"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Terbawa Perasaan
Ervin mengantarku pulang ke rumah Niklas. Tadinya aku menolak, tetapi Ervin bersikeras karena tak mau membuatku pulang sendirian. Aku tak menolak lagi karena Ervin yang membukakan pintu mobil untukku.
"San, senang bisa mengobrol lagi. Beberapa hari ini pikiranku nggak tenang. Kamu tau apa yang Aurora katakan?" tanya Ervin seraya fokus mengemudi.
"Apa?"
"Bunda Tsania merindukan Om Ervin. Jadi, datanglah ke sekolah menjemputku." Dia meniru suara dan cara bicara Aurora.
Aku tergelak selama sekian detik. Meski bukan ayah kandung Aurora, tetapi Ervin dan keponakannya itu memang terlihat agak mirip. Hanya karena menceritakan Aurora saja, aku kembali tertawa. Padahal setelah ini aku akan sendirian di rumah Niklas dan tentunya tak ada tawa seperti saat bersama Ervin.
"Aku suka melihat kamu ketawa, Tsania. Jadi, jangan sedih terus, ya," tukas Ervin menghentikan tawaku.
"Terima kasih. Hari ini aku sedikit lega berkat kamu."
"Karena rindumu terobati?" tanya Ervin sambil menoleh singkat. Senyum usil terlukis di bibirnya. Aku tahu dia sedang menggodaku.
"Mungkin ... sedikit." Aku mengedikan bahu.
Giliran Ervin yang tertawa singkat. "Kamu curang, San. Aku sangat merindukan kamus selama beberapa hari ini dan kamu hanya bilang sedikit?"
Ucapannya hanya aku respons dengan tawa pelan dan gelengan kepala. Tiba-tiba perasaanku resah saat mobil makin dekat dengan rumah Niklas. Ini tidak termasuk selingkuh, 'kan? Ah! Buat apa aku pikirkan? Toh, Niklas juga pasti tidak akan peduli.
Baru saja dipikirkan, aku melihat Jeep Niklas terparkir di dekat gerbang rumah. Detak jantungku mendadak lebih berisik. Apalagi aku pulang dengan Ervin. Bagaimana respons Niklas nanti?
Apa yang aku cemaskan? Bahkan Niklas saja tidak merasa bersalah telah membawa wanita tengah malam dan bercumbu dengannya dalam kegelapan. Sedangkan aku dan Ervin hanya berbincang dan pulang bersama.
"Terima kasih sudah mengantarku," Aku berucap sesaat setelah turun dari mobil.
Ervin ikut turun, sesekali mencuri pandang ke halaman rumah Niklas. "Jadi, kamu tinggal di sini sekarang, San? Aku harap kamu jangan terlalu sedih, ya. Kamu harus tetap bahagia."
"Pastinya," kataku.
"Tetap berkabar." Ervin rupanya tak mau hanya sebatas pertemuan ini. Dia ingin kami tetap saling menghubungi.
Saat aku hendak membuka bibir untuk merespons Ervin, tiba-tiba Niklas muncul dari balik gerbang yang sedikit tertutup. Kekagetan terlihat kentara dari sorot matanya. Namun, hanya berlangsung selama sekian detik.
Pria berkaus putih dengan celana kain itu menatap aku dan Ervin bergantian. Kedua tangannya tenggelam di saku celana. Ekspresi wajah Niklas benar-benar tak bersahabat.
"Sore, Pak Niklas," sapa Ervin dengan ramah. Kontras sekali dengan ekspresi Niklas.
"Aku menunggu kamu dari tadi, Tsania. Ternyata kamu pergi bersama lelaki ini?" Niklas ke melirik Ervin, mengabaikan sapaan ramahnya.
"Kami hanya bicara sebentar." Bukan aku, tetapi Ervin yang lagi-lagi berbicara.
"Saya nggak bicara dengan Anda, Pak Ervin." Sepasang mata Niklas terarah padaku. "Masuklah! Kita perlu bicara," katanya memberi perintah padaku.
"Vin, terima kasih, ya. Aku masuk dulu." Tak mau membuat keributan, aku memilih mengikuti perintah Niklas. Walaupun sebenernya aku enggan melakukan itu.
Ervin tersenyum dan menyentuh lenganku sebentar. Sesaat setelah itu, Niklas menyusul langkahku. Suara gerbang tertutup keras membuat aku tersentak kaget.
Tanganku ditarik kasar oleh Niklas dari arah belakang. Dia berhasil mengejar langkahku. Aku berhenti saat berbalik menatapnya.
"Apa maumu? Menungguku? Untuk apa menungguku? Kamu nggak akan mengomentari urusanku dengan Ervin, 'kan?" Aku segera menyerangnya dengan apa pun yang terlintas di kepalaku saat ini.
