Jika tak percaya adanya cinta pada pandangan pertama, Rayyan justru berbeda, karena semenjak melihat Mbak Tyas, dia sudah langsung menjatuhkan hati pada perempuan cantik itu.
Dan dia Rayyan Asgar Miller, yang jika sudah menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan cepat.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DB DELAPAN
Bukan ke rumah Tyas, Rayyan, Guntur, dan Aulkafa sedang berjalan cepat di koridor rumah sakit menuju poli khusus paru.
Ridwan kini terbaring di atas ranjang pasiennya. Terlihat, Tyas dan Dimas berjalan mondar mandir di depan sana.
Dimas yang memberitahukan informasi ini pada Rayyan lewat telepon. Karena semua yang Rayyan ingin tahu sekarang Dimas yang memberitahunya, termasuk nama lengkap Tyas dan mama lengkap bapak Tyas.
Rayyan sedikit menilik ruangan Ridwan, di mana dokter pulmonologi sedang menanganinya, sebelum mendekati Tyas yang akhirnya duduk di bangku tunggu.
Aulkafa dan Guntur terdiam melongo dengan mata yang menatap seksama gadis itu. Gadis yang mereka yakini adalah Mbak Tyas.
"Cantik banget, Gun!" Aulkafa menyeletuk, dan segera disambung oleh Guntur. "Pantes Ray kita kesurupan mau nikah!" gumamnya.
Keduanya setuju jika cantik banget dijadikan lebel untuk Mbak Tyas. Karena memang secantik itu wanita 25 tahun tersebut.
Tidak seperti kebanyakan orang Jawa lainnya yang lebih ke kuning langsat, Tyas memiliki tone kulit yang lebih cerah. Hidung, alis, mata dan bibir Tyas memiliki pahatan yang pas.
Sementara Aulkafa dan Guntur sibuk terkesima, Rayyan duduk di sisi Tyas, tangannya menyentuh lengan gadis itu, namun, sekejap kemudian Tyas menepisnya.
"Mbak nggak apa- apa?" tanya Rayyan peduli.
Tyas segera beringsut, menatap Rayyan dengan tatapan menghardik. "Kenapa kamu harus datang di kehidupan aku, Rayyan?"
Rayyan mengernyit, lalu Tyas kembali mengudarakan desahnya. "Sekarang kacau!"
Kalau saja kemarin Rayyan tak ikut ke rumah, Bapak tidak akan memintanya menikah dengan Rayyan cepat- cepat.
"Kenapa kacau?" Rayyan tak paham, kekacauan apa yang membuat Tyas sekacau ini? Rayyan cukup penasaran.
Tyas membuang pandangan yang terkesan sangat frustrasi. Lalu Rayyan memindahkan maniknya ke arah Dimas yang juga tampak sendu entah karena apa.
"Dimas, apa yang kacau? Kasih tahu Mas, apa yang buat keadaan kacau?" selidiknya.
"Bapak..."
"Dimas!" Dimas ingin bicara serius, tapi Tyas menegurnya dengan melotot dan memanggil nama pemuda itu.
Menikahkan Tyas segera. Begitu yang diinginkan Ridwan pagi tadi sebelum sakitnya kambuh dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Yang jadi masalah Tyas adalah, Ridwan terkesan memberikan wasiat sementara Rayyan bukanlah kekasih sungguhannya.
"Bapak minta Mas Rayyan menikahi Mbak Tyas hari ini juga!" Dimas tak punya alasan untuk tidak mengatakannya, Dimas bahkan merasa harus beritahukan ini pada Rayyan.
"Bapak gimana kondisinya?" Rayyan justru khawatir pada orang tua itu. Karena, jika dilihat dari raut Tyas dan Dimas, sepertinya kondisi Ridwan mengalami penurunan.
Dimas menunduk. "Biasanya kalau sudah ditangani akan membaik, tapi Bapak pengen segera liat pernikahan Mbak Tyas, Mas!"
Dimas memang masih kecil, tapi cukup tahu jika menikah tidak segampang itu. Apa lagi Mas Rayyan masih terlihat muda.
"Ini nggak mungkin!" Tyas menggeleng dengan mata yang nanar. "Ini sama sekali nggak mungkin!" gumamnya.
"Kenapa nggak mungkin? Kamu meragukan takdir Tuhan mu?" sela Rayyan, matanya lalu menatap Tyas dengan tajam.
"Kamu ini masih kecil, Rayyan!" tukas Tyas.
Rayyan terkekeh samar. "Mbak, Rayyan sudah punya SIM, KTP, bahkan umur Rayyan ini sudah bisa dilegalkan untuk menikah!"
"Siapa kamu?"
Sebenarnya itu yang menjadi dilema seorang Tyas. Rayyan hanya orang asing baginya sebab mereka baru mengenal nama kemarin.
"Aku calon suami kamu!" Rayyan kekeuh, dia sudah bertekad menikah, dan Rayyan selalu mendapatkan apa pun yang dia mau.
"Tyas!"
Di tengah perdebatan sengit keduanya, seorang pria berpeci hitam tergesa- gesa mendatangi mereka. Tyas segera bangkit menyambutnya, karena pria itu tokoh yang dianggap sepuh di desanya.
