Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Keberanian di Ambang Kehancuran
Matahari terbit di cakrawala, membawa kehangatan yang mengusir kegelapan malam. Namun, di ruang utama yang terletak di lantai atas gedung yang terabaikan, segerombolan pikiran gelisah berkumpul. Elyana berdiri di samping Davin, menatap peta besar yang menampilkan titik-titik merah yang berkedip di layar. Semakin lama, gambaran itu makin jelas—semakin dekat dengan pusat kekuasaan Kardinal Nocturne.
“Pusat utama mereka pasti dilindungi ketat,” kata Davin, suaranya berat dan penuh kewaspadaan. “Kalau kita masuk, kita harus siap menghadapi semua kemungkinan.”
Marcus memeriksa sebuah layar kecil di tangan, matanya menyipit meneliti data yang sedang dikumpulkan. “Kita harus menggunakan strategi yang lebih pintar. Mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga teknologi yang lebih canggih.”
Elyana mengangguk, menekan jari-jarinya di sisi meja, berpikir keras. Sudah banyak hal yang mereka lalui, dan semakin mendekati pusat itu, semakin jelas bahwa ancaman kali ini lebih besar dari apa yang pernah mereka hadapi. Ryo mungkin hanya sekadar pion, tetapi Kardinal Nocturne adalah ancaman nyata. Mereka tak hanya menghadapi musuh, tetapi juga menghadapi ketidakpastian tentang siapa yang bisa mereka percayai.
“Rencana kita adalah menyusup ke pusat itu dan mencari informasi sebanyak mungkin. Jika kita bisa mengidentifikasi siapa yang memimpin, kita mungkin bisa menghentikan ancaman ini sebelum berkembang lebih jauh,” ucap Elyana, suara penuh tekad. “Marcus, pastikan ada jalur keluar yang aman jika sesuatu berjalan tak sesuai rencana.”
Marcus mengangguk, matanya menyiratkan persetujuan. “Sudah saya siapkan jalur darurat. Tidak akan mudah, tapi kita punya peluang.”
Davin menatap Elyana dengan tatapan penuh keyakinan. “Elyana, kita bisa melakukannya. Kita sudah sampai sejauh ini, dan kita tidak akan berhenti sekarang.”
Mata Elyana bertemu mata Davin, sebuah senyuman kecil terbit di bibirnya. Ada harapan dalam tatapan itu, sebuah api yang menyala di tengah kekacauan. “Aku tahu, Davin. Aku tahu kita bisa.”
Mereka meninggalkan ruang utama dan memulai perjalanan menuju lokasi yang ditandai di peta. Udara pagi itu terasa sejuk, tetapi ketegangan di hati mereka membekukan setiap langkah. Gedung-gedung tinggi di sekeliling mereka tampak menjulang lebih besar, seolah-olah menantang mereka untuk maju. Ada banyak hal yang belum mereka ketahui tentang Kardinal Nocturne, dan rasa takut akan kejutan yang menunggu di depan semakin menyelimuti mereka.
Tiba di lokasi, mereka menemukan sebuah jalan sempit yang dipenuhi dengan barang-barang bekas. Lorong itu tampak seperti pintu gerbang ke dunia yang tersembunyi. Marcus memimpin di depan, matanya waspada mencari tanda-tanda musuh. Davin dan Elyana mengikuti, berjalan hati-hati, siap dengan segala kemungkinan.
Setelah melewati serangkaian lorong gelap, mereka akhirnya tiba di pintu besi besar yang menghadap ke ruang kontrol utama. Pintu itu terbuat dari baja yang dipenuhi dengan serangkaian simbol yang sulit dimengerti—mungkin pertanda bahwa di baliknya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar tempat biasa.
“Ini dia,” bisik Marcus, menyentuh permukaan pintu itu dengan tangan terampil. Ia memindai pola simbol dengan cepat, mengingat algoritma yang telah dia pelajari.
Davin menatap Elyana, berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. “Kita harus siap menghadapi apa pun di balik pintu ini.”
Elyana menatap Davin, hatinya berdebar, tetapi ia tahu bahwa bersama Davin, ia bisa menghadapi apa pun. “Ayo, kita buka.”
Marcus menyelesaikan prosesnya dan pintu itu terbuka perlahan, menciptakan suara gemuruh yang menembus keheningan. Mereka melangkah masuk, menemukan ruang yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan. Ruang itu penuh dengan layar besar dan panel kontrol yang berkelip, menciptakan suasana yang aneh dan modern.
Di tengah-tengah ruangan itu, sebuah kursi besar dengan punggung yang menghadap mereka tampak seperti tempat duduk seorang penguasa. Kursi itu berputar perlahan, dan dari baliknya muncul sosok yang membuat hati Elyana berhenti sejenak.
“Selamat datang, Elyana dan Davin,” kata suara yang dalam dan tenang. Itu adalah suara yang tak asing bagi mereka, suara yang pernah terdengar dalam mimpi buruk mereka.
Wajah pria di kursi itu mulai terlihat. Dengan senyuman misterius dan mata yang penuh kebijaksanaan, dia berkata, “Kita sudah menunggu kedatangan kalian.”