"Tentu saja nggak akan. Siapa pun pria yang ingin kamu temui, aku nggak akan peduli, Tsania. Aku menunggumu karena ibuku datang tadi dan mencarimu. Lain kali beritahu aku jika ingin bepergian," kata Niklas.
"Memangnya kamu pernah bilang jika ingin pergi? Jangan lupa, kamu juga yang membuatku menghadapi ibumu sendirian."
"Jangan seperti anak kecil, Tsania. Kamu mau membalasku?"
Pertanyaan Niklas aku abaikan. Aku memilih memutar tubuh dan berbalik meninggalkannya. Jauh di luar dugaanku, lagi-lagi Niklas mengekor.
"Aku belum selesai!" sergah Niklas menahan langkahku. "Apa kata dokter?"
"Kalau kamu segitu ingin tau apa yang Dokter Rita katakan, datang saja dan dengarkan sendiri."
"Aku nggak punya waktu, jadi ...."
Aku tertawa sumir akibat ucapannya. Kalimat Niklas mengawang di udara. "Kamu pikir aku juga mau datang ke dokter kandungan? Ini demi tujuan pernikahan kita, Niklas. Jika menyangkut tujuan pernikahan kita, lebih baik kamu mau bersikap kooperatif."
Lantas aku meninggalkan Niklas dengan cepat menuju lantai dua. Enggan mendengar responsnya.
Sepertinya aku harus mulai terbiasa sekarang. Terbiasa dengan keadaan; tiada hari tanpa perdebatan di antara kami.
———oOo———
Aku nyaris menyerapah saat keluar dari kamar mandi. Sebab Niklas tahu-tahu sudah ada di kamarku. Dia duduk di tepi ranjang tanpa memakai baju. Hanya tubuh bagian bawahnya yang tertutup celana kain.
"Jangan masuk sembarangan, Niklas," ucapku menegur ketidaksopanannya.
Tentu saja aku kaget karena dia tiba-tiba ada di sana. Apalagi aku keluar dari kamar mandi hanya dengan menutupi tubuh memakai handuk. Kalau tahu ada Niklas, aku pasti akan membawa baju ganti sekalian.
"Apa maumu?" tanyaku karena dia tidak kunjung bicara.
Selama sekian detik dia hanya diam menatapku. Jika dipikir-pikir, aku nyaris melupakan sesuatu. Niklas pernah berkata akan datang ke kamar ini saat kami akan berhubungan badan saja. Aku memejamkan mata ketika menyadari maksud kedatangannya.
"Aku akan datang setiap malam Jum'at," kata Niklas seraya berdiri dari tempat. Mendekati aku yang masih berdiri di depan meja rias. "Lebih baik kamu segera hamil agar aku nggak sering ke sini."
"Jangan seenaknya berkata, Niklas! Hanya Tuhan yang bisa mengetahui kapan aku harus hamil."
"Apa itu artinya kamu ingin berusaha lebih lama?"
Pertanyaannya itu .... aku tahu arahnya ke mana. Dia berpikir aku ingin bersetubuh lebih lama dengannya. Yang benar saja?
"Kata doker, kalau nggak ada masalah dengan kita ... kita akan segera memiliki anak," ucapku. Membahas hal seperti ini dengan orang yang tak mencintaimu terasa sangat hambar. "Untuk itulah Ibu Julia ingin kamu ikut ke rumah sakit dan bertemu Dokter Rita."
Ucapanku hanya ditanggapinya dengan tatapan yang tak seperti biasa. Niklas terlihat tidak sedingin saat kami pertama kali akan melakukannya. Aku berdeham untuk mencegah kecanggungan yang terasa saat kali kedua kami akan melakukan hubungan intim ini.
"Jadi, jangan salahkan aku kalau aku belum hamil dalam waktu dekat. Karena yang bermasalah bisa saja bukan hanya wanita, tapi lelaki juga. Kurasa kamu paham akan hal itu. Kita hanya berusaha dan Tuhan yang menentukan, Niklas. Itulah kenapa aku memintamu lebih kooperatif lagi terhadap tujuan kita. Konsultasi dengan dokter nggak lama, hanya ...."
"Persetan dengan konsultasi, Tsania," kata Niklas memangkas ucapanku.
Tanpa memberiku kesempatan untuk merespon, Niklas menarik pinggangku dan mencium bibirku dengan lembut. Aku berpegangan erat pada tepi meja rias, mencoba membalas ciuman Niklas yang kian menuntut. Dia memagut bibirku dengan gerakan pelan yang berubah kasar.
Kedua mataku terpejam erat seiring tangan yang hendak menyentuh dadanya. Namun, Niklas dengan cepat menahan kedua pergelangan tanganku. Lagi-lagi dia tak mau disentuh, seolah hanya dialah yang berhak menyentuhku.
"Jangan terbawa perasaan, Tsania. Ingat itu," ucapnya setelah menghentikan ciuman kami. Bersamaan dengan tangannya yang tanpa permisi melepas handuk di tubuhku.