Miko seorang Psikiater menangani seorang pasien wanita dengan gangguan mental depresi. Tetapi dibalik itu ternyata ada seorang Psikopat yang membuatnya menjadi depresi.
Ketika pasien tersebut ternyata bunuh diri, sang Psikopat justru mengejar Miko.
Hari-hari Miko menjadi berubah mencekam, karena ternyata psikopat tersebut menyukainya.
Setelah menghadapi si psikopat ternyata ada sisi lain dari pria ini.
Bagaimana Miko menghadapi hari selanjutnya dengan sang Psikopat?
Yuk simak kisahnya di cerita Othor. Ada beberapa plot twist-nya juga loh..yang bikin penasaran...
Jangan lupa dukungannya ya man teman...
Oiya, di cerita ini ada adegan mengerikan, ****** ****** dan kata2 'agak gimana yah'
Jadi buat dek adek yg rada bocil mending skip dulu yah....maap ya dek...
Mohon bijak dalam membaca...
*Salam hangat dari othor*
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yurika23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 - Dia menyukaimu
“D-dari mana anda tahu Morino menyukai-ku?” nafas Miko hampir berhenti.
“Dia yang mengakui semua padaku. Dia sudah bosan dengan mainan lamanya, dan dia menginginkan yang baru. Dia tidak pernah menyukaiku apalagi mencintaiku, dan sekarang dia menginginkan seorang wanita yang benar-benar dia sukai - Itu adalah anda, Dokter!. Karenanya pergilah sejauh mungkin darinya. Saat ini dia sedang berada di Selatan Kota Laerge. Dia akan pulang dua hari lagi. Masih ada waktu untuk anda menyelamatkan diri darinya”
“Aku akan melapor ke Polisi, bagaimanapun resikonya” ujar Miko
“Jangan Dokter. Tolonglah! Tolong jangan libatkan Polisi dalam masalah Morino. Aku khawatir akan ada korban-korban berikutnya jika sampai melibatkan Polisi” tukas Anabella dengan nada ketakutan.
“Kalau begitu aku akan pergi denganmu! Ikutlah denganku sekarang!”
“Tidak. Aku sudah tidak sanggup untuk menghidarinya. Aku terlalu lelah, Dok. Dia berhasil membuatku gila. Dia menciptakan aku yang seperti sekarang ini. Aku hanya memohon padamu, Dokter. Pergilah sejauh mungkin!”
“Nyonya Anabella! Masih ada waktu untuk kita! Ayolah kita pergi dari sini!” Miko sudah berdiri dari duduknya. Ia menarik lengan Anabella.
“Tidak! Dokter. Pergilah! Kumohon!”
“Tapi, aku tidak bisa meninggalkan anda sendirian disini!”
“Pergilah yang jauh, Dokter!” Anabella meneteskan air matanya.
Ia mengeluarkan sesuatu dari balik pinggangnya.
Sebuah pistol kecil.
Miko membatu seketika. Ia tidak mampu bergerak. “Nyonya!, tolong singkirkan benda itu” Miko mengangkat kedua lengannya.
Anabella mengarahkan pistol tersebut bukan kepada Miko, tetapi kesamping kepalanya.
“Morino sengaja meninggalkan aku senjata ini, Dokter. Miris sekali bukan? Andai saja ia memberiku benda ini ketika aku bersamanya, maka sudah kulubangi jantungnya dengan senjata ini. Tapi dia sangat cerdas, dia sangat tahu apa yang dia lakukan”
“Nyonya, tolonglah!. Jangan gunakan senjata itu. Itu berbahaya!” Miko benar-benar dalam keadaan bingung.
“Dokter, pergilah. Jika anda tidak pergi sekarang. Aku akan meledakkan kepalaku di hadapanmu” ancam Anabella dengan suara tenang.
“B-baik aku akan pergi. Tapi ku mohon, jangan gunakan benda itu untuk dirimu”
Miko hanya mendapat senyuman pasrah dari Anabella. Miko sangat khawatir jika pasiennya nekat melakukan sesuatu diluar kendalinya.
