NovelToon NovelToon
Gelapnya Jakarta

Gelapnya Jakarta

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / Sistem / Mengubah Takdir / Anak Lelaki/Pria Miskin / Preman
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29 Langka Menuju Sarang

Matahari baru saja terbit di langit Jakarta ketika Raka dan Nadia tiba kembali di kawasan Sudirman. Udara pagi terasa sejuk, tapi ketegangan dalam diri mereka semakin meningkat. Kartu akses yang mereka dapatkan malam sebelumnya menjadi kunci pertama untuk menembus benteng perusahaan misterius itu.

“Kamu yakin ini akan berhasil?” tanya Nadia sambil memeriksa ulang perlengkapan kecil yang dia bawa di dalam tas.

“Kita tidak punya pilihan lain,” jawab Raka sambil memeriksa kartu akses di tangannya. “Kalau kita terlalu banyak berpikir, mereka akan bergerak lebih cepat dari kita.”

Mereka berdua memasuki lobi gedung dengan langkah tenang, mencoba menyatu dengan kerumunan pekerja lainnya. Penampilan mereka sengaja disesuaikan—Raka mengenakan jas abu-abu dan dasi, sementara Nadia tampil profesional dengan blus putih dan rok pensil hitam.

“Selamat pagi, Pak,” sapa satpam di pintu masuk, memeriksa kartu akses yang diberikan Raka. Jantungnya berdebar kencang saat alat pemindai berbunyi.

**BIP.** Lampu hijau menyala.

“Kartu Anda valid. Silakan masuk.”

Raka menahan napasnya sejenak, kemudian mengangguk singkat. Nadia mengikuti di belakangnya, kartu aksesnya juga lolos pemeriksaan tanpa masalah. Namun, begitu mereka melangkah menuju lift, Nadia berbisik pelan.

“Kartu ini cuma berlaku di beberapa lantai tertentu. Kita harus cari jalan untuk ke lantai pusat data.”

Raka melirik layar kecil di dalam lift yang menunjukkan lantai yang bisa diakses kartu mereka. “Lantai 12. Itu mungkin cukup untuk memulai.”

Setibanya di lantai 12, mereka berjalan menyusuri lorong-lorong yang penuh dengan bilik-bilik kerja. Suasana tampak sibuk, dengan para pekerja mengetik di komputer atau berbicara melalui telepon. Raka dan Nadia mencoba untuk tidak mencuri perhatian, tetapi di tengah keramaian itu, Nadia melihat sesuatu.

“Raka,” bisiknya sambil menarik lengannya. “Lihat, di ujung lorong.”

Raka mengikuti arah pandangannya. Di sana, seorang pria berbadan besar berdiri dengan tangan terlipat. Wajahnya yang keras terlihat tidak cocok untuk seorang pegawai kantor.

“Satpam dalam penyamaran?” tanya Raka.

“Bisa jadi. Kita harus cari jalan lain,” jawab Nadia cepat.

Mereka berbelok ke koridor lain, kali ini menuju ruang arsip yang kosong. Begitu pintu tertutup di belakang mereka, Nadia membuka laptop kecil dari dalam tasnya. “Aku akan coba sambungkan ke jaringan internal mereka. Kalau aku bisa akses sistem keamanan, kita bisa lihat kamera CCTV dan cari tahu rute aman ke pusat data.”

“Berapa lama?” tanya Raka sambil berjaga di depan pintu.

“Kalau koneksi ini tidak terlalu rumit, mungkin lima menit. Tapi kalau mereka punya firewall canggih…” Nadia terdiam sejenak. “Yah, kita lihat saja nanti.”

Ketukan pelan di pintu membuat keduanya langsung terdiam. Raka memberi isyarat kepada Nadia untuk tetap tenang.

“Siapa di dalam?” Suara seorang pria terdengar dari luar.

Raka menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. Dia membuka pintu sedikit dan melihat seorang pria mengenakan seragam staf gedung. “Oh, maaf, Pak. Saya pikir ruangan ini kosong. Ada yang bisa saya bantu?”

Raka tersenyum kecil. “Tidak, kami hanya butuh tempat untuk menyelesaikan laporan dengan tenang. Ruangan di luar terlalu ramai.”

Pria itu tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan terlalu lama. Ruangan ini seharusnya tidak digunakan oleh staf biasa.”

