Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Kiss and A Promise
Ketika pesta berakhir dan mereka kembali ke kamar mereka, suasana terasa berat. Shabiya duduk di sofa, memandangi Chandra yang sedang melepaskan dasinya di depan cermin.
“Apa tadi itu sungguhan?” tanyanya tiba-tiba, suaranya tenang tapi penuh dengan pertanyaan.
Chandra berhenti, menatap bayangannya di cermin sebelum berbalik. “Apa maksudmu?”
“Ciuman itu. Apakah itu untukku, atau hanya untuk membuat Erika diam?” Shabiya menatapnya dengan mata yang penuh ketegasan, menolak untuk menyerah pada keraguan.
Wajah Chandra langsung berubah. Pertanyaan itu seperti petir di tengah malam. Shabiya yang melihat ekspresi Candra mengernyit, menunggu kalimat apa yang hendak dikatakan suaminya itu.
Chandra mendengus pelan, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia menoleh pelan ke arah Shabiya, matanya yang biasanya tajam dan tak terpengaruh kini tampak ragu. Ia tahu, pertanyaan itu bukan sekadar untuk sekadar mengungkapkan rasa ingin tahu. Itu adalah sebuah tantangan—untuk membuka diri, sesuatu yang Chandra merasa tak mudah untuk dilakukan.
Untuk beberapa detik, ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, matanya menatap tak tentu arah, seolah mencari sesuatu yang tak tampak di malam gelap itu. Wajahnya menunjukkan ketegangan yang begitu dalam, seolah-olah masa lalu yang pahit sedang datang kembali, mencoba merobek-robek kedamaian yang sempat ia raih.
"Aku... tidak tahu bagaimana menjelaskannya," akhirnya Chandra berkata, suara rendah dan serak, seperti menahan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kata-kata.
Shabiya mengerutkan kening, menatapnya dengan penuh perhatian.
Chandra berbalik dengan gerakan lambat, tatapannya lebih serius sekarang. "Aku ingin menunjukkan pada mereka bahwa aku sudah melepaskan masa lalu," jawabnya, nada suaranya hampir tak terdengar, penuh dengan penekanan. "Erika bukan lagi bagian dari hidupku, Shabiya. Dan ciuman itu... adalah cara untuk menegaskan bahwa apa yang terjadi di masa lalu, itu sudah selesai. Tapi lebih dari itu, aku ingin... mencoba menjalani pernikahan ini sebagaimana mestinya."
Shabiya terdiam, mencerna kata-kata Chandra. Sebuah perasaan tak terjelaskan mulai menyusup ke dalam dirinya, perasaan yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami. Seperti ada yang sedang berkembang dalam diri mereka berdua—sesuatu yang lebih dari sekadar pengakuan pernikahan yang dipaksakan. Tetapi bagaimana mereka bisa menyebutnya? Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka, jika bukan sekadar pengakuan atas perasaan yang tumbuh seiring waktu?
Mereka hanya punya waktu tiga bulan untuk saling mengenal, sekaligus melakukan persiapan pernikahan. Semuanya terjadi begitu cepat. Rasanya hampir mustahil jika Chandra mendadak menginginkannya, begitupun juga Shabiya. Pernikahan ini, sejak awal hanyalah alat untuk memperbaiki reputasi keluarga yang nyaris tercemar, memperkuat pondasi perusahaan yang bisa kapan saja goyah. Tidak ada perasaan, apalagi cinta dan Shabiya yakin itu.
“Aku tahu kau merasa pernikahan ini hanyalah sebuah kewajiban,” lanjut Chandra, suaranya berubah menjadi lebih dalam, lebih penuh emosi yang terpendam. “Dan aku juga tahu bahwa aku mungkin tidak sepenuhnya siap untuk membuka diriku sepenuhnya. Tapi kau perlu tahu satu hal—meskipun ini bukan pernikahan yang dimulai dengan cinta, aku ingin kita menjalani pernikahan ini selayaknya pasangan sesungguhnya. Cinta, perasaan dan semacamnya, bisa saja tumbuh seiring berjalannya waktu, atau mungkin tidak sama sekali. Tapi aku ingin kita menjalani kewajiban kita masing-masing, aku sebagai seorang suami dan kau sebagai seorang istri. Dan ciuman itu, meskipun impulsif, adalah bagian dari itu, bahwa kita bukan hanya dua orang yang terjebak dalam sekedar pernikahan bisnis dan permainan emosi. Tapi juga suami istri sesungguhnya."
Shabiya menggigit bibir bawahnya, merasa seolah-olah ia berada di ujung jurang. Mereka berbicara tentang pernikahan yang tidak dimulai dengan dasar cinta, tentang drama yang mereka mulai di depan Awan dan Erika, tetapi juga tentang kemungkinan—kemungkinan untuk menciptakan sesuatu yang lebih besar. Dan meskipun ia ingin percaya pada kata-kata Chandra, ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang masih tertahan di dalam dirinya, yang belum bisa ia ungkapkan.
Chandra melangkah mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Shabiya. "Aku ingin kau tahu satu hal, Shabiya," katanya dengan suara yang lebih lembut, namun penuh ketegasan. "Aku tidak akan mengabaikanmu. Aku tidak akan membiarkan masa laluku merusak masa depanku."
Shabiya diam, tidak mengiyakan ataupun menolak. Otaknya sibuk mencerna kalimat terakhir Chandra. Jika Chandra menganggap pernikahan ini serius, alih-alih formalitas seperti yang dipikirkan Shabiya, apa itu artinya_
"Dan satu hal lagi, Shabiya," kata-kata Chandra menggantung di udara. "aku juga mengharapkan seorang keturunan," katanya, tenang dan dalam, seolah itu bukanlah sesuatu hal besar.
"Anak? Adopsi?" Shabiya mengerutkan kening, matanya menyipit.
Chandra tersenyum, sudut bibirnya terangkat, sebelum akhirnya melanjutkan, "Tentu saja tidak, Shabiya. Aku menginginkan keturunan, bukan adopsi. Dan itu artinya, kau harus mengandung anakku."
***