“Nyonya Anabella, baiklah aku akan pergi seperti yang anda minta. Tapi kumohon, serahkan pistol itu padaku. Aku tidak ingin sesuatu terjadi pada anda. Kumohon Nyonya” pinta Miko.
Anabella menghela nafas panjang.
“Nyonya, tolong. Kumohon serahkan senjata itu, ya” Miko memintanya dengan hati-hati berulangkali.
Akhirnya Anabella menyerahkan pistol itu ke tangan Miko. Air matanya tumpah dengan wajah yang datar.
Miko menurunkan pundaknya lemas.
Miko segera menyimpan senjata itu cepat.
“Terimakasih. Sekarang aku akan pergi. Aku harap kita bisa bertemu lagi, Nyonya Anabella”
“Aku juga berharap begitu. Tolong tutup pintunya, Dokter” ujar Anabella sebelum Miko keluar ruangan dan menutup pintunya.
- - -
Miko buru-buru menuju mobilnya. Ia bergegas menuju rumahnya dan mengemas barangnya secepat mungkin.
Tetapi Miko diam sejenak. Ia memikirkan Anabella. Khawatir wanita itu akan berbuat sesuatu diluar kendalinya. Miko sudah memegang ponselnya. Ia akan menghubungi Polisi untuk mengecek rumah Anabella. Tetapi Miko ingat pesan Anabella padanya agar jangan melibatkan Polisi dalam masalah Morino. ‘Bagaimana jika benar-benar ada korban selanjutnya? Tapi Anabella?- Ck, Ah!’ Miko bergumul pada pikirannya sendiri.
Akhirnya Miko mengurungkan niatnya. Ia menurunkan pundaknya ‘bagaimana ini’ Miko bingung sendiri dengan keadaan saat itu.
Ia menghubungi Asisten rumah tangganya yang setiap pagi datang dan pulang sore hari. Miko berpesan padanya agar tidak datang ke rumahnya untuk sementara waktu.
Miko memasukan dengan cepat barang-barang yang dianggap penting. Nafasnya seolah diburu waktu. Ia belum sempat berfikir akan menuju kemana.
Namun rencana sementara di benaknya adalah, ia akan memesan tiket pesawat. Tapi sebelum itu ia akan mampir sebentar ke Rumah Sakit, menemui atasannya dan meminta ijin cuti untuk beberapa pekan kedepan.
Miko melajukan mobilnya agak cepat. Hingga hampir saja ia menabrak pembatas jalan. Ia berhenti sejenak di pinggir jalan. Matanya terpejam sambil masih memegang kemudi mobil. Nafasnya yang terengah tidak teratur, menandakan katakutannya yang mulai muncul.
‘Apa yang terjadi padaku?’ gumamnya.
Ia mulai mengatur nafasnya. Kemudian melajukan mobilnya kembali menuju Rumah Sakit.
Di rumah Sakit, hampir semua menanyakan tentang kondisinya yang agak kacau. Wajahnya yang pucat, keringat yang tak beraturan di dahinya, juga nafasnya yang belum stabil.
“Sepertinya kau memang perlu istirahat, Miko” ujar teman se-profesinya.
“Yah, karna itu aku meminta ijin cuti” jawab Miko seadanya.
Ketika urusannya sudah selesai. Ia melihat rekan-rekannya serius melihat kearah televisi besar yang di pampang di ruang tunggu.
Mata Miko mengarah ke televisi tersebut. Belum juga ketakutannya hilang, kini ia lagi-lagi harus terkejut dengan berita yang di siarkan di televisi tersebut.
Dilaporkan seorang wanita tewas bunuh diri di rumahnya. Wanita tersebut di duga membunuh dirinya sendiri menggunakan pisau dapur. Ia memutus urat nadinya di dalam bathtub… Polisi menerima laporan dari seseorang melaui sambungan telepon …
Wanita tersebut di duga bernama - Anabella Brezensi -
Istri dari Pengacara ternama, Morino Stenell.
