Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Mrs. Laura mengalihkan pandangannya begitu mendengar suara pintu ruangannya dibuka dengan kasar. Tatapannya yang tajam dan terasa menusuk itu menatap seorang gadis yang kini berjalan ke arahnya. Ekspresi wajah gadis itu tampak geram. Meski sepasang matanya tertutup oleh kacamata fotokromik berwarna gelap, itu tidak dapat menyembunyikan kekecewaan yang tergambar di wajahnya. Tanpa menyapa atau bersikap ramah terlebih dahulu, gadis itu langsung menyerang Mrs. Laura.
"Apa maksud semua ini, Mrs. Laura? Apa Anda sudah gila?" Gadis itu melemparkan sebuah amplop cokelat yang berisi beberapa lembar dokumen di hadapan Mrs. Laura.
Mrs. Laura menunduk dan mengintip ke dalam amplop, ia mengambil selembar kertas dan membacanya. "Apa masalahnya? Semua yang tertulis di dokumen ini memang benar. Awal tahun ajaran baru ini, saya tidak menerima mahasiswa baru berusia 20-25 tahun ke atas, semuanya harus fresh graduated, kecuali mereka hanya datang untuk mengikuti kelas kursus menjahit di malam hari."
"Begitukah? Ternyata benar Anda melakukan semua ini untuk mencari keuntungan. Anda memang gila, Mrs. Laura."
"Jaga ucapanmu! Beraninya kau berbicara seperti itu?"
"Seharusnya Anda yang menjaga sikap. Anda tahu, kan, Anda tidak bisa berbuat sesuka hati Anda di kampus ini. Kampus ini tidak sepenuhnya milik Anda, Mrs. Laura. Kampus ini milik Pak Askar. Beliau hanya menitipkannya kepada Anda. Tapi, apa yang sudah Anda lakukan di kampus ini? Anda mencoreng nama baik pendiri sebelumnya. Anda mencoba menghancurkan mentalitas seorang mahasiswa baru hanya karena dia berusia 25 tahun? Aku tidak mau tahu ya, Anda harus membatalkan rencana perhentian sepihak ini."
"Berani sekali kau memerintahku. Kau lupa, apa yang saya lakukan ini demi kebaikanmu sendiri."
"Hah... Kebaikan apa yang Anda maksud? Anda hanya memperburuk keadaan. Apa Anda tahu? Mahasiswa baru di kampus ini sedang menggunjingkan Anda. Mereka merasa bahwa kampus ini telah mendiskriminasi orang-orang yang ingin belajar dan mengasah bakat mereka dengan sungguh-sungguh. Memang apa yang salah dengan usia? Apa menurut Anda menempuh pendidikan itu ada batasannya? Tidak. Anda sama sekali tidak memikirkan dampak negatifnya sebelum Anda membuat pemberitahuan seperti ini?"
"Saya rasa anak kecil sepertimu tidak akan mengerti meskipun saya menjelaskan alasan-alasan saya melakukan ini. Benar, saya memang sengaja membuat kebijakan itu untuk mengeluarkan Aline dari kampus. Tapi saya tidak merasa mendiskriminasi siapapun. Siapa saja boleh masuk ke kampus ini jika mereka punya uang dan kemampuan, juga menyetujui persyaratan baru yang sudah saya cantumkan di kolom pendaftaran mahasiswa baru. Dan, khusus untuk anak itu, dia tidak akan pernah diterima sebagai mahasiswa baru di kampus ini karena dia sudah melanggar beberapa persyaratannya."
"Siapa orang gila yang akan membuat kebijakan seperti itu? Anda benar-benar kejam."
"Terserah kau. Semua yang saya lakukan ini untuk dirimu. Demi masa depanmu. Suka atau tidak, saya akan tetap mengeluarkan anak itu!"
"Kedengarannya Anda begitu membenci Aline, kenapa?"