Solihin, penghulu yang Dimas panggil atas titah dari Ridwan pagi tadi. "Ridwan gimana?"
"Di dalam, Pakde!" Dimas yang menyambut baik lelaki itu. "Terima kasih sudah datang ke sini Pakde...," ucapnya khidmat.
Solihin mengangguk, lalu menatap ke arah Rayyan yang dia anggap asing. "Ini calon suami mu, Tyas?" tanyanya.
Solihin sahabat baik Ridwan, maka saat Dimas menghubunginya, segera pria itu datang memenuhi panggilan ini.
Beberapa jam lalu Dimas yang menelepon, memintanya datang untuk menikahkan Tyas dengan calon suaminya. Solihin juga diberi tahu jika ini permintaan langsung dari Ridwan.
Dimas mengangguk mengiyakan. "Iya Pakde, ini Mas Rayyan, calon suami Mbak Tyas, setelah ini, kita tunggu Bapak membaik, lalu kita langsung segerakan pernikahannya."
Tyas tak bisa mengelak, karena memang sesulit itu dia menangkis situasi dan kondisi ruwet saat ini. Hal yang akhirnya membuat Rayyan semakin mendekati tujuannya.
"Apa yang Bapak butuhkan dari saya?" Rayyan bertanya pada Solihin. Terlihat serius, karena memang senekat itu.
"Cukup mas kawin saja kalau sudah ada mempelainya," jawab pria itu. Rayyan kemudian tersenyum, kalau hanya mas kawin saja syaratnya, dia memiliki cukup uang.
Mereka duduk bersama dengan tujuan yang sama pula, yaitu sama- sama menunggu Ridwan pulih dan bisa dibesuk secara langsung di dalam kamarnya.
Malam, Ridwan sudah boleh dibesuk, dan seperti rencananya Tyas dan Rayyan melangsungkan ijab qobul di depan Ridwan yang masih dalam kondisi susah bernapas.
Tyas tak menyangka. Kejadiannya mengalir begitu saja. Dimulai dengan bismillah, dan diakhiri hamdalah, kini Tyas resmi menjadi istri Rayyan Asgar Miller.
Rayyan pun begitu lancar, seperti seseorang yang sudah berniat menikah dan menghapal nama aslinya beserta binnya.
"Coba cium tangan suami kamu, Nduk."
Tyas menuruti ucapan ayahnya, setelah cukup banyak pertimbangan. Jujur, Tyas masih merasa asing dengan suaminya.
Tyas mau meraih tangan Rayyan untuk melabuhkan kecupan di punggung tangan lelaki muda itu. Rayyan, dan semua orang tersenyum melihatnya.
"Tyas!" Suara bariton yang berhasil mengalihkan atensi banyak orang, termasuk, Ridwan yang langsung menatap pria itu.
Ervan datang dengan tatapan tajam, mencecar wajah Tyas yang terkejut mendapati mantan kekasihnya.
"Dia siapa Nduk?" Ridwan bertanya, tapi Ervan tak peduli siapa pun, selain menuju wanita yang dia pacari selama lima tahun itu.
"Bisa kita bicara?" pinta Ervan. Tyas melirik tangan yang tiba- tiba saja menggenggam tangannya.
Sepertinya Rayyan tak setuju jika dirinya keluar untuk bicara dengan Ervan. Bagaimana pun, Tyas paham jika Rayyan suaminya.
Rayyan berhak melarangnya ke mana pun dia pergi. Namun, Tyas perlu bicara untuk meluruskan semuanya, karena hubungan baru takkan bisa berjalan sebelum putusnya hubungan lama.
Tyas menatap Rayyan, memberikan isyarat agar Rayyan melepas tangannya. Rayyan menurut untuk memberikan kesempatan.
Ridwan, Solihin dan Dimas bergeming dengan ketidak tahuannya, sementara Aulkafa dan Guntur mulai mempelajari apa yang sedang terjadi saat ini.
Ervan keluar disusul oleh Tyas, keduanya berdiri berhadapan di taman yang sudah mulai sepi orang karena sudah malam.
"Dia siapa?"
Ervan mencecar kekasihnya, Ervan tak mengira ini terjadi. Sumpah, dia baru mengetahui rencana pernikahan Tyas sore tadi dari keluarga Laras dan gosip yang beredar secepat kilat di kampungnya.
"Dia Rayyan. Suami Tyas."
"Ngaco kamu!" Ervan membentak dengan nada yang meninggi. "Pacaran sama aku nikahnya sama orang lain?" tukasnya.
"Apa semurah ini kamu Yas? Gampangnya menerima orang asing buat jadi suami cuma karena tuntutan Bapak kamu?"
"Apa pun pandangan, Mas, sekarang Tyas sudah resmi jadi istri orang, Mas. Dan kita, selain orang asing, sudah bukan siapa- siapa lagi," kata Tyas.
itu kata om opik
itu juga yg ak alami
skrg tertawa
bebrapayjam lagi cemberut
lalu g Lma pasti nangis