NovelToon NovelToon
Jejak Dalam Semalam

Jejak Dalam Semalam

Status: tamat
Genre:Tamat / Romansa
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Achaa19

Malam itu langit dihiasi bintang-bintang yang gemerlap, seolah ikut merayakan pertemuan kami. Aku, yang biasanya memilih tenggelam dalam kesendirian, tak menyangka akan bertemu seseorang yang mampu membuat waktu seolah berhenti.

Di sudut sebuah kafe kecil di pinggir kota, tatapanku bertemu dengan matanya. Ia duduk di meja dekat jendela, menatap keluar seakan sedang menunggu sesuatu—atau mungkin seseorang. Rambutnya terurai, angin malam sesekali mengacaknya lembut. Ada sesuatu dalam dirinya yang memancarkan kehangatan, seperti nyala lilin dalam kegelapan.

"Apakah kursi ini kosong?" tanyanya tiba-tiba, suaranya selembut bayu malam. Aku hanya mengangguk, terlalu terpaku pada kehadirannya. Kami mulai berbicara, pertama-tama tentang hal-hal sederhana—cuaca, kopi, dan lagu yang sedang dimainkan di kafe itu. Namun, percakapan kami segera merambat ke hal-hal yang lebih dalam, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama.

Waktu berjalan begitu cepat. Tawa, cerita, dan keheningan yang nyaman

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achaa19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

gelombang perasaan

Bab 7: Gelombang Perasaan

Setelah malam itu, komunikasi mereka menjadi lebih sering. Mereka bertemu di berbagai tempat—taman, kafe, bahkan di ruang kerja Arya saat ia membagikan beberapa pemikirannya tentang kehidupan dan cinta. Setiap pertemuan mereka seakan membentuk ikatan yang semakin dalam, meskipun keduanya masih takut untuk mengakui apa yang mereka rasakan.

 

Pagi itu, udara cerah menyelimuti taman yang sama tempat mereka sering bertemu. Reina duduk di bawah pohon besar sambil memandangi langit biru yang cerah. Arya duduk di sampingnya, membiarkan angin sejuk membelai rambutnya.

Keduanya duduk dalam diam, tetapi tidak canggung. Keheningan itu memiliki ketenangan yang sama seperti saat mereka pertama kali bertemu—tanpa kata, tanpa harus berpura-pura, tetapi penuh makna.

Reina akhirnya memutuskan untuk memulai percakapan.

“Arya,” katanya pelan, suaranya seperti bisikan angin.

Arya menoleh padanya. “Ya?”

Reina menatap ke depan. “Kau tahu, aku sering berpikir tentang bagaimana kita bertemu. Kadang aku merasa ini adalah kebetulan, tetapi di sisi lain, aku berpikir bahwa mungkin ini adalah sesuatu yang berarti.”

Arya memutar cangkir kopi di tangannya. “Mungkin kebetulan bisa menjadi takdir jika kita memberinya makna.”

Reina tersenyum kecil. “Kau selalu berpikir dalam kalimat yang sederhana namun dalam.”

Arya menatapnya. “Kau sering membuatku berpikir juga, Reina.”

Reina memejamkan mata sejenak sambil mendengarkan suara angin. Perasaannya semakin kompleks setiap hari. Ada kerinduan, ada ketakutan, tetapi ia tahu ia tak bisa bersembunyi selamanya.

“Kau pernah merasakan seperti ini?” tanya Reina dengan mata tertutup.

“Merasakan apa?” Arya bertanya balik, penasaran.

“Seperti ada perasaan yang datang tanpa aba-aba, seperti gelombang yang sulit kita kendalikan,” lanjut Reina.

Arya termenung sejenak, memikirkan apa yang Reina katakan. “Ya,” ujarnya akhirnya. “Aku merasakannya setiap kali aku melihatmu.”

Kalimat itu menggantung di udara. Reina membuka matanya, menatap Arya dengan tatapan yang sulit dipahami.

“Setiap kali aku melihatmu, aku merasakan ketenangan yang aneh, tetapi juga ketakutan,” kata Arya dengan suara pelan.

Reina terdiam, memandangi wajah Arya. Ada ketulusan dalam perkataan itu, dan ia tahu bahwa ini adalah perasaan yang sama-sama mereka simpan dalam diam.

“Aku takut jika aku terlalu terbuka. Takut jika aku melukai diriku sendiri atau membuat segalanya lebih rumit,” kata Reina dengan suara bergetar.

