Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Setelah memutuskan untuk tidak kembali ke Tiongkok, Dylan menetap lebih lama di Korea Selatan. Ia mulai meluangkan waktunya untuk membahas kerjasama dengan Wang Yibo, seorang bintang besar yang sedang merambah dunia bisnis entertainment. Dylan merasa investasi di perusahaan entertainment milik Yibo adalah langkah yang strategis, tidak hanya untuk memperluas jaringannya, tetapi juga untuk membangun fondasi yang lebih kokoh di Korea.
Hari-harinya diisi dengan pertemuan dan negosiasi, tetapi ia tetap memastikan untuk menyisihkan waktu bersama Rose. Meski ia mengawasi perusahaan di Tiongkok melalui tablet dan panggilan video, Dylan sadar bahwa keberadaannya di Korea memiliki makna lebih dari sekedar bisnis. Ia ingin membuktikan kepada Rose bahwa ia serius dengan hubungan mereka.
Di sisi lain, Rose sibuk dengan jadwal musiknya yang semakin padat. Sebagai penyanyi muda yang sedang naik daun, setiap harinya dipenuhi dengan latihan vokal, koreografi, wawancara, dan konser kecil-kecilan. Rose ingin membuktikan bahwa ia bisa sukses dengan usahanya sendiri, tanpa mengandalkan nama besar Dylan. Namun, ambisinya mulai mengorbankan kesehatannya.
Suatu malam, Dylan kembali ke apartemen setelah seharian berdiskusi dengan Wang Yibo. Ia menemukan Rose tertidur di sofa ruang tamu, masih mengenakan pakaian latihannya. Wajahnya tampak pucat, dan tubuhnya terlihat jauh lebih kurus daripada terakhir kali Dylan benar-benar memperhatikannya.
Dylan mendekat, duduk di sisi sofa, dan menyentuh pipinya dengan lembut. Rose terbangun perlahan, matanya yang lelah berusaha fokus pada Dylan. “Kau pulang,” gumamnya dengan suara serak.
“Rose...” Dylan berkata dengan nada khawatir. “Kau tidak menjaga dirimu sendiri. Tubuhmu semakin kurus. Ini tidak baik.”
Rose mencoba tersenyum kecil, meski lelah jelas terlihat di wajahnya. “Aku baik-baik saja, Aku hanya perlu sedikit istirahat.”
“Ini lebih dari sekedar istirahat,” ujar Dylan tegas. Ia menarik Rose ke dalam pelukan, bisa merasakan betapa rapuh tubuhnya. “Aku tidak bisa melihatmu seperti ini. Kau terlalu memaksakan diri.”
Rose menundukkan kepalanya, merasa bersalah. “Aku hanya ingin menjadi seseorang yang bisa kau banggakan. Aku tidak ingin kau berpikir aku ini lemah.”
Dylan memegang dagunya, memaksanya untuk menatap matanya. “Aku bangga padamu, Rose. Selalu. Kau tidak perlu membuktikan apa pun padaku. Aku hanya ingin kau sehat dan bahagia.”
Air mata Rose mulai mengalir. Ia merasa lega mendengar kata-kata Dylan, tetapi juga merasa bersalah karena telah membuatnya khawatir. “Aku hanya takut, Jika aku tidak bekerja keras, aku akan kehilangan semua yang telah kucapai.”
“Kau tidak akan kehilangan apa pun,” kata Dylan sambil menghapus air matanya. “Apa gunanya semua kesuksesan itu jika kau kehilangan kesehatanmu? Kita akan melewati ini bersama. Aku akan membantumu mengatur jadwal, memastikan kau punya waktu untuk istirahat dan makan dengan benar.”
Rose memeluk Dylan erat, merasa nyaman dalam pelukannya. “Aku tidak tahu bagaimana aku bisa begitu beruntung memiliki seseorang seperti dirimu di sisiku.”
Dylan tersenyum lembut, mengecup puncak kepalanya. “Kau adalah prioritasku, Rose. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu.”
Hari-hari berikutnya, Dylan mulai membantu Rose mengelola jadwalnya. Ia memastikan Rose punya waktu istirahat di antara pekerjaannya. Bahkan, ia sering membawakan makanan sehat ke studio latihan, memastikan Rose tidak melewatkan waktu makan.
Di sisi lain, Dylan dan Wang Yibo meresmikan kerjasama mereka, menciptakan proyek baru yang menjadi perbincangan di industri entertainment. Namun, bagi Dylan, pencapaian terbesar dalam hidupnya adalah melihat Rose kembali sehat dan bahagia. Meskipun sibuk dengan bisnisnya, Dylan selalu memastikan bahwa cintanya untuk Rose menjadi prioritas utama.
Kini, di tengah jadwal sibuk mereka, Rose dan Dylan menemukan cara untuk saling melengkapi. Dua hati yang pernah terpisah kini benar-benar menjadi satu, menghadapi dunia bersama tanpa rasa takut.
