Rere jatuh cinta pada pria buta misterius yang dia temui di Sekolah luar biasa. Ketika mereka menjalin hubungan, Rere mendapati bahwa dirinya tengah mengandung. Saat hendak memberitahu itu pada sang kekasih. Dia justru dicampakkan, namun disitulah Rere mengetahui bahwa kekasihnya adalah Putra Mahkota Suin Serigala.
Sialnya... bayi dalam Kandungan Rere tidak akan bertahan jika jauh dari Ayahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Erotis
Bab 27 -
Di hutan khusus yang dijadikan tempat pelatihan para prajurit, Putra Mahkota Arion menunggangi kudanya dengan langkah lambat.
Calix dan Jenderal Kylen berada tak jauh di belakangnya, mengawasi para prajurit yang sedang dilatih. Sejak beberapa hari terakhir, Arion memang lebih banyak fokus pada pelatihan para prajurit, mengerahkan seluruh tenaganya untuk memastikan mereka siap menghadapi segala ancaman yang mungkin datang.
Namun, hari ini berbeda. Meskipun tubuhnya hadir di tengah-tengah pelatihan itu, pikirannya berada di tempat lain. Setiap langkah kuda yang diambilnya terasa seolah berat, seakan sesuatu sedang menarik perhatiannya dari tugasnya yang sebenarnya. Wajah Rere terus-menerus muncul di benaknya, terutama sejak kejadian kabut halusinasi yang mengacaukan pikirannya beberapa waktu lalu. Dalam halusinasi itu, Arion melihat Rere-wajahnya, senyumnya dan perasaan aneh yang muncul bersamaan dengan itu.
Arion menggenggam tali kendali kudanya lebih erat, matanya menerawang ke arah pepohonan, namun pandangannya kosong.
Dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar halusinasi. Apakah itu perasaan yang selama ini dia pendam? Ataukah hanya efek dari kabut yang membuatnya berpikir terlalu jauh?
Di tengah lamunannya, tiba-tiba suara tegas Calix memecah keheningan.
"Yang Mulia! Fokuslah!" seru Calix, yang sudah memperhatikan perilaku Arion yang tampak linglung sejak tadi.
Arion tersentak, seolah terbangun dari pikirannya. Dia menoleh ke arah Calix, yang menatapnya dengan tatapan tajam. "Apa yang sedang kau pikirkan, Yang Mulia? Kau sepertinya tidak di sini bersama kami."
Arion menarik napas dalam-dalam, mencoba memusatkan pikirannya kembali. "Aku baik-baik saja," jawabnya singkat, meskipun jelas bahwa pikirannya masih terganggu.
Calix mendekat, masih menatap Arion dengan tajam. "Sejak beberapa hari terakhir, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ini bukan waktu untuk teralihkan."
Arion tahu bahwa Calix benar. Dia memang tidak boleh terganggu saat ini, terutama dengan ancaman yang masih ada di dunia mereka. Namun, setiap kali dia mencoba fokus, bayangan Rere kembali mengusik pikirannya.
"Ada sesuatu yang tidak bisa kuabaikan," gumam Arion pada akhirnya, meskipun dia tidak menjelaskan lebih lanjut.
Calix menatapnya dengan penuh pengertian. "Jika itu masalah yang bisa diselesaikan, maka selesaikanlah. Tapi jangan biarkan hal itu menguasai pikiranmu di sini."
Arion mengangguk, meskipun dia tahu bahwa menyelesaikan masalah ini tidak akan mudah. Dia tidak bisa mengabaikan perasaannya terhadap Rere, tetapi dia juga tidak bisa membiarkan itu memengaruhi tugasnya sebagai Putra Mahkota.
Dengan napas berat, Arion akhirnya memutuskan untuk mendorong pikirannya kembali pada pelatihan. Namun, jauh di dalam hatinya, dia tahu bahwa masalah ini tidak akan hilang begitu saja. Wajah Rere, senyumannya, dan semua yang pernah terjadi di antara mereka kini menjadi sesuatu yang harus dia hadapi.
