah Sani,” titah neneknya.
“Terima kasih Mbah, semoga rezekinya makin lancar.”
“Amin, terima kasih doanya Cantik.” Mbah Sani membelai lembut pipi Nadira, lantas kembali fokus pada kue putu di tangannya, ia mulai menikmati kue berbahan dasar tepung beras berisi gula merah itu.
Setelah penjual kue pergi dari hadapan mereka, mbah Sani melihat ke dalam rumah. Wanita itu memastikan keadaan telah tenang, sebab ia sudah sangat ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada nenek Ratih.
“Mbak, aku boleh tanya sesuatu nggak?”
“Apa to?”
“Masalah kemarin, gimana akhirnya? rumahnya diapain sama kyai Usman?”
Nenek Ratih tersenyum, meraih cangkir teh dan mulai menikmati minuman yang masih beruap itu. “Cuma di pagar gaib saja. Tapi beliau bilang insya Allah sudah aman.”
“Kamu yakin?” Mbah Sani terlihat sedikit meragukan kemampuan kyai Usman, tapi ia masih segan jika berbicara terang-terangan pada nenek Ratih. Sementara itu nenek Ratih mengangguk mantap, ini bukan kali pertama sang kyai membantu keluarganya.
“Kalau boleh aku beri saran, Mbak. Rumah Pak Dasuki sudah lama kosong, rumput di sekitar rumah juga sudah sangat tinggi, selama ini tak ada seorang pun yang berani membersihkannya. Bukankah lebih baik jika mbak Ratih bersihkan saja, tidak perlu semua cukup yang mepet rumah mbak. lagi pula bahaya itu nggak cuma berasal dari setan, bisa juga ular misalkan.”
Ingatan nenek Ratih kembali ke hari dimana seekor ular hampir masuk kamar cucunya, ia lantas membenarkan ucapan mbah Sani dalam hati.
“Benar juga ucapanmu, ya sudah nanti biar aku minta Wijaya bersihkan saja, terutama yang disamping kamar Sukma dan Nadira.”
“Bersihkan saja sendiri, cuma sedikit juga. Ya itung-itung sambil olahraga gitu, orang tua seperti kita harus rutin bergerak, aku juga biasanya cabut rumput di depan rumah sendirian.”
“Baiklah-baiklah, aku lakukan ndoro…” Nenek Ratih kembali meledek rekannya, dan keduanya pun tertawa bersama.
Keesokan harinya, Nadira ikut ibunya ke kota. Stok bahan-bahan kue sudah mulai menipis, dan mereka berencana belanja banyak, hingga memutuskan membawa mobil bersama Wijaya. Sebenarnya Sukma mengajak nenek Ratih untuk ikut serta, tapi wanita itu ingin di rumah saja.
Nenek Ratih berencana membersihkan rumput hari ini, ia sengaja diam untuk mengejutkan menantu dan cucunya itu. Ia begitu bersemangat, tatkala membayangkan wajah sumringah Sukma dan Nadira nanti, saat mengetahui disamping jendela kamar mereka tak ada lagi rumput liar yang mengganggu.
Setelah memastikan kendaraan Sukma telah meninggalkan halaman rumah, nenek Ratih bersiap mengenakan sepatu boots, caping di kepala dan sabit di tangan. Lantas beliau berjalan lewat pintu belakang untuk mencapai rumah kosong itu.
Sebenarnya ia cukup merinding setiap kali melirik rumah itu, tapi ia sudah bertekad membersihkan rumput demi keselamatan dan kenyamanan cucu dan menantunya.
“Amit Mbah… siapapun penjaga rumah ini, nuon sewu, saya cuma seorang nenek yang ingin memberikan kenyamanan untuk cucu dan menantu, saya tidak mengganggu, hanya ingin memangkas beberapa rumput liar yang merambat ke jendela rumah kami,” ucapnya meminta izin.
Nenek Ratih mulai memangkas setiap dahan yang menjalar ke jendela, mengumpulkan rumputnya dalam sebuah karung goni. Ia bahkan tak ingin membuang rumput sembarangan, nenek Ratih khawatir itu akan menimbulkan masalah nanti.