Begitu pria itu pergi, Raka menutup pintu dengan cepat. “Kita harus cepat, Nadia. Waktu kita tidak banyak.”

“Aku hampir selesai,” jawab Nadia sambil mengetik cepat di laptopnya. Tiba-tiba, dia berseru pelan. “Gotcha! Aku masuk.”

Raka mendekat, melihat layar laptop yang menampilkan peta gedung dan jaringan kamera CCTV. “Oke, pusat data ada di lantai 15. Tapi ada dua penjaga bersenjata di koridor menuju ke sana. Kita harus cari jalan lain.”

“Ada pintu darurat di sisi barat gedung,” ujar Nadia sambil menunjuk peta. “Kita bisa gunakan itu untuk naik ke lantai 15 tanpa harus melewati penjaga.”

Mereka segera bergerak, menyelinap ke tangga darurat tanpa menarik perhatian. Tangga itu sempit dan gelap, tetapi jauh lebih aman daripada mencoba melewati lantai utama yang penuh dengan kamera dan penjaga.

Setibanya di lantai 15, mereka membuka pintu perlahan. Lorong itu sepi, tetapi terasa mencekam. Raka memimpin, sementara Nadia mengawasi belakang mereka.

“Ruangan pusat data ada di ujung koridor,” bisik Nadia.

Mereka mendekat dengan hati-hati, tetapi sebelum sempat mencapai pintu, suara langkah kaki terdengar mendekat. Raka menarik Nadia ke balik sebuah meja besar, menahan napas saat dua pria bersenjata lewat.

“Kamu lihat sesuatu tadi?” tanya salah satu dari mereka.

“Tidak, mungkin hanya angin.”

Setelah penjaga itu pergi, Raka dan Nadia melanjutkan perjalanan mereka. Begitu tiba di depan pintu pusat data, Nadia dengan cepat menggunakan perangkat kecil untuk membuka kunci elektroniknya.

“Berapa lama lagi?” tanya Raka sambil berjaga.

“Beri aku dua menit.” Nadia sibuk dengan perangkatnya, mengetik cepat sambil mencoba mem-bypass sistem keamanan pintu. Akhirnya, pintu terbuka dengan bunyi klik pelan.

Mereka masuk ke dalam ruangan penuh dengan rak-rak server yang berdengung. Cahaya biru dari layar-layar monitor memantul di dinding, menciptakan suasana yang hampir futuristik.

“Aku akan unduh semua data yang kita butuhkan,” ujar Nadia sambil menghubungkan laptopnya ke salah satu server. “Ini mungkin akan memakan waktu beberapa menit.”

Raka mengangguk, matanya terus mengawasi pintu. Namun, rasa tenang itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba, suara alarm terdengar.

“Mereka tahu kita di sini,” kata Raka dengan tegang.

Nadia mengetik lebih cepat. “Aku butuh sedikit lagi! Lima menit!”

“Lima menit itu terlalu lama!” Raka mengambil posisinya di belakang rak server, mengintip ke pintu. Langkah kaki berat terdengar mendekat.

“Nadia, kita harus pergi sekarang!” seru Raka.

“Belum! Ini semua data yang kita butuhkan untuk mengungkap jaringan mereka!”

Pintu terbuka dengan kasar, dan dua pria bersenjata masuk. Raka melompat keluar dari persembunyiannya, menjatuhkan salah satu pria dengan pukulan keras. Yang lain mencoba menembak, tetapi Raka berhasil memukul pistolnya hingga terlempar.

Nadia menyelesaikan proses unduhan tepat saat perkelahian itu berakhir. “Aku dapatkan datanya! Kita harus keluar!”

Mereka berlari keluar dari ruangan, melewati lorong-lorong yang kini dipenuhi dengan penjaga. Dengan setiap langkah, mereka merasa semakin dekat dengan kebebasan, tetapi bahaya juga semakin besar.

Ketika akhirnya mereka mencapai tangga darurat, Raka dan Nadia melompat turun, mencoba menghindari tembakan dari penjaga yang mengejar mereka.

“Turun lebih cepat!” teriak Raka sambil menahan pintu agar Nadia bisa lebih dulu.

Dengan napas terengah-engah, mereka berhasil mencapai lantai bawah dan menyelinap keluar melalui pintu belakang gedung. Alarm masih terdengar nyaring di belakang mereka, tetapi mereka tahu, untuk saat ini, mereka telah menang.

