Vin Araya

Vin Araya

Tempat Asing

Pemuda itu berjalan pelan dengan napas tak beraturan. Kesenangan tak begitu tampak meskipun di hadapannya ada sebuah pasar yang sangat ramai. Keramaian itu seolah tak berarti apa-apa baginya karena rasa lapar dan haus yang menghantuinya sepanjang perjalanan telah menguras tenaganya.

Ia menoleh ke kiri dan kanan, matanya sayu memandang deretan pedagang yang sibuk menjajakan dagangan mereka. Ia sangat lapar dan haus, namun setiap kali mencoba mendekat untuk meminta air atau makanan, tak ada yang peduli. Orang-orang yang ia datangi tidak memedulikannya, seolah ia tak terlihat.

“Kenapa semua orang terlihat tak memiliki ekspresi?” pikirnya dalam hati, bingung melihat wajah-wajah kosong yang lalu-lalang di sekitarnya. “Apa karena aku sudah terlalu lelah? Atau mungkin aku mulai gila karena rasa lapar dan haus ini?”

Langkahnya semakin pelan, kakinya terasa berat. Panas matahari membuatnya semakin merasa seperti akan pingsan. Tubuhnya gemetar, dan ia mulai mengira-ngira apakah tempat ini nyata atau hanya ilusi yang terbayang dalam pikirannya yang mulai goyah.

Kemudian, langkahnya terhenti di depan sebuah kios mie. Aroma kuah mie yang mendidih membuat perutnya semakin lapar. Ia mendekat, mencoba masuk, namun tiba-tiba sang penjual mie berteriak dan mengusirnya.

“Keluar! Pergi dari sini!” teriak penjual itu dengan wajah marah. Mungkin karena pakaiannya yang lusuh dan kotor, pikir pemuda itu. Ia mundur perlahan, menunduk dengan rasa malu dan meninggalkan tempat itu.

Ia terus berjalan, melintasi kerumunan pasar yang tampak semakin padat. Derap langkah orang-orang yang berlalu di sekitarnya terasa semakin asing. Tak ada yang peduli pada kondisinya; semua sibuk dengan urusan masing-masing. Hingga akhirnya, ia tiba di sebuah bundaran dengan kolam dan pancuran air di tengahnya. Air jernih mengalir dari pancuran, dan tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah kolam.

Setibanya di tepi kolam, tanpa ragu ia memasukkan kepalanya ke dalam air dan meminumnya dengan rakus. Namun, di tengah kegiatannya itu, ia terdiam ketika menyadari ada dua anak kecil yang berdiri di tepi kolam, tertawa sambil mengencingi air kolam yang baru saja ia minum. Wajahnya pucat; tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ia bangkit perlahan, menjauh dari kolam dengan tatapan kosong, lalu berjalan pelan dan duduk di depan sebuah toko yang sedang tutup.

Sambil duduk bersandar di tembok toko, ia memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang. Setiap kali ada yang lewat, ia mengangkat tangannya, mencoba meminta bantuan, tetapi tak satu pun yang memedulikannya. Tidak ada yang berhenti untuk sekadar melihat atau bertanya tentang keadaannya. Kesepian dan keputusasaan mulai merayapi pikirannya.

Lelah dan lapar, akhirnya ia tertidur di tempat itu, beralaskan debu jalanan pasar.

“Hey, bangun!” terdengar suara lembut seorang wanita. Ia membuka matanya dengan terkejut; hari sudah sore dan matahari mulai terbenam di ufuk barat. Seorang wanita muda berdiri di hadapannya, memandangnya dengan tatapan iba.

“Ini, makanlah,” ujar wanita itu sambil memberinya dua potong roti dan sekantung air. Pemuda itu menatap roti di tangannya dengan mata sayunya, lalu dengan cepat mengambilnya. “Terima kasih,” ucapnya pelan, suaranya bergetar karena rasa lelah dan lapar.

Wanita itu tersenyum tipis, kemudian berbalik menuju toko roti di seberang jalan, tempat ia bekerja. Ternyata, ia adalah penjual roti yang sedang menutup toko bersama ayahnya. Pasar sudah sangat sepi, dan toko-toko mulai tutup satu per satu. Sambil memakan roti dengan lahap, pemuda itu berpikir tentang di mana ia akan beristirahat malam ini. Pandangannya tertuju pada sebuah lorong di ujung jalan pasar. “Sepertinya tadi lorong itu tidak ada,” pikirnya dalam hati.

Langit semakin gelap, dan ia tak punya pilihan selain mencari tempat untuk bermalam. Semua toko sudah tutup, dan pasar yang tadi ramai kini berubah menjadi sunyi. Dengan ragu, ia memutuskan untuk berjalan memasuki lorong tersebut. Lorong itu panjang, dikelilingi dinding batu yang dingin dan lembab. Suasana di dalamnya begitu sunyi, hanya suara langkah kaki pemuda itu yang terdengar menggema di sepanjang lorong.