Tapi sangat disayangkan, baru juga beberapa kali memangkas dahan. Nenek Ratih justru dikejutkan oleh seekor ular yang tiba-tiba muncul dari semak-semak, wanita itu reflek mengayunkan sabit pada tubuh ular yang meliuk-liuk di depannya. Dan dalam satu kali tebasan ular itu mati, tubuhnya terbelah menjadi dua.
“Astaghfirullah, bikin kaget aja,” gumam nenek Ratih lirih, ia lantas memutuskan kembali ke rumah. Sepertinya terlalu beresiko membersihkan rumput lebat itu seorang diri, kejadian sebelumnya ia beruntung karena bisa menghindari hewan melata itu meski dengan cara membunuhnya, tapi ia tak menjamin keselamatannya sendiri jika terus memaksa.
Nenek Ratih tak mau berakhir konyol, jika terjadi apa-apa dengan dirinya sudah pasti Sukma, Wijaya dan Nadira yang akan repot. Wanita sepuh itu pun memutuskan segera mandi, berganti pakaian dan bersantai di depan televisi.
“Biarlah Wijaya saja yang melakukannya,” gumamnya pada diri sendiri.
Sementara itu di kota, Wijaya dan Sukma tengah sibuk mengantri di toko bahan kue, hari itu entah kenapa toko menjadi sangat sibuk, keduanya harus rela mengantri lama di depan kasir.
Nadira meminta izin pergi ke toko buku, ia ingin membeli buku gambar dan pensil warna. Kebetulan akhir-akhir ini Nadira mengisi waktu luangnya dengan menggambar beberapa pemandangan, itu cukup membuatnya tenang.
Di dalam toko buku, ia tampak kebingungan memilih beberapa macam pensil warna, tapi tiba-tiba seseorang memberinya sebuah pensil warna yang isinya sangat lengkap. “Kamu suka menggambar?” tanya lelaki itu.
Nadira mengangkat pandangannya, dan menemukan wajah familiar tersenyum padanya. “Kak Rendra, ke-kenapa ada disini?”
“Kamu yang kenapa ada disini, sama siapa?”
“Sama ibu dan pak lek, tapi mereka lagi ada di toko bahan kue,” jawabnya sambil menunjuk toko seberang yang terlihat begitu ramai.
Rendra mengangguk, “aku sedang belanja kitab, diminta kyai. Sama Dafa.” Kali ini Rendra menunjuk Dafa yang tengah mengantri di depan kasir, lelaki itu menatapnya datar. Nadira lantas tersenyum dan mengangguk sopan pada lelaki itu.
“Oh iya, bagaimana kabarmu?” tanya Rendra lagi, pemuda itu terlihat lebih ramah saat ini, tak seperti biasanya yang selalu cuek dan irit bicara, kecuali saat mereka bermain game bersama di hari hujan kala itu.
“Baik Kak, alhamdulillah baik.”
“Alhamdulillah, seneng dengernya. Aku kira kamu masih sakit.”
Alis Nadira tertaut, heran akan maksud ucapan pemuda tampan itu. Seolah mengerti, Rendra kembali menyahut. “Kamu nggak lagi datang ke pesantren, jadi kukira masih sakit. Tapi, syukur deh kalau sudah sehat. Tapi, ngomong-ngomong kenapa nggak ngaji lagi? kamu marah padaku?”
“Hah? kenapa aku harus marah pada Kak Rendra?”
Rendra menunduk, memainkan beberapa kotak pensil di tangannya “Ya, mungkin karena malam itu aku menolak mampir, kalau saja aku dan Indra tetap tinggal hingga keluargamu datang mungkin kejadian malam itu tak akan pernah terjadi, maaf ya Nadira.”
“Kenapa itu harus menjadi salah Kakak, kejadian saat itu memang sudah seharusnya terjadi, karena dengan begitu kami bisa tahu rahasia yang disimpan rapat oleh nenek. Tentang ayahku, kakak pasti juga sudah tau kan?” ucapnya sedih juga malu.
Sedangkan Rendra menanggapi ucapan gadis di depannya hanya dengan senyuman, ia bingung harus bersikap bagaimana. Mengaku tak mendengar? jelas-jelas dia sengaja menguping bersama Indra di samping pintu. Rendra merutuki kebodohannya sendiri karena mengikuti saran gila Indra kala itu.
"Nadira!"
.
Tbc