Wajah Mrs. Laura memerah, menahan amarah. Wanita berkebaya modern itu duduk di kursi kebanggaannya. Dengan wajahnya yang datar ia berkata, "Kau ingin tahu kenapa saya membencinya?"
Mrs. Laura tersenyum miring. "Anak itu tidak sepantasnya mendapatkan hak istimewa. Dia hanya akan menjadi penghalang untuk keberhasilanmu. Andai saja dia tidak datang ke tempat ini dan menantang saya, saya tidak akan mungkin melakukan ini terhadapnya."
"Anda benar-benar gila. Sekarang, siapa yang menantang siapa? Jelas-jelas apa yang Anda lakukan itu salah. Secara tidak langsung Anda benar-benar mendiskriminasi Aline karena usianya, padahal Anda juga tahu—"
"Cukup, Ode. Apakah kau lebih memilih anak itu daripada ibumu ini?"
Ode yang tadinya berapi-api kini terdiam bagai batu yang baru saja dilempar dari tebing. Air mata hangat tak terasa jatuh ke pipinya, Ode segera mengenyahkannya dengan berkedip.
"Ibu sudah melakukan kesalahan. Sebagai anak, aku hanya ingin ibu berhenti melakukan hal-hal buruk seperti ini. Aku tidak sedang membela Aline, aku juga tidak membenarkan perbuatan ibuku sendiri. Aku peduli pada Aline. Aku juga peduli padamu, Ibu. Tapi semua yang Ibu lakukan ini benar-benar mengecewakan. Aku tidak bisa menerima semuanya. Ini salah, Bu."
"Lantas apa yang akan kau akukan? Melaporkan Ibu pada pria itu?"
Ode menundukkan kepalanya. Ia tahu pria yang dimaksud Mrs. Laura adalah papanya sendiri. "Tidak mungkin. Papa sudah sangat menderita karena penyakitnya, aku tidak akan sanggup kalau harus membebaninya dengan menceritakan semua perbuatan Ibu di kampus ini. Semua itu jelas mustahil."
Mrs. Laura mencibir. "Jadi, kau tidak bisa berbuat apa-apa?"
Suara tarikan napas Ode terdengar kasar. "Aku akan tetap meminta Ibu untuk membatalkan rencana mengeluarkan Aline dari kampus ini."
"Kau masih keras kepala membelanya. Apa kau tahu siapa anak itu? Dia akan merebut semua kebahagiaan dan masa depanmu, Ode. Kamu harus sadar itu!"
"Justru ibu adalah orang yang telah merenggut masa depan dan kebahagiaan Aline. Apa ibu masih tidak sadar juga?" Ode menggelengkan kepalanya. Ia tidak mengerti mengapa Ibunya masih terus menuduh Aline sedemikian rupa.
"Sekarang kau berani menyalahkan ibumu?"
"Lantas, siapa yang harus disalahkan? Aku benar-benar malu menjadi putrimu. Aku muak menuruti semua kemauan ibu. Kenapa sih Ibu masih tidak mau mengerti? Ibu sudah melakukan kesalahan besar. Nyawa Aline hampir melayang, Bu. Apa ibu tahu? Semua ini gara-gara ibu!"
"Gara-gara saya?" Mrs. Laura tertawa. "Kau bercanda? Siapa yang waktu itu menyinggung latar belakang anak itu? Kau, 'kan, yang sudah membuat anak itu tertekan di depan banyak orang, bukan saya."
Ode bungkam. Benar, andaikan saja hari itu bisa diputar kembali, Ode tidak akan banyak bertanya tentang masa lalu Aline di depan semua orang. Ode adalah orang pertama yang mengetahui rahasia bahwa Aline mengonsumsi obat anti-depresan, tapi Ode malah menjadi orang yang tidak peka sewaktu mereka berbincang kecil di aula sore itu. Ode berutang maaf pada Aline. Tidak, bukan hanya maaf, tapi juga nyawa. Andai saja malam hari setelah kejadian sore itu Aline terlambat ditemukan di asramanya, mungkin saja Aline sudah....