Setelah berjalan cukup jauh, ia menemukan perkampungan kecil di ujung lorong. Namun, perkampungan itu terasa aneh, sangat sunyi. Matahari baru saja terbenam, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan di luar rumah. Pintu-pintu tertutup rapat, tidak ada suara orang berbicara atau suara anak-anak. Semua terasa hening, dan keheningan itu membuatnya takut dan merinding.

Saat berjalan lebih jauh, tiba-tiba ia bertemu seorang nenek tua. Penampilan nenek itu sangat menakutkan, dengan tubuh kurus kering dan mata yang tajam. Nenek itu menatapnya penuh curiga dan berkata dengan suara serak, “Apa kau tinggal di desa atas?” sambil menunjuk ke arah bukit di belakangnya.

Pemuda itu bingung, ia menoleh ke belakang dan melihat sebuah desa di atas bukit. Karena takut dan tak tahu harus menjawab apa, ia hanya mengangguk pelan.

Nenek itu bergumam tidak jelas, lalu meludah ke tanah dan memakinya dengan suara keras. Pemuda itu terkejut, dan tanpa pikir panjang ia berlari meninggalkan nenek tersebut, ketakutan menyelimuti pikirannya. Ia terus berlari menuju bukit, sesekali menoleh ke belakang memastikan nenek itu tidak mengikutinya.

Dalam kebingungan, ia menabrak dua orang yang juga sedang berjalan ke arah bukit. Ternyata, mereka adalah ayah dan anak penjual roti tadi. Pemuda itu jatuh ke tanah, lutut dan tangannya terluka.

“Kamu ini kenapa?” tanya ayah penjual roti, membantu pemuda itu berdiri.

“Maaf, Pak. Saya tidak lihat,” ucap pemuda itu tergesa-gesa, takut mengulang kesalahannya.

“Tanganmu berdarah,” ucap anak penjual roti.

“Tak apa, aku baik-baik saja kok,” dengan cepat pemuda itu membersihkan darah di tangannya dengan bajunya. “Sebaiknya kamu ikut ke rumah kami supaya lukamu bisa diobati,” lanjut bapak penjual roti yang iba melihat kondisi pemuda itu yang dipenuhi luka.

Pemuda itu hanya diam dan canggung, seolah tak ingin merepotkan mereka. Kemudian penjual roti dan anaknya itu menarik tangannya dan meyakinkannya untuk ikut dengan mereka. Mereka mengajaknya ke rumah tempat mereka tinggal di atas bukit, yang mana masih ada sebuah desa lagi yang cukup besar di atas.

Lalu mereka berjalan ke atas bukit, dan sesampainya di atas, pemuda itu terkejut karena semua terasa berbeda dengan desa yang ada di bawah. Semua terlihat hangat; rumah-rumah terang dengan lampu api di setiap teras rumah dan ujung-ujung jalan. Di sini juga suasananya terasa lebih hidup.

Bentuknya juga unik, rumah-rumah dibangun melingkari sebuah taman berbatu dengan bangunan menyerupai tugu di tengahnya. Sekeliling desa juga ditanami bunga dan dipasangi pagar kayu yang terlihat sangat indah.

Sesampainya di rumah penjual roti itu, mereka disambut oleh istri si penjual roti. Merekapun masuk, pemuda itu dipersilahkan duduk. Seolah semua tenaganya habis, ia pun duduk dan bersandar di kursi kayu sambil menghela napas panjang.

Lagi-lagi semuanya terlihat berbeda. Mulai dari pakaian, bangunan, perabotan rumah, dan benda lainnya; semua tampak berbeda di sini. Pemuda itu seolah berada di dimensi lain tempatnya tinggal. Ini jauh lebih kuno dari apa yang ada di kotanya. Namun, karena sangat lelah, ia juga tak terlalu mempedulikannya.

Pemuda itu duduk di ruang tamu, memandangi serangga yang mengelilingi lampu api di dinding rumah. Tempat ini sangat nyaman dan damai. Pemilik rumah memberikannya air dan obat untuk membersihkan dan mengobati lukanya. Sambil menyiapkan makan, malam mereka berbicara pelan dan bercerita tentang apa yang terjadi.

Ia dibantu oleh anak pemilik rumah untuk membersihkan lukanya dan juga mengoleskan obat ke sekujur tubuhnya. Hampir seluruh tubuhnya memar, tergores, dan berdarah. Lukanya terlihat seolah ia adalah tawanan perang, ia hanya bisa meringis kesakitan tiap kali dioleskan obat. Pemuda itu tak henti memandangi wajah wanita itu.

Sambil menunggu makanan selesai disiapkan, pemilik rumah membuatkannya secangkir teh. Sembari duduk, ia hanya memperhatikan mereka dan tak hentinya mengucapkan terima kasih kepada mereka, atas kebaikan mereka yang sudah menolongnya.

Sambil menikmati teh hangatnya iya merogoh kantong celananya karena teringat akan kalung ibunya. Ia kembali mengalungkannya kelehernya dan memasukkannya kedalam bajunya, itu adalah harta satu satunya yang ia miliki sekarang. Liontin bermata hitam peninggalan ibunya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!