Arya mendekatkan diri sedikit, menatapnya dengan lembut. “Reina, jika perasaan ini mengganggumu, kita bisa berjalan pelan-pelan. Tidak ada yang perlu kita paksa. Yang terpenting adalah kita saling memahami.”

Reina menghela napas panjang dan menunduk. “Aku hanya ingin tahu apakah ini akan berakhir seperti yang aku takutkan,” ujarnya.

Arya memegang tangan Reina dengan lembut. “Kita tidak tahu ke mana ini akan berakhir, tetapi yang penting kita mencoba dan memahami satu sama lain.”

Reina menatap tangan Arya yang memegangnya. Keberanian kecil itu memberinya kekuatan, meskipun ia masih merasa seperti berada di tepi jurang yang tak pasti.

“Baiklah,” ujarnya akhirnya dengan suara lembut. “Kita bisa berjalan pelan-pelan.”

Dan dengan itu, angin berhembus kembali, membawa aroma tanah dan rumput yang segar. Seperti perasaan mereka—masih samar, tetapi memiliki harapan yang mulai terbentuk perlahan-lahan.

 

Setelah perbincangan itu, Arya dan Reina mulai mencoba menjalani hari-hari mereka dengan lebih banyak komunikasi dan keterbukaan, meskipun keraguan dan ketakutan kadang masih datang. Perasaan mereka masih seperti gelombang yang bergelora—naik turun tanpa aba-aba yang bisa mereka kendalikan. Namun, mereka tahu bahwa perasaan ini adalah bagian dari perjalanan mereka.

Arya terus menjadi pendukung Reina, dan Reina mulai berusaha membiarkan dirinya terbuka tanpa rasa takut. Mereka saling belajar memahami, saling memberi ruang dan mendukung tanpa harus memaksakan apa-apa.

Setiap pertemuan, setiap percakapan, membangun kepercayaan yang semakin menguatkan ikatan mereka.

Mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Akan ada hari-hari di mana ketakutan datang, keraguan mengisi hati, dan kata-kata sulit untuk diungkapkan. Tapi mereka berjanji untuk terus mencoba, meskipun hanya dengan langkah kecil.

Dan langkah-langkah kecil ini adalah permulaan mereka—untuk memahami, untuk mencintai, dan untuk menemukan diri mereka sendiri dalam perjalanan ini.

Hari-hari yang mereka lalui bersama terasa seperti tarian yang lembut dan penuh misteri. Setiap pertemuan mereka membawa kehangatan, tetapi juga ketakutan yang kerap muncul tanpa aba-aba. Keduanya sedang berusaha memahami bahwa membangun hubungan berarti menghadapi keraguan, tetapi juga membiarkan diri untuk tumbuh perlahan-lahan.

Mereka tahu bahwa ini bukan perjalanan yang mudah, tetapi mereka ingin terus berjalan, walau dengan langkah kecil.

 

Sore itu, sinar matahari berwarna emas memantul di permukaan air sungai yang mengalir perlahan. Arya dan Reina duduk di tepi sungai, dengan suara air yang mengalun sebagai latar belakang mereka. Udara yang sejuk dan sinar matahari yang lembut membuat suasana menjadi begitu indah—tenang dan penuh makna.

Reina menatap air yang beriak dengan lembut, berpikir tentang percakapan mereka sebelumnya.

“Kau tahu, Arya,” katanya sambil memutar-mutar ujung jari di pasir, “kadang aku berpikir bahwa kita hanya mencoba membangun sesuatu yang belum pasti.”

Arya menatap ke arah yang sama, menanggapi dengan tenang. “Ya, mungkin benar. Tapi, mungkin perjalanan ini bukan tentang menemukan kepastian. Kadang perjalanan ini lebih tentang menikmati setiap langkahnya.”

Reina menghela napas. Perasaannya seperti alur air sungai yang berputar—terkadang deras, terkadang tenang.

“Kau sering bijak dalam memandang hidup,” ujar Reina sambil tersenyum kecil.

Arya menoleh padanya. “Aku hanya mencoba memahami diriku sendiri dan belajar melihat setiap hal dengan sederhana.”

Reina menatap wajah Arya. Wajah itu dipantulkan oleh cahaya matahari, menambah kesan hangat pada senyum yang ia tunjukkan. Ada ketulusan dalam tatapan itu—yang membuat hatinya berdebar dan keraguannya mulai mereda sedikit demi sedikit.