Dengan file data di tangan mereka, Raka dan Nadia berhasil mendapatkan bukti penting yang dapat menghancurkan jaringan Brahmana. Namun, mereka juga tahu bahwa aksi mereka telah membuat mereka menjadi target.

Mobil melaju dengan cepat, menyusuri jalanan Jakarta yang kini mulai sibuk di pagi hari. Asap knalpot kendaraan di sekitar mereka menciptakan kabut tipis yang mengaburkan pandangan, namun hal itu tidak mempengaruhi fokus Raka dan Nadia. Mereka berdua duduk di dalam mobil, saling terdiam sesaat, masing-masing tenggelam dalam pemikiran mereka.

Raka memegang erat tas yang berisi file-data penting yang baru saja mereka ambil. "Kita berhasil mendapatkan ini," katanya, suara penuh tekad. "Tapi kita tahu ini baru permulaan, Nadia. Apa yang kita ambil ini hanya sebagian dari keseluruhan jaringan yang mereka jalankan."

Nadia menatapnya, matanya tajam dan penuh semangat. "Kita sudah melangkah jauh, Raka. Kita tidak bisa mundur sekarang. Mereka pasti akan berusaha menutup semua yang kita ambil. Kalau kita berhenti sekarang, mereka akan menang. Kita harus terus maju, tidak peduli apa yang terjadi."

Raka mengangguk. "Kita sudah terlalu dekat untuk menyerah. Mereka tidak akan membiarkan ini begitu saja. Kita harus siap untuk menghadapi lebih banyak bahaya. Tapi aku tahu satu hal, Nadia—kita tidak akan berhenti sampai kita menghancurkan mereka. Sampai semua ini terungkap."

Nadia menghela napas dalam-dalam. "Aku tahu. Kita punya satu kesempatan untuk menghentikan semuanya, untuk menghentikan orang-orang seperti Viktor yang bermain-main dengan kehidupan orang lain. Kita punya data ini sekarang, dan itu lebih dari cukup untuk membongkar seluruh jaringan mereka."

Raka menatap luar jendela, matanya terfokus pada jalan yang mereka lalui. Jakarta, kota besar yang penuh dengan rahasia, seakan menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Di balik kemewahan gedung-gedung pencakar langit dan kemacetan jalanan, ada sisi gelap yang tak terungkap—sebuah jaringan kejahatan yang telah meracuni hati banyak orang, termasuk mereka berdua.

"Kita akan menghancurkan jaringan ini, Nadia," kata Raka, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Nadia. "Dengan bukti ini, kita bisa membuka mata dunia. Kita bisa menunjukkan siapa mereka sebenarnya dan apa yang telah mereka lakukan kepada orang-orang tak bersalah."

Nadia menoleh, melihat ekspresi serius di wajah Raka. "Kita juga harus berhati-hati. Mereka pasti akan melacak kita. Mereka pasti sudah mengetahui kita mengambil data ini. Kita tidak bisa terus bergerak tanpa rencana yang matang."

Raka mengangguk, matanya menyiratkan ketegasan. "Kita akan bersembunyi sementara waktu. Kita akan menyusun rencana dengan hati-hati. Tapi satu hal yang pasti, kita harus bergerak cepat. Waktu kita terbatas."

Di luar, jalanan Jakarta semakin ramai, tanda bahwa hari semakin siang. Tetapi dalam hati Raka dan Nadia, waktu terasa semakin sempit. Mereka tahu bahwa perjuangan ini belum berakhir, bahkan baru saja dimulai. Meskipun mereka sudah berhasil memperoleh bukti penting, mereka juga sadar bahwa banyak hal yang masih harus mereka hadapi.

“Jangan pernah ragu, Raka,” Nadia berkata dengan penuh keyakinan. “Kita sudah berada di jalur yang benar. Apa pun yang mereka lakukan untuk menghentikan kita, kita tidak akan mundur. Kita punya alasan yang lebih besar dari sekadar diri kita sendiri. Ini tentang mereka yang tidak bisa berbicara, yang terjebak dalam cengkraman mereka."

Raka menatap Nadia dengan tatapan penuh penghargaan. “Aku tahu. Kita tidak hanya bertarung untuk diri kita. Kita bertarung untuk mereka yang tidak bisa melawan. Dan untuk masa depan yang lebih baik.”