Sore itu, Putra Mahkota Arion duduk dengan rasa frustrasi di dalam kamp pelatihan. Matahari mulai meredup, dan udara malam yang sejuk mulai menyelimuti area pelatihan. Namun, pikiran Arion tidak tenang, meskipun tubuhnya beristirahat. Victor, yang biasanya selalu penuh semangat dan candaan, duduk tak jauh dari Arion, memperhatikan sahabatnya yang terlihat gelisah.
Arion menghela napas panjang, mencoba meredakan kebingungan di dalam dirinya. Setelah beberapa menit terdiam, dia akhirnya memecah keheningan, bertanya pada Victor tentang hal yang sudah lama mengganggunya.
"Victor, bagaimana jika... aku menolak Areum dan memilih Rere?"
tanya Arion dengan nada yang sedikit berat. Fokus utamanya bukanlah pada kisah asmara, melainkan pada tugasnya sebagai Putra Mahkota. Tapi di dalam hatinya, perasaan terhadap Rere selalu menghantui.
Victor, yang sedang menyiapkan peralatan, berhenti sejenak. Dia menatap Arion dengan alis terangkat, lalu tersenyum lebar seperti biasanya. "Oh? Jadi kau memikirkan itu sekarang?" ucapnya sambil bersandar di kursi, terlihat sangat tertarik dengan pertanyaan Arion.
Arion menggelengkan kepala pelan. "Bukan itu intinya. Aku tidak ingin fokus pada kisah asmara sekarang. Tapi jika aku harus memilih... aku tidak bisa berpikir untuk menerima Areum. Lagipula, dia terlalu ambisius, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengannya."
Victor mengangguk, mendengarkan dengan seksama, meskipun senyum nakal di wajahnya tidak pernah hilang. "Jadi, kau lebih memilih Rere?" tanyanya, menahan tawa. "Itu menarik. Jadi alasanmu menolak Areum bukan karena kau tidak tertarik pada asmara, tapi karena ada peri tertentu yang menarik perhatianmu."
Arion menatap Victor dengan tatapan datar, namun Victor terus melanjutkan candaannya. "Jujurlah, Arion. Kau tidak peduli soal asmara, kecuali dengan Rere, kan? Utusan peri itu selalu berada di pikiranmu. Jangan menyangkalnya!"
Arion mendesah, tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan Victor ketika dia sudah mulai meledek. "Bukan itu, Victor. Aku hanya merasa bahwa Areum bukan orang yang tepat. Rere mungkin lebih... tulus."
Namun, Victor tertawa kecil dan menepuk bahu Arion. "Tentu, tentu. Itu hanya alasanmu saja, bukan? Agar kau bisa lebih dekat dengan Rere tanpa terlihat terlalu tergesa-gesa?"
Arion tidak bisa menahan senyum tipis di bibirnya, meskipun dia mencoba tetap serius. Victor memang selalu bisa membuat suasana lebih ringan. "Kau salah paham. Aku hanya ingin membuat keputusan yang tepat, bukan berdasarkan perasaan semata."
Victor menyandarkan tubuhnya kembali, masih tersenyum lebar. "Tentu, tentu. Tapi, jujur saja, Arion... Jika kau memang memilih Rere, jangan buat alasan rumit. Ikuti saja perasaanmu. Lagipula, kau sudah terlalu banyak memikirkan hal lain. Mungkin sekarang saatnya untuk mengikuti hatimu."
Arion terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Victor. Meskipun Victor seringkali bercanda, ucapannya kali ini terdengar masuk akal. Mengikuti perasaan-sesuatu yang selama ini dia hindari karena fokusnya pada tugas dan tanggung jawab sebagai Putra Mahkota.