Elyana menatapnya, tidak yakin apakah ini musuh atau sekutu. “Siapa kau?”
Pria itu memandang Elyana dengan pandangan tajam. “Aku Kardinal Nocturne, dan permainan ini baru saja dimulai.”
Kehadiran pria itu di hadapan mereka menyelimuti ruangan dengan ketegangan yang hampir bisa dipotong dengan pisau. Elyana menahan napas, mencoba menata ulang pikirannya yang semakin kacau. Dia sudah menduga bahwa musuh mereka bukan orang biasa, tetapi kenyataan ini jauh lebih mengejutkan dari yang dia bayangkan. Kardinal Nocturne—sosok yang selama ini hanya dikenal dalam legenda kelam dan bisikan para pengkhianat, kini berdiri di hadapan mereka.
Davin berdiri tegak di samping Elyana, tubuhnya terasa kaku namun matanya menunjukkan tekad. “Kenapa kau menunggu kami?” tanyanya, suaranya serak namun penuh tantangan.
Kardinal Nocturne tersenyum tipis, ekspresi di wajahnya tidak menunjukkan kebencian atau kebingungan. Dia seperti seorang maestro yang sedang memainkan simfoni yang rumit, dan Elyana bisa merasakan bahwa permainan ini telah dimulai jauh sebelum mereka tiba. “Karena aku tahu kalian akan datang,” jawabnya, suaranya tenang, namun mengandung ancaman yang sulit diabaikan.
Marcus, yang sejak awal diam dan terfokus, melangkah maju sedikit. Wajahnya penuh ketegangan, dan di tangannya, dia memegang sebuah tablet yang berisi data yang baru saja dia periksa. “Jangan bermain-main dengan kami. Apa yang sebenarnya kau rencanakan?” ujarnya, nada suaranya menunjukkan bahwa dia tidak akan mudah tertipu.
Kardinal Nocturne tertawa kecil, suara yang lembut namun menakutkan, menggema di ruangan itu. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kalian semua menyadari kenyataan. Bahwa dunia ini tidak hanya hitam dan putih. Di balik setiap kekuasaan, ada alasan dan motif yang lebih dalam.”
Elyana mengernyit. Kata-kata itu mengingatkannya pada sebuah kebenaran yang belum sepenuhnya dia pahami. “Aku tidak tertarik dengan alasanmu. Aku di sini untuk menghentikan kebohongan dan melawan ketidakadilan,” tegasnya, mencoba menguasai dirinya.
Kardinal Nocturne bangkit dari kursi besar itu, langkahnya lambat dan penuh perhitungan. Di sekelilingnya, layar-layar besar menampilkan data yang berkelip, tampak seperti peta kota yang penuh dengan titik-titik merah yang bergerak. “Kau sudah terlalu jauh, Elyana. Dan sekarang, kau di hadapan pilihan yang lebih sulit dari sebelumnya. Apa kau benar-benar siap untuk menghadapi kenyataan yang akan datang?”
Davin menatap Elyana, membaca ketegangan di wajahnya. Ini adalah ujian, bukan hanya untuk mereka, tetapi untuk semua orang yang memperjuangkan kebenaran. “Kami sudah siap,” kata Davin, menekankan setiap kata dengan keyakinan yang tulus.
Tiba-tiba, suasana ruangan berubah. Lampu-lampu yang semula terang mulai berkedip-kedip, seolah-olah sebuah alarm telah diaktifkan. Layar-layar besar itu menampilkan wajah-wajah para pejabat yang Elyana kenal—mereka yang duduk di kursi kekuasaan, berpura-pura tidak tahu apa-apa tentang kekacauan yang terjadi di bawah. Kini mereka semua tampak terperangkap dalam jaringan konspirasi yang lebih besar.
Kardinal Nocturne melangkah maju, matanya menatap Elyana dengan tajam. “Sebelum kalian melangkah lebih jauh, kalian perlu tahu satu hal: tidak ada jalan pulang. Begitu kalian membuka pintu ini, dunia yang kalian kenal akan berubah selamanya.”
Elyana menatap Davin, dan dalam sekejap mata itu, mereka berbagi pengertian yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Ini bukan hanya pertempuran fisik; ini adalah pertempuran untuk kebenaran, kepercayaan, dan mungkin—harapan.
Marcus menggenggam tablet itu lebih erat, bersiap untuk setiap keputusan yang harus mereka buat. “Apapun yang terjadi, kita tidak bisa mundur,” ujarnya, untuk mengingatkan mereka semua.
Dengan satu langkah maju, Elyana menghadap Kardinal Nocturne dan dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian, dia berkata, “Permainan ini belum selesai. Kami di sini untuk membuatnya berakhir.”
Kardinal Nocturne mengangkat satu alis, senyuman di wajahnya mengisyaratkan bahwa ia tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai. “Jika itu yang kau inginkan, maka selamat datang di dunia yang penuh dengan rahasia dan pengkhianatan. Kau akan segera belajar, Elyana, bahwa setiap pilihan ada harganya.”