"Tidak. Itu semua salah Ibu. Ibu yang membawa Luna berkeliling dan membuatnya bertanya-tanya pada Aline. Andai saja Ibu tidak menyinggung latar belakang Aline, Luna tidak akan mungkin mempertanyakan usia Aline, dan semuanya tidak akan menjadi kacau. Ini semua salah Ibu."
"Bodoh. Untuk apa kau menyalahkan ibu atas sesuatu yang sudah berlalu? Satu-satunya orang yang salah di sini adalah Aline. Dialah penyebab utamanya. Dengar, anak itu mungkin tidak sebaik yang kau pikirkan. Jadi berhenti untuk merasa kasihan pada anak itu, dan lakukan saja semua yang ibu katakan padamu seperti yang sudah-sudah."
"Apa maksud Ibu?"
"Kau tahu, kan, Ibu sudah mengajukan karyamu pada Luna."
"Apa? Tanpa izinku?"
"Ibu tidak perlu izin darimu. Jadi, yang harus kau lakukan sekarang adalah persiapan. Ibu mau kau menggantikan Aline dan menjadi satu-satunya murid yang berada di bawah asuhan Luna Takahashi. Jika kau bersedia melakukan ini, Ibu akan memaafkanmu."
"Apa-apaan itu? Ibu mau aku menyakiti Aline dengan merebut posisinya?" Ode mengernyitkan keningnya. Kali ini, Mrs. Laura benar-benar sudah melewati batas.
"Kau tidak tahu siapa sebenarnya Aline. Anak itu hanyalah batu sandungan untukmu. Latar belakangnya buruk. Dia anak tolol. Bebal. Idiot. Anak itu tidak pantas mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang perancang busana di bawah asuhan Luna Takahashi yang namanya sudah melambung tinggi. Selama ini dia hanya beruntung karena diasuh oleh wanita itu. Semua kesempatan itu sebenarnya cuma bisa didapatkan olehmu, Ode Melanie Putri. Hanya kau seorang. Jadi, sebagai Ibu, saya tidak akan membiarkan siapapun merebut posisi itu darimu. Tidak akan pernah."
"Benar, latar belakang Aline memang buruk. Mungkin dia juga tolol. Idiot. Bebal. Tapi dia memiliki tujuan yang jelas. Dia punya impian dan cita-cita sendiri. Tidak seperti aku yang terus dikendalikan oleh ibuku sendiri. Aku tidak bisa menjalani kehidupan sesuai dengan kemauanku sendiri. Tapi Aline berbeda, meski situasinya sulit, dia berani mengambil risiko dan menghadapi tantangannya di luar zona nyamannya. Sedangkan aku? Aku harus selalu tunduk dan patuh pada perintah ibuku. Aku cuma boneka ibu, dan Aline adalah seorang anak yang beruntung."
"Diam! Hentikan. Anak itu sama sekali tidak beruntung. Dia bodoh, idiot, tolol. Apa yang sebenarnya kau lihat darinya? Dia cuma berkhayal menjadi sosok manusia normal. Padahal yang sebenarnya dia cuma anak idiot. Dia tidak bisa apa-apa tanpa bantuan Dokter dan obat-obatannya. Dia tidak lebih dari seorang mahasiswa gila. Dia gila, gila dalam arti sesungguhnya. Camkan itu!"
"Ya, Aline memang idiot. Ibu jangan lupa, di masa lalu ada begitu banyak orang idiot yang disepelekan. Padahal orang-orang idiot ini mencoba untuk meneliti dan membuat sesuatu yang berharga. Ibu lupa—Albert Einstein dan Thomas Alva Edison, ilmuwan-ilmuwan dunia yang waktu itu dikatakan Idiot dan bodoh, justru banyak menghasilkan karya-karya istimewa yang bisa kita pakai sampai sekarang—orang-orang yang dulunya dihina, dicaci-maki, dipukuli sampai berdarah-darah itu tidak bisa disepelekan. Mereka memiliki mimpi yang nyata. Dan, suatu hari nanti, aku yakin, Aline juga bisa seperti itu. Dia pasti akan berhasil dan menginspirasi semua orang. Ibu lihat saja nanti."
