Sang penjaga portal antar dunia yang dipilih oleh kekuatan sihir dari alam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon faruq balatif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan tak terduga
Ketika waktu makan tiba, mereka berkumpul di meja makan. Araya teringat akan teman-temannya dan neneknya, lalu menanyakan perihal kepulangannya kepada Paman Buno. Mereka memang sudah merencanakannya. Paman Buno akan mengantarkan Araya pulang, setidaknya membantunya mencari jalan kembali ke Kota Duran, tempat ia tinggal.
Muya dan Bibi Eva juga akan ikut besok, karena mereka harus mencari tahu di mana kota itu berada. Nama tempat tersebut asing bagi mereka, dan mereka belum pernah mendengarnya sebelumnya. Dalam percakapan yang santai dan cukup pelan, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari luar rumah. Mereka terkejut, dan Paman Buno langsung keluar diikuti oleh Muya, Bibi Eva, dan Araya.
Di luar, suasana mencekam menyambut mereka. Sekelompok makhluk menyerang desa mereka. Pertempuran pun tak terelakkan ketika warga desa melawan mereka dengan menggunakan pedang, tongkat, dan juga panah. Situasi yang begitu genting membuat keluarga Paman Buno panik. Dia mengambil tombaknya yang disembunyikan di atap teras dan menyuruh Bibi Eva untuk bersembunyi bersama Muya dan Araya di tugu yang ada di tengah desa.
Para warga, beserta tetua desa, bertarung untuk menghalangi orang-orang itu memasuki area dalam desa. Orang-orang yang sama seperti yang dilihat Araya pagi itu tampak seperti mayat hidup yang menyerang dengan membabi buta. Jerit tangis anak-anak dan wanita yang berkumpul di tugu desa menambah suasana mencekam. Beberapa rumah terbakar, dan korban yang mulai berjatuhan membuat malam itu sangat menakutkan.
Tetua desa mencoba melakukan ritual-ritual aneh untuk mengusir para penyerang. Araya, yang melihat situasi itu, tak tahu harus berbuat apa. Dia hanya memeluk Muya dan Bibi Eva, terperangkap dalam ketakutan dan kebingungan. Mereka berlutut, berkumpul dengan warga lainnya, saling berpegangan satu sama lain.
Dom, seorang tetua desa yang sangat dihormati, tiba-tiba mengeluarkan sebuah pedang besar yang mengeluarkan api. Pedang yang menyala merah itu ditebaskan ke arah makhluk-makhluk itu, membuat mereka terpental, menjerit terbakar, dan berlarian ke pinggiran desa. Araya yang menyaksikannya terdiam, takjub oleh apa yang ia saksikan, seolah itu adalah dongeng yang diceritakan neneknya sewaktu kecil. Namun, makhluk-makhluk itu masih berdatangan, bahkan bertambah banyak dengan kedatangan anjing-anjing bertubuh besar yang menyerupai monster.
Muya berteriak melihat ayahnya, Paman Buno, terjatuh dan terancam oleh makhluk-makhluk itu. Dia berlari untuk melindungi ayahnya. Araya, yang juga panik, berteriak dan berusaha ikut berlari, tetapi warga menahannya. Melihat Muya yang kini juga dalam bahaya, Araya hanya bisa berteriak. Dan memang, anjing itu mencakar Muya, membuatnya jatuh tersungkur. Melihat hal tersebut, Araya menjerit sekencang-kencangnya, hingga tiba-tiba kalung ibunya mengeluarkan cahaya yang begitu terang. Semua orang terkejut melihat fenomena itu.
Makhluk-makhluk itu tampak terbakar oleh cahaya tersebut. Ribuan kupu-kupu bercahaya tiba-tiba datang memenuhi desa hingga malam itu tampak begitu terang seolah pagi telah tiba. Makhluk-makhluk itu berlarian, meraung kesakitan tatkala cahaya itu mengenai tubuh mereka. Warga desa yang sebelumnya terkejut kini terpegun, menatap Araya dengan pandangan bingung.
Namun, karena cahaya yang begitu terang, banyak warga menutup mata mereka. Tak lama kemudian, cahaya itu meredup, dan mereka melihat Araya yang terjatuh pingsan sementara ribuan kupu-kupu itu perlahan menghilang.
Dom yang mendekati kerumunan warga di tugu langsung melihat ke arah Araya dan menatap wajahnya dengan pandangan yang dingin dan tajam, seolah tak percaya dengan apa yang ia saksikan. Dalam situasi yang masih mencekam karena banyak warga terluka dan mayat-mayat dari makhluk-makhluk aneh berserakan di desa, Dom menyuruh para tetua untuk berkumpul di dalam tugu. Ia juga meminta Eva mengobati Muya dan meminta Paman Buno membawa Araya ke dalam tugu.
