Raka adalah seorang pemuda biasa yang bermimpi menemukan arti hidup dan cinta sejati. Namun, perjalanan hidupnya berbelok saat ia bertemu dengan sebuah dunia tersembunyi di balik mitos dan legenda di Indonesia. Di sebuah perjalanan ke sebuah desa terpencil di lereng gunung, ia bertemu dengan Amara, perempuan misterius dengan mata yang seakan memiliki segudang rahasia.
Di balik keindahan alam yang memukau, Raka menyadari bahwa dirinya telah terperangkap dalam konflik antara dunia nyata dan kekuatan supranatural yang melingkupi legenda Indonesia—tentang kekuatan harta karun kuno, jimat, serta takhayul yang selama ini dianggap mitos.
Dalam perjalanan ini, Raka harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk rasa cintanya yang tumbuh untuk Amara, sembari berjuang mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik cerita rakyat dan keajaiban yang mengikat mereka berdua. Akan tetapi, tidak semua yang bersembunyi bisa dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ihsan Fadil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Petunjuk Tak Berujung
Petunjuk Tak Berujung
Perjalanan mereka menuju lokasi berikutnya menjadi perjalanan yang penuh ketidakpastian. Setelah mengalahkan makhluk bayangan di hutan, Amara, Raka, dan Arjuna merasa bahwa setiap langkah membawa mereka semakin dekat pada rahasia besar yang tersembunyi—namun juga semakin dekat pada bahaya. Mereka menelusuri peta tua yang diperoleh dari gua Sang Penjaga, dan setiap tanda di peta itu tampaknya membawa mereka ke rintangan baru.
Di bawah langit yang mendung, mereka berjalan melewati hutan lebat yang jarang terjamah manusia. Cabang-cabang pohon yang menjuntai ke bawah tampak seperti tangan-tangan gelap yang mencoba meraih mereka. Namun, langkah mereka terus maju, karena berhenti hanya berarti memberi ruang bagi kegelapan untuk mengejar mereka kembali.
“Peta ini menunjukkan ada sebuah sungai yang harus kita seberangi,” kata Raka, menunjuk sebuah garis biru di peta. “Tapi aku belum melihat tanda-tanda sungai sama sekali.”
Amara menghela napas. “Mungkin kita salah arah. Atau mungkin sungainya sudah tidak ada lagi.”
Arjuna mengamati sekeliling dengan waspada, pedangnya siap di tangan. “Aku rasa kita sedang diuji. Ingat apa yang dikatakan Sang Penjaga? Tidak semua petunjuk akan terlihat jelas. Kita harus menggunakan hati, bukan hanya mata.”
Raka mengangguk, tapi kekhawatiran tetap tergambar di wajahnya. Kristal Penjaga yang mereka bawa sejak dari gua tampak bersinar lemah, seakan memberi peringatan bahwa waktu mereka semakin sempit.
“Apa artinya itu?” tanya Raka, menatap kilauan samar Kristal.
Amara berpikir sejenak. “Mungkin Kristal ini adalah kuncinya. Cahayanya menurun, mungkin karena kita terlalu jauh dari tujuan atau kita tidak melakukan apa yang seharusnya.”
Arjuna menunjuk ke depan. “Lihat, ada sesuatu di sana.”
Di kejauhan, di tengah-tengah pepohonan, mereka melihat bayangan sebuah struktur yang tersembunyi di balik dedaunan lebat. Saat mereka mendekat, bangunan itu terbukti sebagai reruntuhan sebuah candi kecil. Batu-batunya tertutup lumut dan ukiran di dindingnya hampir tidak terbaca. Namun, ada sesuatu yang terasa aneh tentang tempat itu—udara di sekitarnya terasa berat, seakan membawa beban ratusan tahun sejarah yang terlupakan.
“Ini pasti salah satu titik yang ada di peta,” kata Amara dengan penuh keyakinan.
Mereka bertiga mendekati candi tersebut dengan hati-hati. Di bagian tengah candi terdapat altar kecil dengan ukiran kuno. Di atas altar itu, terdapat sebuah gulungan kertas yang terlihat rapuh, hampir seperti akan hancur jika disentuh.
“Jangan sentuh dulu,” kata Arjuna, menghentikan langkah Amara yang sudah mengulurkan tangan. “Ini bisa jebakan. Kita harus memeriksa sekitar terlebih dahulu.”
Mereka memeriksa setiap sudut candi, memastikan tidak ada bahaya langsung. Setelah yakin tempat itu aman, Amara akhirnya mengambil gulungan kertas itu dengan hati-hati. Saat ia membukanya, mereka semua mendekat untuk membaca.
Tulisan di kertas itu dalam bahasa kuno, penuh dengan simbol-simbol yang tidak mereka mengerti. Namun, di bagian bawahnya terdapat sebuah peta kecil dengan tanda berupa lingkaran di tengah.