Wajah Mrs. Laura memerah dan terasa panas. Bibir merahnya bergetar. "Kau tidak bisa membandingkannya dengan para tokoh sejarah. Anak itu jelas berbeda! Dia punya penyakit mental. Dia sering berdelusi. Dia itu tidak waras. Gila. Aline itu gila, Ode! Kau harus sadar itu!"
"Tidak. Menurutku, yang gila itu adalah Mrs. Laura. Hanya Anda yang gila di sini. Anda tahu kan siapa yang diinginkan Luna menjadi satu-satunya murid yang akan mewarisi keterampilannya? Tapi meskipun Anda mengetahui hal itu Anda tetap mengabaikannya. Aline itu istimewa. Tidak ada yang bisa menandingi bakat alaminya. Bahkan Raga sekalipun, butuh waktu berminggu-minggu untuk menghasilkan sebuah gaun yang sesuai dengan sketsa kasarnya, tapi Aline? Anda melihat hasil tangan Aline kemarin, bukan? Aline genius. Karena itu, dia berhak mendapatkan kesempatan untuk menjadi bintang baru di dunia mode. Ibu tidak bisa mengganggunya."
"Tapi dia... Anak itu benar-benar gila! Pikirannya tidak waras. Kau juga tahu, kan?"
"Sudah kukatakan, Andalah yang gila, Mrs. Laura. Maaf, maksudku, Ibu."
"Jadi kau benar-benar membela anak itu?"
"Ya. Aku membela Aline. Aku memperjuangkan hak-haknya."
"Tidak. Kau tidak boleh melakukan ini. Hanya kau yang boleh mewarisi keterampilan Luna, bukan anak itu!"
"Selain gila, ternyata Anda tidak tahu malu, ya? Anda terus mengatakan Aline sebagai anak idiot. Tidak waras. Tolol. Lalu, bagaimana dengan Anda? Apa Anda sudah bercermin? Aku tanya, orang waras mana yang akan menghalangi kesuksesan orang lain? Tidak ada, kecuali ibu."
"Kau..."
Ode menatap wajah garang Mrs. Laura dari balik kacamatanya. "Maaf kalau ucapanku terdengar tidak sopan. Tapi jujur saja, aku sudah muak hidup seperti ini. Aku tidak akan pernah setuju kalau Anda terus membujuk Luna agar menggantikan Aline denganku. Biarkan saja Luna menjadikan Aline sebagai muridnya. Aline juga pantas mendapatkan kesempatan itu. Sebagai rektor kampus ini, Anda seharusnya bisa bersikap adil dan bijaksana. Bukan bermain licik demi kepentingan sendiri."
"Lancang sekali mulutmu ini!"
Plak.
Tamparan keras itu mengenai wajah Ode. Kacamata yang dikenakan Ode pun hancur berkeping-keping. Bekas tamparan Mrs. Laura itu kini meninggalkan bekas merah di pipi Ode.
"Kenapa Anda menamparku?" Suara Ode terdengar melengking. Ia mengangkat wajahnya, memberanikan diri untuk bertatap mata langsung dengan Mrs. Laura. Sorot mata dinginnya berubah merah.
Mrs. Laura tampak menyesal. Ia mengepalkan tangannya, dan berdiri membelakangi Ode. Ini pertama kalinya Mrs. Laura menampar Ode. Ada rasa sakit yang bergolak di dadanya saat ia menatap wajah gadis itu.
Ode tersenyum getir. "Aku tidak menyangka Anda benar-benar tega menampar anak didik Anda yang tidak mau berbuat curang,"
Mrs. Laura balik badan dan menatapnya tajam. Bola matanya berkilat-kilat. Sekilas tampak setitik air bening terjatuh di pelupuk matanya.
