Dipinang adiknya, tapi dinikahi kakaknya. Loh!! Kok bisa? Terdengar konyol, tapi hal tersebut benar-benar terjadi pada Alisya Mahira. Gadis cantik berusia 22 tahun itu harus menelan pil pahit lantaran Abimanyu ~ calon suaminya jadi pengecut dan menghilang tepat di hari pernikahan.
Sebenarnya Alisya ikhlas, terlahir sebagai yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan tidak dapat membuatnya berharap lebih. Dia yang sadar siapa dirinya menyimpulkan jika Abimanyu memang hanya bercanda. Siapa sangka, di saat Alisya pasrah, Hudzaifah yang merupakan calon kakak iparnya justru menawarkan diri untuk menggantikan Abimanyu yang mendadak pergi.
*****
"Hanya sementara dan ini demi nama baikmu juga keluargaku. Setelah Abimanyu kembali, kamu bisa pergi jika mau, Alisya." ~ Hudzaifah Malik Abraham.
Follow ig : desh_puspita
******
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33 - Serangan Fajar
"Iya, Abimanyu tahu ... maka dari itu aku terkejut sewaktu dia meninggalkan Alisya di hari pernikahan."
Hudzai semakin tidak mengerti tentang apa yang terjadi. Mendengar pengakuan Habil, pria itu menyimpulkan bahwa kepergian Abimanyu di hari pernikahan bukan karena tidak menerima masa lalu Alisya, melainkan faktor lain yang dia tidak tahu sebenarnya apa.
Masalah ini terlalu rumit untuk disimpulkan sendiri. Satu-satunya jalan keluar ialah bertemu, bicara empat mata dan mendengar dengan jelas pengakuan dari bibirnya.
Ya, hanya itu yang Hudzai butuhkan sekarang. Pembicaraan bersama Habil rasanya sudah cukup hingga dia bermaksud keluar dan mempersilakan adik sepupunya itu untuk tidur.
"Tunggu, Kak!!"
"Ada apa? Apa masih ada yang ingin kau katakan?" tanya Hudzai menatap sendu pria di hadapannya.
Tidak bisa dipungkiri, kecewa itu pasti. Sikap keluarga besar yang seolah sengaja menjerumuskannya dalam jurang semacam ini jelas menjadi alasan kenapa Hudzai sampai sesedih ini.
Walau memang tidak Hudzai ungkapkan, tapi mata Habil bisa menangkapnya. Karena itulah, tak sedikit perasaan bersalah yang menguar dalam diri Habil sebagai sebenarnya.
"Maaf, sungguh aku tidak bermaksud membohongimu ... sempat terbesit untuk bercerita, tapi aku takut hal itu justru membuatmu marah dan menatap hina Alisya," jelas Habil tanpa ditutup-tutupi.
Memang benar begitu niatnya dalam menutupi aib Alisya. Sebagai seseorang yang juga sudah cukup lama mengenal Alisya, jelas dia tahu seberapa banyak luka yang Alisya derita.
Dia tidak ingin luka itu kembali menganga dengan hilangnya Hudzai yang menjadi harapan terakhirnya. Karena itulah, Habil memilih tutup mulut dan hanya bercanda ke arah yang menyenangkan saja.
"Tidak perlu minta maaf, aku tahu niat baikmu baik." Walau memang sempat terbesit kekecewaan, tapi Hudzai tidak ingin kian panjang masalahnya.
Biarlah yang sudah terjadi, hendak marah juga tidak akan mengubah keadaan. Toh sejak awal memang bukan dia yang calon suami Alisya, andai memang iya pasti sudah diberitahu lebih dulu, sebagaimana Abimanyu.
"Tapi tetap saja_"
"Tidak ada tapinya, Habil."
Habil mengangguk, ada rasa tak enak hati manakala menangkap tatapan sendu kakak sepupunya. Jika sudah begini, kekesalan kepada Abimanyu semakin menjadi.
"Apa masa lalu Alisya tidak jadi masalah?"
"Tidak, bukan dia juga yang mau," sahut Hudzai dengan kesimpulan paling sederhananya.
Pengakuan Hudzai seketika menjadi alasan Habil menghela napas panjang. Sungguh malam ini dia benar-benar lega, lega selega-leganya.
Mengingat kekhawatirannya tidak terbukti, Hudzai ternyata menerima sekalipun Alisya tak lagi suci. Setelah akad memang Habil sempat berinisiatif untuk bercerita. Akan tetapi, seperti yang tadi dia katakan pria itu takut andai nanti Alisya justru dianggap hina.
Ditambah lagi, Abi Sean mengatakan bahwa untuk tutup mulut dan jangan katakan apapun lebih dulu. Toh, Hudzai juga tidak akan tahu jika Alisya tidak mengaku.
Di luar dugaan, Alisya justru mengaku dan beruntung saja, Hudzai menepis ego dan mampu bersikap dewasa. Atas hal itu, sungguh Habil benar-benar berterima kasih padanya.
"Atas nama Alisya, aku berterima kasih ... setelah ini, aku mohon tolong jaga dia dan jangan pernah berpikir untuk meninggalkannya. Alisya tidak salah, jika saja waktu itu kami tidak memaksanya ikut ke Jakarta, mungkin tidak akan begini."
Tanpa menjawab lagi, Hudzai hanya mengangguk sebelum kemudian berlalu keluar dari kamar Habil. Di malam yang setenang ini, pikirannya begitu berisik dan berperang dengan berbagai pertanyaan di benaknya.