“Apa artinya ini?” tanya Raka.
Amara memandang peta itu dengan seksama. “Ini pasti petunjuk berikutnya. Tapi kita harus mencari tahu dulu cara membaca tulisan ini.”
Arjuna menatap simbol-simbol itu dengan serius. “Aku pernah melihat tulisan seperti ini sebelumnya. Ini adalah aksara kuno yang hanya bisa dibaca dengan bantuan cahaya khusus.”
“Cahaya khusus?” Amara bertanya.
“Ya,” jawab Arjuna. “Ada legenda tentang tulisan seperti ini yang hanya bisa dibaca dengan cahaya dari bulan purnama.”
Raka mengangguk. “Itu masuk akal. Tapi bulan purnama baru akan datang beberapa hari lagi. Kita tidak bisa menunggu selama itu.”
Amara berpikir sejenak. “Kristal ini... mungkin bisa membantu.”
Ia mengeluarkan Kristal Penjaga dari tasnya dan mendekatkannya ke kertas tersebut. Cahaya dari Kristal perlahan menyentuh permukaan kertas, dan tulisan itu mulai bersinar, membentuk kata-kata dalam bahasa mereka.
“Aku tidak percaya ini berhasil,” gumam Raka.
Amara membaca tulisan itu dengan hati-hati.
"Hanya mereka yang bersatu dalam tujuan dapat membuka jalan berikutnya. Di bawah cahaya bulan atau matahari terbenam, temukan cermin kebenaran."
“Matahari terbenam?” tanya Raka.
Arjuna menunjuk ke arah barat. “Kita harus bergerak cepat. Jika petunjuknya benar, kita harus mencapai tempat tertentu sebelum matahari tenggelam.”
Dengan peta di tangan, mereka bergegas meninggalkan reruntuhan candi. Jalan yang mereka tempuh semakin sulit, dengan tanah berlumpur dan akar pohon yang menjalar seperti jebakan alami. Namun, tekad mereka tetap kuat.
Saat matahari mulai turun di cakrawala, mereka akhirnya tiba di sebuah bukit tinggi yang memberikan pemandangan ke arah lembah. Di sana, tersembunyi di antara bebatuan, mereka menemukan sebuah kolam kecil dengan air yang jernih.
“Ini pasti tempatnya,” kata Amara, merasa yakin.
Mereka mendekati kolam itu dan melihat bahwa airnya memantulkan bayangan mereka dengan sangat jelas, hampir seperti cermin. Saat matahari terbenam, cahaya oranye menyentuh permukaan kolam, dan sesuatu yang luar biasa terjadi—bayangan di air itu berubah menjadi gambar yang berbeda.
“Lihat!” seru Raka.
Di dalam air, mereka melihat gambar sebuah gunung dengan puncak yang dikelilingi awan. Gunung itu tampak megah, dengan sebuah candi besar di puncaknya.
“Itu pasti tujuan kita berikutnya,” kata Arjuna.
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, suara langkah-langkah berat terdengar dari arah belakang. Mereka berbalik dan melihat sekelompok orang berpakaian hitam, wajah mereka tertutup, mendekat dengan cepat.
“Organisasi rahasia,” desis Arjuna, menghunus pedangnya.
Amara dan Raka bersiap, sementara orang-orang itu mengepung mereka. Pemimpin kelompok itu, seorang pria tinggi dengan jubah hitam, melangkah maju.
“Kami sudah cukup bersabar,” katanya dengan suara dingin. “Berikan Kristal itu, atau kalian tidak akan meninggalkan tempat ini hidup-hidup.”
“Kalian tidak akan mendapatkannya,” jawab Amara tegas.
Pria itu tertawa. “Kalian pikir kalian bisa melawanku? Aku adalah bayangan yang akan selalu ada di mana pun kalian pergi.”
Pertarungan pun dimulai. Arjuna bertarung dengan gagah berani, melawan beberapa musuh sekaligus. Amara dan Raka mencoba melindungi Kristal, tetapi mereka mulai terdesak.
Saat keadaan hampir tak terkendali, Kristal di tangan Amara tiba-tiba bersinar terang, memancarkan cahaya yang membuat para musuh terhuyung mundur. Cahaya itu memberi mereka kesempatan untuk melarikan diri.
Mereka berlari tanpa henti, meninggalkan kelompok bayangan itu di belakang. Saat akhirnya mereka merasa cukup jauh, mereka berhenti untuk bernapas.
“Ini tidak akan mudah,” kata Amara dengan suara gemetar.
“Tapi kita sudah tahu tujuan berikutnya,” jawab Raka. “Gunung itu. Kita harus sampai ke sana sebelum mereka.”
Dengan tekad baru, mereka melanjutkan perjalanan, mengetahui bahwa setiap langkah membawa mereka lebih dekat pada rahasia besar—dan pada bahaya yang semakin mengintai.