"Seperti inikah orang waras memperlakukan mahasiswanya? Tidak. Mungkin beginilah seorang ibu yang waras bersikap mendisiplinkan anaknya yang ingin hidup lurus." Ode masih saja mencaci-maki Mrs. Laura, suaranya semakin bergetar. Ia tidak sanggup lagi berdiri tegak di ruangan itu. Hatinya teriris perih.
"Keluar!"
"Kenapa? Apa Anda Marah, Mrs?"
"Keluar! Saya bilang, keluar dari ruangan saya!" Mrs. Laura membanting mejanya yang angkuh. Plakat yang bertuliskan namanya jatuh dan pecahan-pecahan kaca berhamburan di lantai. Ode menatap wajah Mrs. Laura dengan tatapan membara. Ia benci melihat sikap arogan dari ibunya itu. Kenangan masa kecilnya pun langsung terbuka. Membawa segala emosi yang akhirnya menumpuk di dadanya. Gadis itu berlari dan membanting pintu ruangan itu begitu saja.
Ode tampak melangkah dengan tergesa-gesa. Gadis itu begitu marah. Ia berlari ke gedung utama yang mengarah ke ruangan auditorium, tempat di mana Raga dan teman-temannya berkumpul.
Sepanjang jalan, air mata yang rasanya panas dan perih itu tidak henti-hentinya terjatuh dan membanjiri seluruh permukaan wajahnya yang cantik. Ia menyeka sudut pipinya dengan kedua tangan. Masih sambil menangis, ia mengeluarkan ponsel pintarnya, menelepon seseorang.
Di masa-masa sulit seperti ini, hanya Raga yang bisa menenangkan hatinya. Ode begitu percaya pada Raga. Namun, entah mengapa Raga tidak bisa dihubungi. Berulang kali Ode mencobanya tapi panggilan itu selalu gagal.
Nomor yang Anda tuju sedang sibuk, coba lagi beberapa saat lagi...
Tekan bintang untuk membuat pesan suara.
Raga sudah beberapa kali mengalihkan panggilan darinya. Ode semakin dibuat kesal.
Gadis itu membanting ponselnya hingga melayang jauh dari tempatnya berbaring. Ode benar-benar sedih. Bahkan di saat ia membutuhkan seseorang, tidak seorang pun yang bisa menemaninya ke sini. Pikiran gadis itu melayang dan berhenti pada satu nama.
"Aline..." Suara Ode tersekat. "Apa seperti ini penderitaan yang kau hadapi selama ini? Hidup tanpa teman dan keluarga. Tidak bisa mencurahkan isi hati di saat kamu membutuhkan seseorang. Tidak ada sandaran untuk menangis dan menumpahkan kesedihan. Apa perasaanmu juga sama seperti apa yang aku rasakan saat ini?" Ode bergumam sendiri. Ia terus bertanya-tanya sambil menatap bayangannya di meja bundar. Entah mengapa, Ode teringat pada Aline. Semakin ia mengingat luka-luka yang dialami oleh gadis itu, semakin terasa sakit hatinya. Ode menangis dalam diam. Bantal yang biasa digunakan Raga untuk tidur siang, kini ia jadikan sebagai tempat berlabuhnya air mata. Sementara tidak ada seorang pun di sana yang mendengarnya, gadis itu menumpahkan semua amarah, kekecewaan, dan sakit hatinya di tempat yang sedang kosong itu. Ia berteriak dalam satu tarikan napas. Memukul patung wanita hingga wajahnya pecah dan akhirnya hancur terjatuh ke lantai. Ia mengamuk. Amarahnya benar-benar sudah membutakan.
Lagi-lagi Ode menangis terisak. "Aku benar-benar tidak tahan dengan penderitaan ini. Mengapa ibu begitu kejam? Mengapa?" Erangan Ode semakin keras, ia membenamkan kepalanya di bantal dan berteriak dalam diam.