Warga desa yang mengalami ketakutan akibat serangan itu harus menahan kesedihan dan duka mereka. Banyak dari mereka yang terluka parah, dan beberapa warga harus kehilangan nyawa. Dalam keadaan penuh tangis, mereka saling membantu untuk mengobati dan mengurus jasad keluarga yang tewas akibat serangan tersebut. Lampu-lampu dinyalakan lebih banyak, dan beberapa dari warga berjaga sambil membereskan rumah serta barang-barang yang hancur.
Di dalam tugu, para tetua dan pemimpin desa hanya memandangi Araya yang baru bangkit dari pingsannya. Mereka memberinya minum dan menanyakan keadaannya. Sementara itu, Paman Buno menceritakan siapa Araya dan bagaimana ia bisa berada di desa ini. Mereka bercerita sambil menunggu seorang tetua lain yang kebetulan tidak ada di sana.
Tak lama kemudian, Evlin, seorang wanita tua berambut putih yang telah mereka tunggu, tiba. Dom yang menghampirinya, langsung memegang tangannya dan berkata, “Ini anak itu.” Araya, yang baru sadar dari pingsannya, saling menatap dengan Evlin. Kemudian, Evlin memandangi wajah Araya. Evlin melihat kalung yang dipakai oleh Araya sembari mendekat kemudian bertanya padanya.
“Siapa namamu, nak?” “Araya,” jawabnya dengan suara yang pelan dan takut.
“Dari mana kau mendapatkan kalung itu?” sambung Evlin. “Ini satu-satunya peninggalan ibuku, nenekku yang memberikannya padaku,” jawab Araya.
“Ibumu?” sahut Evlin dengan terkejut. “Siapa nama ibumu, nak?” lanjutnya.
“Aku belum pernah melihat wajahnya. Ia wafat ketika aku masih bayi. Nenekku bilang namanya adalah ‘Viline’.”
Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut, seolah tak percaya bahwa Ratu mereka, Viline, mempunyai seorang anak. Salah seorang tetua yang ada kemudian berbicara.
“Hanya Ratu Viline yang mampu melakukan sihir seperti itu. Jika anak ini juga bisa melakukannya, bisa dipastikan dia tak mungkin berbohong.” Mendengar hal tersebut, semua orang lalu berlutut seolah Araya adalah seorang raja. Melihat hal itu, Araya bingung dan menyuruh mereka bangkit. “Kenapa kalian semua berlutut? Ada apa ini?”
Mereka bangkit, saling bertatapan. Dom menyampaikan pendapatnya di hadapan para tetua di ruangan tersebut.
“Jika benar adanya, ini bukanlah sebuah kebetulan. Aku menganggap ini adalah pesan dari Ratu untuk kita; dia mengirimkan sang penjaga portal baru untuk menyelamatkan kita.”
Evlin yang belum cukup yakin kemudian memegang wajah Araya. Dengan tatapan yang dalam, kemudian ia tersenyum dengan pandangan haru, seolah melihat sang ratu dalam linangan air mata Araya yang seolah tak tumpah dari kelopak matanya.
“Ya, dia tidak berbohong, aku bisa melihatnya,” ucap Evlin dengan nada yang bergetar serta tangis haru yang membuat semua orang di dalam ruangan itu ikut menangis. Sambil mengusap air matanya, ia pun menceritakan kepada Araya tentang apa yang terjadi pada ibunya.
“Ibumu adalah seorang wanita yang sangat kuat, dan kalung itu sepertinya adalah simbol dari kekuatan yang diturunkannya. Cerita yang kau dengar ini bukan sekadar dongeng. Itulah sebabnya makhluk-makhluk itu takut padamu. Mereka tahu bahwa kekuatan itu ada padamu, dan itulah yang menyelamatkan desa ini malam ini.”
Dahulu ada sebuah kelompok sihir rahasia bernama Giory. Kelompok itu tersebar di berbagai daerah sebagai kelompok sihir rahasia yang selalu menjaga manusia dari serangan atau kekuatan negatif dari sihir kegelapan yang sudah dilarang sejak ribuan tahun lalu.
Dalam kelompok itu, mereka juga mengenal seorang penjaga portal dimensi yang juga sudah digariskan turun-temurun sejak dahulu kala. Dia adalah penjaga portal terakhir yang mereka kenal dan mereka sebut sebagai Ratu, karena kebaikan hati dan kepemimpinannya yang luar biasa di kelompok Giory. Mereka memanggilnya Ratu Viline yang adil.
Araya menatap Evlin, hatinya berdebar-debar. Dia merasa seperti terjebak dalam kisah yang lebih besar dari dirinya. Sebuah takdir yang mengubah hidupnya selamanya.
“Tapi aku tak melakukan apa pun, aku tak mengerti apa pun yang kalian katakan tentang sihir itu,” ucap Araya dengan suaranya yang bergetar dan takut.
Mendengar hal itu, semua orang yang ada di ruangan itu sadar bahwa Araya belum bisa mengontrol kekuatan yang ada di dalam dirinya dan juga kalung itu. Akan tetapi, kalung itu memiliki ikatan emosional dengan dirinya sehingga kekuatan itu bisa muncul secara misterius ketika Araya merasakan emosi yang yang meledak.