Kepala Miko seolah berputar. Ia sedikit limbung dan hampir jatuh. Untungnya ia memegang ujung meja dan ditahan oleh teman wanita di belakangnya.
“Miko! Kau harus di periksa. Sepertinya kondisimu sangat lemah” ucap temannya, yang sempat berada di belakang Miko dan memegangnya ketika Miko hampir tumbang.
“Ah, ya. Aku memang sangat pusing” ucap Miko lemah.
Bagaimana tidak, pasien yang beberapa jam yang lalu bicara dengannya, kini tewas bunuh diri mengenaskan.
- - -
Miko diantar dua temannya pulang kerumahnya.
Kini ia tidak bisa pergi kemana-mana. Ia pasti akan menjalani proses Peradilan untuk menjadi saksi atau justru tersangka untuk kasus bunuh diri yang dilakukan pasiennya, Anabella.
Di meja kerja rumahnya yang hening. Miko membenamkan kepalanya di atas kedua lengannya yang menekuk di atas meja.
Suara tangisan mulai terdengar dari sela lengan Miko.
‘Kenapa ini terjadi padaku!’ keluhnya.
Setelah beberapa saat menumpahkan tangis di meja kerjanya. Ia bersandar pada sandaran kursi. Wajahnya menengadah sedikit keatas. Matanya terpejam.
‘Hah … Apa yang harus kulakukan. Apa aku harus menceritakan semua ini ke Polisi. Atau aku pura-pura tidak mengaku pada Morino jika Anabella menceritakan semuanya. Atau justru aku harus menghadapi si Morino psikopat itu dengan seluruh kekuatanku. Ah! Andai saja aku tidak terlibat di dalam masalah ini’
Tak berapa lama, ponsel Miko berdering. Sebuah panggilan dari pihak rumah sakit. Ia tahu itu pasti pemanggilan untuknya untuk kasus Anabella.
Miko mengangkatnya pelan dan pasrah. “Halo …”
- - -
Miko sementara di jadikan saksi atas kasus bunuh diri Anabella. Statusnya bisa menjadi tersangka jika semua bukti mengarah padanya. Sedangkan suami korban, Morino sebenarnya tidak bisa menjadi saksi, karena ia adalah suami dari Anabella. Namun ia hanya dimintai keterangan oleh penyidik, Karena saat kejadian ia tengah berada di luar kota. Semua bukti mengarah bahwa memang Morino tengah berada di Laerge dan ia baru kembali semalam.
Miko yang terlihat lemas, duduk di ruang introgasi Kepolisian. Ruangan yang tidak terlalu besar, hanya ada dua kursi yang di halangi sebuah meja kayu kecil. Di ruangan itu tidak disediakan cermin dua arah untuk pemantau yang melihat dari sebelah ruangan. Seorang Penyidik yang sudah menanyakan beberapa pertanyaan pada Miko akhirnya keluar untuk memanggil Pengacara Miko.
Miko tidak bisa menjelaskan pada penyidik apa yang sudah Anabella ceritakan padanya tentang Morino. Ia tidak mau menanggung resiko ada korban berikutnya. Sampai disitu Miko masih menutupi dan merahasiakan semuanya.
Miko yang menunduk sambil memijit keningnya. Seolah pasrah dengan keadaan di depannya.
Tok tok tok …
Pintu ruangan diketuk seseorang. ‘Itu pasti Pengacaraku’ batin Miko masih terbebani dengan kasus yang menyeretnya sampai berada disana.
Pintu ruangan terbuka,
“Selamat pagi, Dokter Miko” sapa suara seorang pria yang dikenalnya.
Spontan tubuh Miko kaku tak bergeming. Matanya membelalak melihat kehadiran pria yang membuat dirinya ketakutan setengah mati.
“T-tuan Morino!” Nafas Miko tercekat. Ia tak bisa bergerak. Ia ingin lari dari sana, tetapi seolah rantai telah membelenggunya.