"Aku muak. Aku benci wanita itu! Aku sangat membencinya!" Ode kembali memukul bantal yang sudah basah oleh air mata dan bercampur dengan ingusnya itu. Tanpa sengaja, ketika Ode mencoba untuk berdiri, ia malah melihat sebuah gunting di atas meja. Pikirannya benar-benar gelap saat ini, ia tertarik dan memegang gunting kain itu, memperhatikan bentuknya yang sangat mengilap, dan runcing di bagian ujungnya.
Ode memiringkan kepalanya. Sudut bibirnya bergerak-gerak menciptakan sebuah senyuman mengerikan. Ia tertawa di antara isak tangisnya. Entah dari mana ia mendengar sebuah bisikan gila. Ode menyeringai, ia melihat dirinya di cermin dan bermain-main dengan gunting itu.
Baru saja Ode mengangkat gunting itu di atas kepalanya, tiba-tiba sebuah tangan datang membanting benda tajam itu hingga akhirnya terlepas dari genggaman tangannya.
"Kau gila! Sudah bosan hidup, ya?" Levi menarik tangan Ode menjauhi lemari kaca dan memarahinya di sofa.
"Apa yang kamu lakukan?" Ode melotot. Mimik wajahnya begitu kesal karena Levi tiba-tiba datang dan menghentikan aksinya.
"Ada apa denganmu, hm? Kenapa kau lakukan itu?" suara Levi terdengar cemas. Ia sudah cemas sejak mendengar Ode mendatangi ruang Mrs. Laura. Dan, ia semakin cemas setelah melihat kejadian tadi dan air mata yang terus membanjiri kedua pipi Ode. "Apa yang terjadi? Katakan!"
Ode menundukkan kepalanya. Ia tak kuasa menahan tangisannya. "Tolong biarkan aku mengakhiri semuanya, Lev. Aku lelah. Aku sudah muak dengan semua penderitaan ini."
"Jangan ngaco! Aku tidak akan membiarkanmu. Tidak akan pernah."
Ode heran. "Aku tahu kamu peduli padaku karena kamu sahabatnya Raga, tapi—"
Alih-alih membiarkan Ode melanjutkan kalimatnya. Levi langsung menarik tubuh Ode dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya.
"Apa yang—"
"Diamlah."
"Tidak. Lepaskan, Lev. Aku—"
"Diam. Aku tahu kau seperti ini karena ulah ibumu. Saat ini kau pasti membutuhkan seseorang untuk melampiaskan kekesalanmu, jadi diam dan gunakan saja aku. Kalau kau ingin menangis, menangislah di pelukanku."
"Aku tidak butuh belas kasihan darimu. Lepaskan aku!"
Levi pura-pura tidak mendengar. Ode terus meronta-ronta. Namun, Levi semakin mempererat pelukannya.
Tubuh Levi yang tingginya 172 cm itu melahap tubuh ramping Ode yang hanya mencapai dadanya yang bidang.
Ode mulai kehilangan kekuatannya. Ia terisak-isak. Pelukan Levi begitu kuat, namun dadanya yang bidang cukup mampu memberikan perasaan nyaman dan hangat kepada Ode, membuat perasaan gadis itu sedikit lebih tenang.
Levi membiarkan air mata Ode membasahi kemeja putihnya. Tangan Levi membelai punggung Ode dengan lembut. Ia lalu berbisik. "Sudah cukup. Aku tidak sanggup melihatmu tersiksa seperti ini. Jika kau butuh seorang teman untuk berbagi, kau bisa bicara padaku. Kau tidak pernah sendirian. Jadi, jangan lakukan hal-hal bodoh seperti tadi, oke?"
Ode terisak, tak kuasa mendengar perkataan Levi yang terdengar begitu tulus. Kali ini, Ode membalas pelukan Levi dan membenamkan wajahnya di dada pria itu.