Sementara Arion terus merenung, Victor tersenyum puas, senang bisa sedikit menggoda sahabatnya. Namun, di balik candaannya, Victor tahu bahwa Arion sedang menghadapi pilihan besar yang akan mempengaruhi masa depannya, baik sebagai seorang pemimpin maupun seorang pria yang sedang mencari jalannya sendiri.
Setelah beberapa saat menggoda Arion, Victor melihat bahwa sahabatnya masih terlihat serius dan tampak terus memikirkan sesuatu yang lebih dalam. Kali ini, Victor memutuskan untuk memberikan saran yang lebih serius. Dia duduk lebih tegap dan menatap Arion dengan tatapan penuh pertimbangan.
"Arion, aku tahu aku sering bercanda, tapi kau harus memikirkan ini dengan serius," kata Victor dengan nada yang lebih dalam. "Masalah Putri Mahkota bukan hanya tentang perasaan atau asmara. Kau tahu betapa pentingnya posisi itu di mata para tetua dan bangsawan lainnya. Mereka akan terus mendesakmu soal ini."
Arion menoleh ke arah Victor, mendengarkan dengan lebih serius sekarang. Dia tahu bahwa Victor tidak selalu bersikap santai seperti biasanya, dan ketika dia berbicara dengan nada seperti ini, berarti ada hal penting yang harus dipertimbangkan.
"Mungkin pernikahan kontrak yang kau pertimbangkan dengan Rere bisa menjadi solusi sementara," lanjut Victor. "Ini akan membantu meringankan tekanan dari para tetua tentang pengangkatan Putri Mahkota. Mereka akan melihat bahwa kau sudah mengambil langkah, dan itu akan memberi kita waktu untuk fokus pada masalah yang lebih besar."
Arion terdiam sejenak, merenungkan saran Victor. Pernikahan kontrak memang sudah menjadi bagian dari pembicaraan beberapa waktu lalu, namun dia belum mengambil keputusan apapun. Dia tidak ingin tergesa-gesa, tetapi di sisi lain, masalah retakan dunia bawah jauh lebih penting dan mendesak.
Victor melanjutkan, "Kau tahu bahwa ancaman dari dunia bawah masih ada, meskipun retakannya sekarang terlihat lenyap. Tapi kita tidak bisa lengah. Mungkin ini hanya sementara."
Arion mengangguk pelan. "Aku tahu. Dan itulah yang membuatku semakin sulit untuk memutuskan soal Putri Mahkota. Aku tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan yang salah."
Victor menghela napas dan berdiri, berjalan ke arah tenda, lalu berbalik lagi menghadap Arion. "Mungkin kau bisa fokus pada pernikahan kontrak sementara waktu. Itu akan menenangkan para tetua, dan kau bisa fokus menangani masalah yang lebih mendesak."
Arion memikirkan hal itu dengan serius. Pernikahan kontrak memang bisa menjadi solusi sementara, tetapi dia masih merasa ada hal lain yang harus dipertimbangkan, terutama perasaannya terhadap Rere.
"Aku akan bertanya lagi pada Ajudan Raja Arthur soal retakan dunia bawah," lanjut Victor. "Sejauh yang aku tahu, retakan itu seolah lenyap. Tapi kita harus memastikan. Jika ada perkembangan, aku akan segera memberitahumu."
Arion mengangguk lagi, merasa sedikit lebih lega bahwa Victor akan memeriksa situasi lebih lanjut. Dia tahu bahwa waktunya semakin sempit, dan keputusan tentang Putri Mahkota serta masalah retakan dunia bawah akan menentukan masa depan kerajaannya.
Dengan saran serius dari Victor, Arion merasa bahwa dia harus segera mengambil keputusan-baik tentang pernikahan kontrak maupun cara menangani ancaman dari dunia bawah.
Di tengah malam yang tenang, Rere terbaring di tempat tidurnya, tenggelam dalam mimpi yang aneh dan penuh ambiguitas. Di dalam mimpinya, dia dan Putra Mahkota Arion berada dalam suasana yang jauh dari formal. Arion memeluknya erat, lengan kekarnya melingkari pinggangnya dengan penuh kehangatan. Tatapan mata tegasnya berubah menjadi lembut, dan bibirnya perlahan mendekat ke wajah Rere.
