Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 6 (Ketika Hati Mulai Lelah)
Saat senja semakin larut, Sasa memasuki rumahnya dengan langkah pelan. Tapi keheningan yang ia harapkan tak berlangsung lama. Papanya sudah menunggu di ruang tamu, tampak murka dengan tatapan dingin.
“Dari mana saja kamu?” tanyanya tanpa basa-basi, suaranya penuh tekanan.
Sasa mendesah, lelah setelah hari panjang. “Papa, aku cuma keluar sebentar. Liburan ini kan nggak harus terus-terusan belajar.”
Papanya berdiri, mendekat dengan wajah penuh amarah. “Kamu pikir liburan ini buat apa? Bukan buat keluyuran! Kalau begini caramu, bagaimana kamu bisa bersiap untuk masuk kedokteran? Papa sudah menyiapkan masa depan yang bagus untukmu, Sasa!”
“Aku nggak mau jadi dokter, Pa!” balas Sasa dengan suara yang meninggi, menahan emosi. “Kenapa papa selalu memaksakan keinginan papa? Kenapa nggak pernah tanya aku mau jadi apa?”
Papanya tampak semakin gusar. “Kamu masih terlalu muda untuk tahu apa yang terbaik buatmu, Sasa. Kedokteran adalah jurusan yang menjamin masa depanmu!”
Sasa menggigit bibir, menahan air mata yang sudah tak terbendung lagi. “Masa depan siapa, Pa? Masa depan aku atau masa depan yang papa inginkan?”
Tanpa menunggu jawaban, Sasa mengambil tasnya dan berlari keluar rumah, meninggalkan papanya dalam keheningan yang penuh amarah. Ia berlari hingga napasnya terasa sesak, menuju tempat yang menurutnya bisa memberinya ketenangan—rumah Algar.
*** Di rumah Algar
Saat mengetuk pintu, Sasa disambut oleh ibu Algar yang terlihat terkejut melihat wajahnya yang basah oleh air mata. “Sasa, sayang, kamu kenapa?” tanyanya lembut sambil merangkulnya ke dalam.
Sasa hanya menggeleng dan mencoba menenangkan diri. “Tante, boleh aku tinggal di sini malam ini?”
Ibu Algar mengangguk paham, lalu mempersilakannya masuk. “Tentu saja, Sasa. Kamu seperti keluarga sendiri di sini.”
Tak lama, Algar muncul di ruang tamu, melihat Sasa dengan tatapan prihatin. “Sa, kamu nggak apa-apa?” tanyanya dengan hati-hati.
Sasa tersenyum samar. “Aku... aku cuma nggak tahu harus ke mana lagi.”
Ibu Algar menepuk pundaknya, memberinya dukungan penuh. “Kalau kamu butuh apa-apa, bilang saja, ya.”
Dengan pelukan hangat dari ibu Algar, Sasa merasa sedikit lebih tenang. Tapi di dalam hatinya, perasaan kecewa dan marah pada ayahnya masih tersisa, membuat malam itu terasa panjang dan penuh keheningan.
Sementara itu, di tempat lain...
Papa Sasa berdiri di depan hotel, mengangkat telepon dan menunggu beberapa detik sebelum suara seorang wanita menyambutnya dari ujung sana.
“Selamat malam, Pak,” sapa wanita itu dengan nada lembut.
“Terima kasih sudah datang, saya butuh teman bicara,” kata papa Sasa sambil melangkah masuk ke dalam hotel. Mereka bertemu di lobi, dan wanita itu, yang tampak lebih muda dari istrinya, menyambutnya dengan senyum ramah.
Mereka duduk berhadapan di sofa, memesan minuman, dan mengobrol dalam suasana yang semakin akrab.
“Akhir-akhir ini, keluarga saya terasa begitu jauh,” kata papa Sasa dengan nada putus asa. “Anak saya semakin sulit diatur, dan istri saya sepertinya terlalu sibuk dengan urusan lain.”
Wanita itu menatapnya dengan penuh perhatian. “Kadang, orang terdekat pun bisa terasa jauh, Pak. Mungkin istri Bapak sudah tak lagi peduli,” bisiknya lembut, seolah menambahkan bara dalam hati pria itu.
Papa Sasa terdiam, memikirkan kata-katanya. “Mungkin kamu benar. Terlalu banyak yang berubah di rumah.”
Wanita itu mendekat, menyentuh lengannya dengan lembut. “Pak, Bapak pantas mendapatkan perhatian yang lebih. Mungkin... di sini, bersama saya, Bapak bisa merasa lebih dihargai.”
Mereka saling menatap, dan seolah tanpa sadar, jarak di antara mereka semakin memudar, memberikan keintiman yang telah lama ia rindukan.
Kembali ke rumah Algar
Di ruang tamu, Algar duduk di samping Sasa, memberikan dukungan dalam kesunyian. “Sasa, aku tahu ini nggak mudah buat kamu,” katanya pelan. “Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang saja.”
Sasa menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Al. Kamu selalu ada buat aku.”
Algar tersenyum kecil, mencoba membuatnya merasa lebih baik. “Itu yang teman lakukan, kan?”
