Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6. Kekacauan Dante Setelah Menikah
Berkat bantuan Luca, permainana dibalik topeng yang diperankan Amara semakin sempurna. Kepribadian tenang dan kelembutannya tampak kian alami, seperti sosok yang memang terlahir untuk memakai topeng. Api kemarahan Amara semakin memuncak saat ia sendiri menemukan selembar foto ayahnya di laci sebuah lemari ruang kerja Dante. Ia yakin lelaki itu juga ikut berperan besar atas kehancuran bisnis ayahnya. Namun ia belum punya cukup bukti sejauh mana keterlibatan Dante.
Kini, dibalik perhatian yang Amara tunjukkan, setiap gerak-geriknya diperhitungkan dengan hati-hati. Dia mencatat perubahan jadwal Dante, waktu rapat, bahkan selera kecilnya terhadap sesuatu. Semua informasi ini disaring dan dikirimkannya ke Luca.
Pertemuan dengan Luca sendiri terjadi pertama kali di sebuah acara makan malam keluarga. Amara semula tak tahu tentang ketegangan di antara mereka, hingga mendengar nada sinis Luca saat memperkenalkan diri dan berbicara tentang Dante. Dari situ, Amara menyadari bahwa ada celah yang bisa dimanfaatkan. Dengan kedok sebagai sekutu yang penuh empati, Amara menggali lebih dalam perasaan Luca dan menyusun rencana untuk menjatuhkan Dante.
---
Hari itu, Dante menerima telepon penting yang membuat wajahnya tiba-tiba tegang. Amara mengamati diam-diam dari ujung lorong, merasakan keberhasilan saat melihat ekspresi Dante yang kebingungan. Tak lama setelah itu, Dante dipanggil ke ruang kerja Nyonya Laurent, di mana kekacauan mulai terjadi.
“Apakah kau sadar betapa kacaunya laporan ini, Dante?” Nyonya Laurent berucap dingin, matanya seperti bara api. Dia melayangkan dokumen di tangannya, lembar demi lembar beterbangan di atas meja, sementara Dante hanya berdiri di sana, terdiam.
“Aku ... Aku tidak tahu, mungkin ada kesalahan dari timku. Aku akan segera mengecek lagi…” Dante mencoba membela diri, tapi Nyonya Laurent tak memberikan kesempatan.
“Kesalahan tim? Kau yang bertanggung jawab atas tim itu! Kau bahkan tidak kompeten untuk melakukan hal sederhana seperti ini. Jangan harap bisa mengurus perusahaan jika sebegininya cara kerjamu. Memalukan.” Suara Nyonya Laurent semakin rendah, nyaris berbisik, tapi penuh amarah. “Aku menyesal harus melihat ketidakmampuanmu setiap hari. Kalau bukan karena warisan dari ibumu, aku takkan ragu mencari penerus lain yang lebih pantas!”
Amara mengamati dari luar, merasakan sedikit getaran aneh di dadanya. Dia datang untuk membalas dendam, itu jelas, namun melihat Dante yang biasanya tenang dan percaya diri kini tersudut, tak mampu berkata apa-apa, ada perasaan iba yang diam-diam mengintai. Luka dan sakit hati yang tertulis jelas di wajahnya membuat Amara terhenti, walau hanya sesaat. “Tapi ini adalah rencanamu, Amara,” bisik hatinya. “Tak ada jalan untuk mundur.”
---
Dante meninggalkan ruangan itu dengan wajah tertunduk, berjalan menuju taman belakang untuk menenangkan diri. Amara mengikuti perlahan, meredam langkahnya, hingga akhirnya memutuskan untuk mendekatinya.
“Dante,” panggilnya pelan. Suaranya lembut, mencoba menghadirkan ketenangan.
Dante mendongak, terkejut mendapati Amara di sana. “Oh, Amara … maaf, aku tidak melihatmu tadi,” gumamnya, suaranya lemah.
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan … kau baik-baik saja?” tanya Amara, pura-pura cemas. Padahal dalam hatinya, dia tahu bahwa semua ini berjalan sesuai rencana.
Dante tersenyum pahit, melihat ke arah langit. “Apakah terlihat seperti aku baik-baik saja?” jawabnya sambil menutup mata, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk.
Amara tetap diam, memberinya ruang untuk meluapkan emosi. Terkadang, dia hanya perlu menjadi pendengar yang baik, dan hal ini tampaknya mulai menarik perhatian Dante. Setelah beberapa menit berlalu dalam kesunyian, Amara berkata, “Aku tahu kau mampu melewati ini, Dante. Aku bisa melihatnya. Kau hanya perlu sedikit waktu dan dukungan.”