Rere bisa merasakan jantungnya berdegup kencang. Sentuhan tangan Arion yang membelai lembut wajahnya membuat tubuhnya terasa panas dingin. Bibir mereka semakin dekat, dan saat detik-detik yang menegangkan itu tiba, Arion menunduk untuk mengecup bibirnya.
Seketika tubuh Rere menjadi panas, campuran antara kegelisahan dan gairah mendadak menyelimuti dirinya. Sebelum bibir mereka benar-benar bertemu, Rere tiba-tiba terbangun dari mimpinya. Matanya terbuka lebar, napasnya terengah-engah, dan tubuhnya masih merasakan efek dari mimpi yang begitu erotis itu.
"Apa ini?!" seru Rere dengan nada pelan namun penuh rasa frustasi. Dia mengumpat pelan pada dirinya sendiri, merasa kesal dengan mimpi aneh yang baru saja dialaminya.
Tiba-tiba, Undine yang selalu tidur di dekatnya, terbangun karena suara Rere. Peri air itu menatap Rere dengan penuh keterkejutan. "Rere, apa yang terjadi? Kenapa kau terbangun tiba-tiba?"
Rere menghela napas panjang, wajahnya masih terasa panas karena mimpi itu. "Tidak ada apa-apa, Undine," gumamnya, berusaha menenangkan dirinya. "Aku hanya... mimpi buruk, atau lebih tepatnya, mimpi aneh." Undine melayang mendekat, menatap Rere dengan penuh rasa ingin tahu. "Ingat, Rere, kau sedang hamil," ucapnya dengan nada lembut namun mengingatkan. "Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang bisa mengganggumu. Ini mungkin hanya pengaruh dari hormon kehamilanmu."
Rere terdiam, menyadari bahwa Undine benar. Hormon kehamilan memang bisa membuatnya merasa aneh, bahkan mempengaruhi mimpi-mimpinya. Namun, meskipun begitu, mimpi tentang Arion tadi terasa terlalu nyata, dan perasaan yang muncul dari mimpi itu membuatnya merasa kesal dan bingung.
"Kenapa aku harus bermimpi seperti itu?" gumam Rere dengan nada frustrasi, memegangi kepalanya. "Ini tidak masuk akal. Lagipula... Arion bahkan belum memberikan jawaban tentang kontrak pernikahan itu, dan aku malah memimpikannya dengan cara seperti ini."
Undine tersenyum tipis, meskipun dia bisa melihat bahwa Rere masih terguncang oleh mimpi itu. "Kau mungkin hanya merasa tegang, Rere. Semua ini akan berlalu, percayalah. Fokuslah pada dirimu dan bayimu. Arion akan memberikan jawabannya pada waktunya."
Rere mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya, dia masih merasakan efek dari mimpi itu. Tubuhnya masih terasa panas, dan pikiran tentang Arion kini membayanginya dengan cara yang berbeda. "Sial," gumamnya pelan, "hormon kehamilan ini benar-benar membuatku gila. Aku bahkan... ingin menyentuhnya sekarang."
Sadar akan pikiran konyol itu, Rere hanya bisa merutuki dirinya sendiri. Dia tahu bahwa perasaannya terhadap Arion semakin rumit, terutama dengan bayi yang ada di dalam kandungannya. Namun, dia tidak bisa membiarkan mimpi seperti itu menguasai pikirannya. Dia harus tetap fokus, meskipun hormon kehamilan membuat segalanya menjadi lebih sulit.
Malam itu, Rere berusaha tidur kembali, meskipun dalam hatinya, perasaan terhadap Arion kini semakin membingungkan.
pliz jgn digantung ya ...
bikin penasaran kisah selanjutnya
apa yg dimaksud dgn setengah peri dan manusia? apakah rere?