Siapa orangnya? Apa motifnya? Kenapa harus Alisya? Apa pelakunya memiliki kelainan sampai tidak punya hati dan bisa merudapaksa wanita seperti Alisya.
Apa salahnya? Pakaiannya kurang tertutup bagaimana lagi? Kenapa bisa? Jenis narkoba apa yang dikonsumsi pelakunya? Dan ya, sebanyak itu pertanyaan yang menguar dari benak Hudzai.
Hal itu tak terhenti, hingga ketika berada di kamar dia terus bertanya-tanya. Tidak bisa dia bayangkan sesakit dan setakut apa Alisya kala itu.
Mungkin tidak lagi berbentuk air mata, tapi darah saking tersiksanya. Cukup lama Hudzai pandangi sang istri di bawah temaram lampu tidur. Saat ini posisi tidur Alisya yang melintang di tengah-tengah tempat tidur tidak lagi terkesan lucu.
Bukan karena selera humor Hudzai ketinggian, tapi memang keadaan tak lagi memungkinkan. Dalam waktu sekejap, fakta tentang Alisya membuat pria itu seolah menatapnya dengan kesedihan, juga kepedihan.
Perlahan mendekat, Hudzai memperbaiki posisi tidur istrinya. Begitu hati-hati dia lakukan, seolah takut tidur Alisya akan terganggu. Baru saja berhasil membaringkan sang istri, wanita itu terbangun dan mendorong dada Hudzai hingga pria itu terpental dan jatuh ke lantai.
Brugh
"Aaaaawwwhh, Syaaa!!"
"Heuh?"
Alisya celingukan, dia mencari ke sumber suara dan baru sadar bahwa yang dia dorong adalah Hudzai, bukan penculik seperti yang ada dalam mimpinya.
"A' Hudzai?"
Belum ada keinginan untuk bangun, terjatuh dalam posisi semacam itu sangat menyakitkan bagi Hudzai. Bagaimana tidak? Bagian punggung dan tulang ekor yang kena.
Padahal, tenaga Alisya tidak sekuat itu. Akan tetapi, mungkin karena Hudzai sama sekali tidak mengira akan serangan fajar dari sang istri, tubuhnya mendadak terpental ke belakang.
Alisya yang panik dan khawatir sang suami kenapa-kenapa jelas saja segera terjaga. Tak lupa menghidupkan lampu lebih dulu agar bisa dipastikan barangkali ada yang berdarah atau mungkin patah.
.
.
"Mana yang sakit?"
"Semua," jawab Hudzai meringis karena memang yang dia rasakan sakit semua.
Entah mimpi apa malam kemarin sampai kini dia merasakan kesialan yang begitu luar biasa. Tidak hanya punggung dan tulang ekor yang sakit, tapi memang pergelangan tangannya ikutan sakit lantaran mengenai sudut nakas yang berbentuk segitiga siku-siku.
"Ya Allah, A' maaf ... Neng nggak sengaja," sesal Alisya bingung sendiri harus berbuat apa.
Tidak ada luka, hanya saja Hudzai terlihat begitu kesakitan. Dia sudah mencoba mengusap punggung dan memijat pergelangan tangan sang suami pelan-pelan. Akan tetapi, Hudzai yang agaknya sedikit drama karena mungkin ngantuk juga masih terus merengek seolah baru saja jatuh dari lantai tiga.
Merasa kasihan dan penasaran, Alisya membuka piyama Hudzai demi memastikan barangkali memang ada paku atau benda tajam yang masuk ke punggungnya karena memang caranya mengekspresikan rasa sakit sebegitunya.
"Eh mau ngapain?" tanya Hudzai yang agaknya salah paham tatkala mendapati tindakan istrinya.
"Mau lihat punggungnya, siapa tahu luka."
"Punggung?" tanya Hudzai menaikkan alis, ekspresinya mulai mencurigakan dan Alisya tanggapi seadanya saja.
"Iya, kan katanya sakit?"
"Sakit sih, cuma jangan dibuka bajunya."
"Kenapa jangan?"
"Ya jangan, nanti kebablasan kalau sudah dibuka," candanya mencoba bersikap biasa saja seolah tidak sedang memikirkan apa-apa.
Hal itu berhasil, Alisya tersenyum simpul dan berani menepuk lengannya karena mengira Hudzai memang tengah menggoda. "Apasih, sudah mau pagi juga."
"Ha-ha-ha ... jam tiga, Sayang, masih ada waktu sebenarnya."
"Heih!!"
"Tahajud maksudnya, kamu mikirnya apa?" tanya Hudzai lagi hingga wajahnya kian memerah.
Alisya yang tak ingin salah tingkahnya semakin menjadi memilih berbaring kembali di sisi sang suami. Bukan untuk tidur, tapi memang tubuhnya masih lelah saja.
Wajahnya yang memerah tak lepas dari tatapan Hudzai, pria itu mengikis jarak agar pembicaraan mereka lebih nyaman.
"Sya ...."
"Iya?"
"Hari ini kita ikut ke Jakarta juga ya," ajak Hudzai tiba-tiba dan hal itu sukses membuat Alisya terkejut tentu saja.
"Ikut?"
"Hem."
"Kenapa gitu? Bukannya Abi bilang kita di sini dulu, A'?"
"Iya memang, tapi sejujurnya Aa' tuh tidak bisa jauh dari Mama," ucapnya dengan wajah memelas hingga Alisya diam seribu bahasa. "Aih, ternyata bener kata Tante Meera ... A' Hudzai anak Mama."
.
.
- To Be Continued -