"Tolong jangan bilang apa pun pada Raga. Aku nggak mau Raga sampai mengetahui hal ini."
Levi melepaskan pelukannya dan menatap Ode lekat-lekat. Sebelum Ode melanjutkan perkataannya, pria itu mengecup bibir gadis itu dengan lembut. Mendapat perlakuan seperti itu, Ode langsung terdiam dan menghentikan isak tangisnya.
"Kenapa kamu melakukan itu?" tanya Ode menatap wajah Levi yang sekarang terlihat muram.
Levi tidak berkata apa-apa. Tanpa memberikan jawaban untuk pertanyaan Ode, jemarinya bergerak menghapus air mata gadis itu. Sekali lagi, pria itu meletakkan tangannya di bahu Ode, dan menyandarkan kepala gadis itu di pundaknya. Ode kehabisan kata-kata. Ia tidak melakukan perlawanan apa pun. Bibirnya seolah membeku. Kali ini, Levi memeluknya erat-erat seolah-olah pria itu takut kehilangan Ode.
"Janji padaku, kau tak akan pernah melakukan hal bodoh seperti tadi! Dan, tolong... Pandanglah aku sebagai seorang pria, bukan teman."
Ode tertegun. Air matanya kembali jatuh di baju Levi. Gadis itu membiarkan Levi terus memeluknya. Tenggorokan Ode yang menelan ludah terasa di bahu Levi. Tidak lama kemudian gadis itu pun bicara.
"Aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu lagi. Aku janji. Tapi aku juga mohon padamu, jangan ceritakan kejadian hari ini pada Raga."
Levi terdiam sejenak lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Aku akan mengabulkan permintaanmu itu dengan satu syarat."
"Syarat? Apa?"
Wajah Ode masih bersandar di lengan Levi. Namun suaranya nyaris tak terdengar saat itu. Levi menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata dengan nada yang terasa bergetar di bahu Ode.
"Jadikan aku sebagai tempatmu untuk bersandar. Jangan pernah mencari Raga lagi. Kau bisa menepatinya, kan?" "Tapi, Raga itu—"
"Aku tahu. Tapi aku mohon padamu, mulai hari ini... tolong jadikan aku satu-satunya tempatmu untuk pulang. Hanya aku, kumohon..." bisik Levi pelan di telinga Ode.
Ode melemah. Levi membenamkan wajahnya di bahu Ode. Rambut Levi yang beraroma mint langsung tercium begitu Ode menempelkan dagunya di kepala Levi. Kedua tangan Levi kembali memeluk tubuh Ode yang ramping, kali ini pelukannya semakin erat. Bersamaan dengan itu, telepon di auditorium pun bergema. Levi bangkit untuk menjawab panggilan tersebut. Tanpa terduga, ternyata orang yang menelepon adalah Stev. Ia hanya ingin memberi tahu bahwa hari ini ia tidak akan kembali ke kampus karena harus mengunjungi rumah ibunya.
"Apa Raga ikut denganmu?" Suara Ode masih terdengar sengau setelah menangis cukup lama. Levi sempat menoleh ke arah Ode ketika gadis itu ikut berdiri di sampingnya hanya untuk menanyakan keberadaan Raga.
"Sayang sekali, dia tidak bersamaku. Mungkin Raga masih dalam perjalanan. Setahuku, tadi pagi ia mengatakan ingin pergi ke toko kain dan membeli banyak bahan untuk pameran bulan depan." Jelas Stev.
"Begitu ya? Baiklah, kami akan menunggu Raga di sini. Sampaikan salamku pada ibumu, Stev."
"Oke. Tolong kasih tahu Sir Julian dan yang lainnya, ya. Soal tugas harian nanti aku akan kirim lewat E-mail." Stev segera mengakhiri panggilan singkat itu.
Sejenak, suasana di antara Ode dan Levi langsung berubah menjadi canggung ketika telepon diseberang ditutup. Mereka memalingkan wajah dan membelakangi satu sama lain.