Mata Elyana membara, seperti api yang siap melawan gelap. Ini adalah awal dari perang yang jauh lebih besar dari apa pun yang pernah mereka hadapi.
Kardinal Nocturne melangkah lebih dekat, dan suaranya mengisi ruangan, membuat setiap kata terasa seperti ancaman yang menusuk. “Kalian mungkin berpikir bahwa kalian sudah mengetahui semua rahasia di balik kekuasaan ini. Tapi kalian salah. Ada kekuatan yang lebih besar, yang tak bisa kalian bayangkan.”
Elyana menatap pria itu, berusaha menenangkan dirinya. Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena rasa penasaran yang mendalam. Apa yang selama ini tersembunyi? Mengapa dia begitu yakin bahwa mereka belum melihat seluruh gambaran?
“Kita tidak punya waktu untuk berbicara tentang teori konspirasi,” ujar Davin, suara tegasnya menonjol di antara bisikan mesin di sekeliling mereka. “Kami di sini untuk menghentikanmu.”
Kardinal Nocturne hanya tersenyum. Senyuman itu mengandung seribu rahasia, seolah dia tahu sesuatu yang tidak diketahui oleh mereka. “Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi. Ini bukan tentang menghentikan aku; ini tentang memahami alasan di balik semua ini,” katanya dengan nada yang penuh keyakinan.
“Jika itu yang kau inginkan, maka tunjukkan pada kami,” tantang Elyana, suaranya menjadi lebih keras, mencerminkan tekadnya.
Tiba-tiba, layar-layar besar di sekeliling mereka berubah. Gambar-gambar dari masa lalu yang penuh dengan kekacauan dan konflik mulai muncul, menampilkan potongan-potongan kejadian yang seolah bercerita tentang asal-usul Kardinal Nocturne dan organisasi rahasia ini. Wajah-wajah yang familiar muncul di layar, wajah para pemimpin yang dahulu dianggap sebagai pahlawan, kini terlihat seperti penjahat dalam permainan kekuasaan ini.
“Ini adalah cerita yang belum pernah kalian dengar,” Kardinal Nocturne melanjutkan, “sebuah kisah tentang bagaimana dunia ini dibentuk oleh mereka yang berani melihat kebenaran di balik tirai kekuasaan.”
Elyana melangkah maju, matanya terfokus pada layar. Ada sesuatu yang membuatnya tertegun; ada wajah ayahnya di sana, di antara para pemimpin yang kini terlihat seperti bagian dari intrik besar ini. Perasaan campur aduk menyeruak di dalam dirinya—kebingungan, kemarahan, dan kesedihan. Apakah ayahnya juga terlibat dalam permainan ini?
“Jika ini semua hanya untuk mengalihkan perhatian kami, kami tidak akan terpedaya,” kata Marcus, berusaha mengalihkan perhatian ke situasi yang lebih realitas. “Apa yang sebenarnya kau rencanakan, Kardinal?”
Kardinal Nocturne menoleh ke arah Marcus dengan pandangan penuh evaluasi. “Aku sudah menunggu kalian datang. Kalian adalah bagian dari cerita ini, bagian dari gambaran besar yang belum kalian pahami.”
Di luar, suara mesin-mesin berat mulai terdengar mendekat, dan langkah kaki yang berat menggema di lorong-lorong. Elyana tahu, bahwa tidak lama lagi mereka akan dihadapkan pada pertarungan yang sesungguhnya.
Davin menyentuh lengan Elyana dengan lembut, matanya penuh perhatian. “Kita harus keluar dari sini sebelum semuanya terlambat.”
Elyana menggeleng, tidak ingin menyerah begitu saja. “Tidak, Davin. Ini kesempatan kita untuk mengungkap semuanya. Jika kita meninggalkan tempat ini, kita tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Kardinal Nocturne memandang Elyana dengan senyum kecil. “Keberanianmu mengagumkan, Elyana. Tapi keberanian saja tidak cukup untuk bertahan di dunia ini.”
Tiba-tiba, ruangan dipenuhi dengan cahaya merah terang. Lampu-lampu berkedip lebih cepat, menandakan bahwa sistem keamanan sedang diaktifkan. Layar-layar yang menampilkan gambar-gambar itu mulai berkedip, seolah-olah memberi tahu mereka bahwa waktu mereka sudah habis.
“Waktunya sudah habis,” ujar Kardinal Nocturne dengan suara yang penuh kepercayaan. “Kalian bisa memilih—kembali ke kehidupan yang aman atau tetap berjuang dan menghadapi kenyataan.”
Elyana memandang Davin, dan untuk sesaat, dunia di sekitar mereka seakan berhenti. Mereka tahu bahwa keputusan ini tidak hanya akan menentukan nasib mereka, tetapi juga nasib dunia yang mereka kenal.
“Jika ini yang harus kita hadapi,” ujar Davin, menguatkan tekadnya, “maka kita akan melawan sampai akhir.”
Elyana mengangguk, matanya memantulkan sinar determinasi. “Aku siap menghadapi apa pun yang ada di depan kita.”
Dengan keputusan itu, mereka melangkah ke dalam kegelapan, bersiap menghadapi pertempuran yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
...****************...