Kalimat itu, walaupun sederhana, menjadi obat kecil bagi Dante. Dia menoleh, memandang Amara dengan rasa syukur, yang tak pernah disangka bisa dirasakannya terhadap seorang di rumahnya. “Terima kasih, Amara. Aku tidak tahu bagaimana kau selalu punya kata-kata yang tepat.”
Amara tersenyum samar. Dalam hatinya, ia sadar bahwa tindakan ini akan mendekatkannya pada Dante, membuatnya merasa seperti penyelamat di tengah badai. Tetapi rasa iba yang sempat menyelinap tadi tetap sulit diabaikan.
---
Tak lama setelah itu, Luca menghubunginya. Dante hanya bisa pasrah dibalik kekecewaannya yang berlapis-lapis. dia selalu merasa Amara sangat bersemangat setiap kali seseorang dengan nama, Kegelapan itu menghubunginya.
"Maaf Dante, aku harus menerima teleponnya," Amara memberi penjelasan bahwa dia harus berlalu dari hadapan Dante saat itu juga.
"Iya, gak apa-apa," Dante menjawab lemah.
---
Di balik panggilan video yang diatur rapi, wajah Luca tampak berseri-seri dengan kegembiraan. “Kau bekerja dengan baik, Amara. Hasilnya bahkan lebih cepat dari yang aku bayangkan.”
“Sudah kewajibanku,” jawab Amara datar. Dia tak menunjukkan emosi apa pun.
“Kau tahu, setelah semua ini selesai, kau bisa meninggalkan rumah itu dengan kemenangan besar. Dan siapa tahu? Aku mungkin ingin membawamu pergi bersamaku,” goda Luca sambil tertawa kecil, membuat Amara sedikit jengah.
Amara hanya tersenyum tipis. Luca memang punya ketertarikan padanya sejak pertama kali mereka bertemu. Namun, bagi Amara, dia hanyalah alat untuk melancarkan rencana. Dia belum memutuskan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Luca setelah ini. Yang jelas, fokusnya sekarang adalah memastikan Dante semakin terpuruk di mata keluarganya.
---
Hari-hari berikutnya, Dante tampak lebih sering berdiam diri, sibuk menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh informasi palsu yang telah disabotase Amara melalui Luca. Kemarahan Nyonya Laurent semakin menguat, dan setiap kali Dante mencoba menjelaskan, Nyonya Laurent hanya membalas dengan pandangan sinis.
Namun, dalam keterpurukan itu, kehadiran Amara justru semakin menonjol di mata Dante. Dia selalu ada untuk mendengarkan, tanpa menghakimi atau memberi tekanan. Entah bagaimana, kehangatan Amara memberikan kekuatan bagi Dante di tengah keruntuhan yang dialaminya.
---
Suatu malam, ketika Dante kembali diambang keputusasaan, Amara menemukan dirinya lagi-lagi di sisinya. Kali ini, Dante tidak bisa menahan diri lagi. Ia menggenggam tangan Amara, memandangnya dengan tatapan penuh kerinduan. “Amara, aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tak ada di sini…”
Amara menelan ludah, jantungnya berdebar. Dia tahu seharusnya ia menarik diri, tidak terlarut dalam perasaan yang mungkin berbahaya. Namun, pada saat yang sama, ada sesuatu di balik tatapan Dante yang membuatnya sulit menolak. Sesaat, mereka hanya berdiam diri, tenggelam dalam ketegangan yang terasa begitu nyata.
“Dante…” Amara mencoba berbicara, namun Dante memotongnya. “Aku… aku tak ingin kehilanganmu, Amara. Aku tahu ini tak masuk akal, tapi entah bagaimana kau membuatku merasa lebih hidup.”
Dalam hati Amara menjawab, "Tapi kau dan nenekmu membuatku yang masih hidup, terasa sudah mati berkali-kali, Dante," senyumnya sinis.
Sementara Dante masih menggenggam tangannya dengan hangat, itu membat Amara merasa sangat tidak nyaman, sekaligus merasa tenang dalam waktu bersamaan.
“Amara…” suara Dante lirih.
“Em…?” Amara menjawab spontan, hingga ia pun terkejut dengan reaksinya sendiri. Dante menatapnya dalam, dan mata mereka bertemu di satu titik yang mendebarkan.
“Maukah kau melakukan sesuatu untukku?”
Duppp! Suara jantung Amara bergemuruh hebat seperti petir menyambar mendengar pertanyaan seperti itu?
“A-apa? Melakukan apa?!” jawabnya. Ada gugup menyelinap dan mengisi udara di antara mereka.
Dante tak menjelaskan apa maksudnya, ia bangkit tanpa melepaskan tangan Amara dan membimbingnya menuju sebuah ruangan yang jarang dikunjungi di sudut rumah besar itu. Saat mereka semakin dekat, Amara merasakan ketegangan yang semakin meningkat.