Malam itu, Sasa akhirnya merasa sedikit tenang setelah berbincang dengan Algar. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa konflik dengan ayahnya belum usai, dan jalan yang harus ia tempuh masih panjang.
Pagi itu, Sasa masih berada di rumah Algar, berusaha melupakan pertengkaran semalam. Di sisi lain, di rumahnya sendiri, suasana justru semakin kacau.
Papa Sasa tiba-tiba membuka pintu dengan langkah yang tertatih. Wajahnya tampak kusut, pakaiannya berantakan, dan aroma alkohol tercium kuat di udara. Saat menutup pintu, ia mendapati istrinya, Mama Sasa, yang ternyata baru saja pulang sekitar satu jam sebelumnya. Istrinya memandangnya dengan tatapan penuh kekecewaan dan amarah.
“Kamu darimana mas?” tanya Mama Sasa dengan nada yang dingin, berusaha menahan luapan emosi.
Papa Sasa terdiam sejenak, lalu menghindari tatapannya. “Itu... hanya keluar sebentar. Jangan menghakimi begitu saja.”
Mama Sasa memandangnya tajam. “Keluar sebentar? Jam segini? Dengan baju berantakan dan bau seperti ini? Jangan pikir aku bisa dibohongi, aku tahu ada yang tidak beres.”
Papa Sasa mulai menggerutu, tidak ingin memperpanjang masalah. “Aku cuma butuh waktu untuk berpikir. Di rumah, aku tidak mendapat ketenangan. Kamu sendiri kemana aja?”
Mama Sasa terkejut dan langsung menanggapi dengan suara yang meninggi. “Aku baru pulang karena pekerjaan, bukan untuk bersenang-senang di luar sana seperti kamu! Kamu pikir kamu satu-satunya yang butuh waktu?”
Papa Sasa mencibir, rasa kesalnya memuncak. “Kamu selalu mengutamakan pekerjaan. Bahkan anak kita merasa jauh darimu. Apa kamu peduli dengan keluarga ini?”
Mama Sasa, yang sudah tak lagi bisa menahan emosinya, akhirnya berkata dengan tegas, “Aku peduli! Tapi kamu pikir aku bisa menghargai kalau suamiku malah lebih memilih kabur daripada menyelesaikan masalah di rumah?”
Pertengkaran mereka memanas. Mereka saling melemparkan kesalahan, mengungkit masalah yang sudah lama terpendam. Di tengah teriakan dan amarah, mereka tak menyadari bahwa pintu rumah terbuka—Sasa berdiri di ambang pintu, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi yang seperti itu sudah hal terbiasa alis sudah tidak terkejut lagi dengan ini.
Sasa bergumam pelan, tapi cukup jelas terdengar di tengah keheningan mendadak yang tercipta. “Mama... Papa... kalian kenapa lagi?”
Kedua orang tuanya langsung terdiam, memandang Sasa yang tampak terluka dan bingung melihat mereka bertengkar. Mama Sasa segera menghampirinya dengan raut wajah yang dipenuhi rasa bersalah. “Sasa, sayang… kami…”
Sasa melangkah mundur, mencoba menghindari mereka. “Aku nggak ngerti… aku nggak tahu kenapa kalian harus seperti ini.”
Ayah Sasa mencoba mendekatinya, tapi Sasa menatapnya dengan tatapan yang penuh kecewa. “Papa, aku sudah capek dengan semuanya. Kenapa keluarga kita nggak pernah bisa tenang? Kenapa semuanya harus saling menyalahkan?”
Mama Sasa mulai menangis, merasa berat dengan kenyataan yang ada. “Sasa… maafkan Mama. Ini semua bukan yang Mama inginkan.”
Sasa menggeleng, suaranya bergetar menahan air mata. “Kalau begitu, kenapa nggak ada satu pun dari kalian yang berusaha berubah?”
Papa Sasa berusaha meraih tangan Sasa, tapi ia menepisnya. “Papa, jangan. Aku cuma pengen punya keluarga yang damai. Kalau begini terus, aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan.”
Dalam keheningan, Sasa berlari ke kamarnya, meninggalkan kedua orang tuanya yang hanya bisa terpaku dan merasakan penyesalan. Di dalam kamarnya, Sasa menangis, merasa tak berdaya dan hampa.
Di ruang tamu yang sunyi, Mama Sasa berdiri dengan tatapan lelah, akhirnya bicara pelan, "Mas, sampai kapan begini? Aku capek. Sasa pasti juga tertekan."
Papa Sasa, bukannya mendekat, hanya menghela napas berat, merasa tak ingin terjebak dalam debat yang sama. Dengan langkah cepat dan tanpa kata, ia berbalik dan pergi keluar, meninggalkan Mama Sasa dengan air mata yang tertahan. Kepergiannya hanya memperdalam jurang di antara mereka, sementara di sudut ruangan, rasa sepi semakin menguasai hati yang dulu saling mencintai.
Tq All, jangan lupa dukung.
LIKE
KOMENT
VOTE
HADIAH
FAVORIT
#Typo bertebaran
...
..
.
.
.