“Arya,” suara Reina lebih lembut dari sebelumnya, “apakah kau pernah merasa bahwa kita bisa belajar dari kenangan yang kita buat tanpa harus menutup diri pada masa lalu?”

Arya menoleh kepadanya dengan serius. “Aku pikir kita bisa selalu belajar dari setiap kenangan. Bahkan kenangan yang indah sekalipun bisa menjadi pengingat bahwa kita bisa merasa bahagia dengan orang yang tepat.”

Reina menunduk, mendengarkan kata-kata Arya. Semua yang ia dengar terasa sederhana, tetapi begitu berarti.

“Kadang aku merasa bahwa aku ingin menulis tentang semuanya,” lanjut Reina sambil tersenyum tipis, “menulis tentang perasaan ini, tentang kita, tentang langkah-langkah kecil yang kita ambil tanpa sadar.”

Arya tersenyum sambil mengangguk. “Mungkin kita bisa mulai dengan mengungkapkan apa yang kita rasakan, tanpa perlu menilai atau berpura-pura. Menulis bisa menjadi cara kita memahami perasaan kita.”

Reina memejamkan mata, membayangkan apa yang akan ia tulis. Kata-kata mulai bermain di kepalanya—rindu, ketakutan, harapan, dan keberanian yang ia miliki.

“Jika aku menulisnya,” ujarnya dengan nada pelan, “mungkin itu akan membebaskan diriku dari keraguan ini.”

Arya menatapnya dengan lembut. “Kau selalu memiliki cara untuk melihat hal-hal dengan perspektif yang indah, Reina.”

Reina tersenyum kecil. Mereka berdua tenggelam dalam suasana itu—dalam ketenangan sore, di tepi sungai yang berkilauan oleh sinar matahari. Kadang tidak perlu banyak kata untuk memahami satu sama lain.

 

Reina mulai membuka jurnal kecilnya. Buku catatan itu selalu ia gunakan untuk mencatat hal-hal yang ia rasakan, momen-momen sederhana, dan perasaan yang sering ia pendam. Kini, jurnal itu menjadi tempatnya menuliskan tentang Arya, tentang perasaannya, dan tentang perjalanan mereka berdua.

Di halaman pertama, ia menulis:

“Kau datang seperti angin—tenang, misterius, dan menghangatkan. Setiap kali aku berbicara denganmu, aku merasakan ketenangan yang tak pernah aku pahami sebelumnya. Aku masih takut, tetapi aku ingin mencoba. Aku ingin memahami ini, apa yang kita punya, tanpa harus memaksanya menjadi lebih dari apa adanya.”

Ia menulis itu dengan tinta yang berisi semua perasaannya—rindu, ketakutan, dan juga harapan. Tulisan itu adalah catatan kecil untuk dirinya sendiri, sebuah cara untuk melepaskan beban yang ia rasakan dan menemukan keteguhan hati.

 

Malam itu, mereka bertemu di kafe yang sama. Reina membawa jurnal kecilnya, sementara Arya memegang secangkir kopi hangat di tangan. Mereka duduk berhadapan, seperti biasa.

Arya tersenyum. “Kau terlihat sibuk beberapa hari ini. Ada apa?”

Reina menatap jurnal kecilnya, lalu menghela napas. “Aku hanya mencoba memahami diriku sendiri. Menulis membantuku untuk mengerti apa yang aku rasakan.”

Arya mengangguk. “Aku senang jika itu membantumu.”

Reina menutup jurnalnya dan menatap Arya. “Kau selalu ada di sini untukku. Itu berarti banyak, Arya.”

Arya tersenyum lebih lebar, lalu mengulurkan tangannya. Reina meraih tangan itu tanpa ragu.

“Kadang kita hanya perlu berjalan perlahan dan membiarkan diri kita belajar,” ujar Arya dengan lembut.

Dan dengan kalimat itu, mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi mereka memiliki satu sama lain.

Kafe itu terasa lebih hangat malam itu, dengan secangkir kopi, senyuman sederhana, dan kepercayaan yang mulai mereka bangun perlahan-lahan.

Mereka tahu gelombang perasaan ini akan terus ada, tetapi mereka juga tahu bahwa dengan memahami satu sama lain, mereka bisa terus berjalan tanpa rasa takut.

1
Guchuko
Aku ngerasa terhibur dan tidak sendirian setiap membaca cerita ini.
Oscar François de Jarjayes
Ceritanya bikin aku terbuai sejak bab pertama sampai bab terakhir!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!