Mobil itu terus melaju, membawa mereka menuju takdir yang tidak bisa dihindari. Mereka tahu, setiap langkah ke depan bisa menjadi langkah terakhir mereka, namun tidak ada rasa takut yang menghalangi tekad mereka. Mereka tahu jalan yang mereka pilih penuh dengan bahaya dan tantangan, tapi itu adalah jalan yang mereka pilih—jalan menuju kebenaran, jalan untuk menghentikan kejahatan yang merajalela.

Saat mobil berbelok dan memasuki kawasan yang lebih sepi, Nadia memecah keheningan. “Raka, kita sudah melangkah jauh. Tapi aku merasa ada yang lebih besar sedang menunggu kita. Ini bukan sekadar tentang data atau bukti. Ini tentang kekuatan yang ada di balik layar, yang lebih besar dari apa yang kita bayangkan."

Raka menatap ke depan, melihat jalan yang panjang dan berliku-liku di hadapan mereka. “Aku tahu. Tapi kita harus siap untuk menghadapi siapa pun, apapun yang mereka lakukan. Kita sudah melewati cukup banyak rintangan untuk berhenti sekarang. Dan aku percaya, selama kita bersama, kita tidak akan terkalahkan.”

Mobil terus melaju, memasuki keheningan yang lebih dalam, seperti mengingatkan mereka bahwa perjalanan ini belum selesai. Mereka tahu bahwa meskipun gelap dan tak terbayangkan, cahaya masih ada di ujung jalan. Mereka hanya perlu terus melangkah.

Raka dan Nadia sadar betul bahwa apa yang mereka hadapi bukanlah sekadar permainan. Ini adalah perjuangan yang akan menentukan nasib mereka, dan mungkin juga nasib orang-orang yang mereka cintai. Mereka tidak akan pernah berhenti berjuang, tidak peduli seberapa besar ancamannya. Mereka tahu bahwa hanya dengan terus maju, mereka bisa mengungkap kebenaran dan membawa keadilan untuk semua yang terzalimi.

Dan saat malam kembali datang, dengan Jakarta yang tetap sibuk dan tak kenal ampun, mereka berdua tahu bahwa langkah mereka telah ditentukan. Tidak ada jalan kembali. Yang ada hanya jalan menuju kemenangan, atau jalan menuju kehancuran. Namun mereka siap mengambil risiko itu—karena mereka tahu, hanya dengan berani, mereka bisa menciptakan perubahan.

Dan di dalam hati mereka, keyakinan itu tetap menyala, membimbing setiap langkah mereka, meskipun dunia seakan menutup peluang. Perjuangan ini tidak hanya untuk diri mereka—tapi untuk semua yang terdiam dalam kegelapan, yang menunggu untuk dikeluarkan dari cengkraman kejahatan yang selama ini menindas mereka.

Mereka berdua melanjutkan perjalanan itu, membawa harapan dan tekad yang tak terbendung. Karena bagi mereka, tidak ada yang lebih kuat dari pada kebenaran yang akhirnya terungkap.

1
🌜💖Wanda💕🌛
Luar biasa
meris dawati Sihombing
Kereta Api Sumatera tujuan Jakarta dah ada gt?
Kardi Kardi
good workssss
Aditya Ramdhan22
lanjutkan suhu
Irhamul Fikri
kenapa bisa kesel kak
ig : mcg_me
gw pernah hidup kayak gini di bawah orang, yg anehnya dlu gw malah bangga.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)
ig : mcg_me
semangat Arka
Irhamul Fikri: wah pastinya dong, nanti di bagian ke 2 lebih seru lagi kak
total 1 replies
Aditya Ramdhan22
wow mantap suhu,lanjutkan huu thor
Irhamul Fikri: jangan lupa follow
Irhamul Fikri: siap abngku
total 2 replies
Putri Yais
Ceritanya ringan dengan bahasa yang mudah dipahami.
Irhamul Fikri: jangan lupa follow
Irhamul Fikri: Terima kasih kak
total 2 replies
Aditya Warman
berbelit belit ceritanya
Aditya Warman
Tolong dong tor,jangan mengulang ngulang kalimat yg itu² aja ..boring bacanya...jakarta memang keras...jakarta memang keras...
Heulwen
Dapat pelajaran berharga. 🧐
Uchiha Itachi
Bikin saya penasaran terus
Zuzaki Noroga
Jadi nagih!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!