***
Kehadiran Dylan sebagai kolega bisnis Wang Yibo di perusahaan entertainment itu segera menjadi perbincangan hangat. Dylan, dengan pesonanya yang luar biasa, penampilan yang karismatik, dan sikap tenangnya, membuat semua staf dan para artis tidak bisa berhenti membicarakannya.
“Dia tampan sekali, seperti dewa Yunani turun ke bumi,” gumam salah satu staf perempuan di pantry, sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan foto Dylan saat rapat.
“Iya, auranya beda banget. Bahkan kalau cuma lewat saja, rasanya jantung mau berhenti,” timpal yang lain.
Tidak hanya para staf, beberapa artis wanita yang sering mengunjungi kantor juga mulai menunjukkan minat yang jelas. Ada yang sengaja mengatur jadwal ke kantor untuk "konsultasi" dengan Dylan, bahkan tidak sedikit yang mencoba mengajaknya makan siang.
Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Rose, yang kebetulan sedang menjalani latihan vokal di studio terdekat. Saat salah satu rekannya memutar video Dylan di media sosial, Rose merasakan amarah kecil mulai menyelinap di hatinya.
“Aku tidak tahu kalau tunanganmu itu bakal jadi bintang di kalangan artis,” goda salah satu teman Rose sambil tertawa. “Lihat saja komentar-komentar ini, Rose. Semua orang bilang dia terlalu tampan untuk jadi pebisnis.”
Rose memaksakan senyum, tetapi hatinya bergemuruh. Ia mencoba mengabaikannya dan kembali fokus pada latihannya. Namun, pikirannya terus melayang, membayangkan Dylan dikelilingi oleh artis-artis cantik yang lebih menarik dari dirinya.
Setelah latihan selesai, Rose memutuskan untuk mengunjungi kantor Wang Yibo, berharap bisa bertemu Dylan. Begitu ia tiba, ia melihat Dylan sedang berdiri di ruang lobi bersama tiga artis wanita. Mereka tertawa kecil, tampak menikmati obrolan mereka.
Dylan, yang menyadari kehadiran Rose, segera melambaikan tangan dengan senyum lebar. “Rose, kau datang?” serunya dengan nada ceria.
Namun, Rose hanya meliriknya dingin dan berjalan melewatinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dylan terkejut, tetapi ia tahu ada sesuatu yang tidak beres.
Di apartemen malam itu, Dylan mencoba berbicara dengan Rose. Ia menemukannya duduk di sofa, dengan ekspresi cemberut dan lipatan tangan di dada.
“Rose, ada apa?” tanya Dylan, duduk di sampingnya.
Rose menghela napas panjang, akhirnya menatap Dylan dengan mata yang penuh emosi. “Jadi, bagaimana rasanya jadi ‘dewa Yunani’ yang dikelilingi para wanita cantik?”
Dylan terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, meskipun jelas ia mencoba menahan diri. “Kau cemburu, ya?”
Rose mendengus, wajahnya memerah. “Tidak. Aku hanya… aku hanya merasa tidak nyaman. Kau tahu aku tidak suka berbagi, Dylan.”
Dylan tersenyum lembut, lalu memegang kedua tangan Rose. “Rose, dengarkan aku. Tidak ada yang bisa menggantikanmu. Kau satu-satunya yang ada di hatiku. Semua perhatian mereka tidak ada artinya bagiku. Aku bahkan tidak memedulikan mereka.”
Rose menunduk, merasa malu atas rasa cemburunya yang berlebihan. “Aku tahu itu, Dylan. Tapi tetap saja, melihat mereka mendekatimu membuatku merasa… tidak cukup baik.”
Dylan mendekat, memiringkan wajahnya sehingga mereka saling menatap. “Rose, kau adalah satu-satunya wanita yang bisa membuatku ingin tinggal di Korea. Kau yang membuatku merasa hidup, merasa memiliki tujuan. Mereka mungkin melihatku sebagai pria tampan atau kolega bisnis Wang Yibo, tetapi hanya kau yang melihatku sebagai Dylan yang sebenarnya.”
Rose akhirnya tersenyum kecil, meskipun matanya masih sedikit basah. “Kau selalu tahu cara mengatasi mood burukku, ya.”
Dylan tertawa, menarik Rose ke dalam pelukan. “Tentu saja. Aku harus menjaga hati tunanganku ini, kan?”
Malam itu, mereka berbicara lebih banyak tentang perasaan mereka. Dylan meyakinkan Rose bahwa tidak ada yang bisa menggantikan posisinya. Dan meskipun Dylan tetap menjadi pusat perhatian di dunia entertainment, ia memastikan bahwa Rose selalu menjadi prioritas dalam hidupnya.
Bersambung