DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM6
POV Rama
Namaku Rama.
Aku adalah anak ketiga dari tiga bersaudara.
Kakak tertuaku, Mas Raga, yang saat ini berumur 31 tahun, dikuliahkan oleh orang tuaku, dan saat ini bekerja di perkebunan kelapa sawit di pulau Sumatra. Mas Raga sudah menikah dengan Mbak Utami yang adalah tetangga kami dulu sebelum pergi merantau. Saat ini Mas Raga dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan, Nanda 6 tahun dan Nindi 4 tahun.
Mbak Raya, anak kedua dan satu-satunya anak perempuan di keluarga kami sudah berumur 28 tahun. Mbak Raya menikah dengan mas Budi yang juga teman sekolahnya sejak SMP. Mbak Raya langsung diboyong ke rumah mertua setelah menikah. Mereka juga dikaruniai 2 orang anak, yang semuanya lelaki. Doni 7 tahun dan Dio 2 tahun. Karena Mbak Raya dan Mas Budi sama-sama kerja, Doni dan Dio diasuh oleh orang tua Mas Budi. Meski tinggal sekota, Mbak Raya dan keluarganya jarang berkunjung ke rumah ibu mertua. Mungkin karena sama-sama kerja, jadinya hari libur mereka pakai untung kumpul keluarga mereka sendiri.
Cuma aku yang tidak dikuliahkan oleh bapak dan ibu. Saat akan mencari biaya sendiri, mereka melarangku. Katanya cari uang aja, nanti wanita akan datang sendiri kalau ada uang.
Jujur aku tidak mengerti kenapa selalu dibedakan dengan kakak-kakakku. Dari makan, pakaian, sampai pendidikan. Ibu selalu meneriaki ku anak sial. Bapak tidak pernah membela. Paling jika ibu terlalu histeris, bapak akan menenangkan ibu. Bukan menghiburku.
Aku tidak dekat dengan kakak-kakakku. Mungkin juga mereka trauma. Pernah dulu saat aku masih TK, ibu pulang membawa jeruk. Mas Raga dan Mbak Raya dibagi satu-satu, bahkan mereka dikupaskan. Aku hanya menonton mereka bertiga makan. Saat ibu ke dapur, Mas Raga memberikan seiris jeruknya padaku. Sedang enak-enak mengunyah jeruk manis yang hanya seiris itu, tiba-tiba punggungku dipukul dari belakang sampe aku keselek dan jatuh tersungkur. Rupanya ibu melihat aku memasukkan jeruk itu ke dalam mulut. Mas Raga dan Mbak Raya tampak shock dan terpaku melihatku tengkurap di lantai. Aku bangun sendiri sambil menahan perih di hidung setelah susah payah menelan sisa-sisa jeruk di tenggorokan. Aku sampai tidak bisa menangis saking kaget dan sakitnya hati ini. Malamnya baru berasa ngilu punggung ini. Mungkin kalo diperiksa akan ada warna biru ungu di situ.
Sejak kejadian itu Mas Raga dan Mbak Raya jaga jarak denganku. Akupun tidak mau dekat-dekat dengan mereka. Seringnya aku main sendiri dengan batu-batuan di teras. Atau main ke rumah Dono, yang jaraknya cuma beberapa rumah dari rumah bapak.
Dono adalah tetangga sekaligus teman sekelasku. Kami selalu sekolah bersama sejak TK. Kami juga sama-sama tidak lanjut kuliah. Kalau Dono karena keterbatasan biaya, kalo aku karena dilarang lanjut sekolah oleh ibu meski aku dapat beasiswa.
Meski terbatas secara ekonomi, keluarga Dono menyambutku dengan hangat. Dari merekalah aku tahu bagaimana perlakuan orang tua yang normal ke anaknya. Bahkan yang mengambilkan raporku adalah ibunya Dono. Bapakku yang kerja di proyek seringnya tidak pulang ke rumah.
Sementara ibuku mana peduli denganku. Yang diambilkan hanya rapor Mas Raga dan Mbak Raya.
Saat SMP pingin rasanya berontak. Kalau memang tidak mau melahirkanku, kenapa tidak digugurkan saja. Atau kalau terlanjut ya diserahkan ke panti asuhan saja sekalian biar tidak tersiksa begini. Tapi bapaknya Dono menasihatiku bahwasanya ada ujian hidup yang harus dilewati. Ujianku ya keluargaku ini.
Kuhabiskan masa kecil dar remajaku bersama Dono dan keluarganya. Kami berdua sempat bekerja sampingan bersama sejak SMP. Dono malah seperti saudaraku dibanding Mas Raga.
Sekarang aku sudah menikah. Alana, istriku wanita yang cerdas, berhati lembut tapi berpendirian teguh. Pertama kali melihatnya aku terkesan dengan senyumnya yang manis meneduhkan. Apalagi setelah mengenalnya lebih jauh. Sebagai anak yatim piatu, perjuangannya untuk dirinya dan adiknya sangat membanggakan. Aku merasa yakin bahwa dia adalah pendamping hidup yang sesuai untukku.
Tadinya kami berencana mengontrak rumah dekat tempat kerjaku, tapi sesaat setelah kami menikah, ibu meminta kami tinggal di rumahnya. Kami jadi harus bolak balik jauh untuk bekerja.
Kupikir ibu sudah bisa menerima nasibku yang menjadi anaknya setelah aku menikah.
Ternyata ibu hanya ingin mendapatkan pembantu gratisan. Jika sebelumnya kerjaan rumah ibu dan aku yang mengerjakan, sejak Mbak Raya diboyong suaminya, sekarang sepenuhnya menjadi tugas Alana.
Aku kasihan sekali kepada istriku ini.
Tapi Alana meyakinkanku bahwa dia tidak keberatan. Anggap aja tanda bakti. Ah istriku ini, semakin aku menyayanginya. Maafkan aku ya sayang, malah membuatmu menderita setelah kita menikah.
Sampai siang itu, ibu mengusir kami gara-gara hal sepele. Dari situlah aku tahu alasan ibu mengataiku anak sial di seumur hidupku. Mana aku tahu kalo kakekku bakalan dapat musibah saat aku lahir. Kalau bisa nego ke Tuhan, mungkin saat itu aku menawar untuk tidak jadi lahir daripada musibah itu terjadi. Tapi siapalah aku ini ya kan.
***
Saat kami sampai ke rumah bapak, kulihat pintu masih tertutup. Mungkin bapak dan ibu istirahat di rumah.
Setelah mengetuk pintu beberapa kali, ibu membukakan pintu. Saat melihat kalau kami yang datang, ibu langsung melengos dan membalikkan badan. Tangan kanan yang kuulurkan tidak digubris. Pintunya dibiarkan terbuka. Kami pun masuk, sambil kulihat bapak keluar kamar.
Bersama Alana, kuhampiri bapak dan kuulurkan tangan untuk mencium tangan bapak.
"Duduk, Ram, Al," Kata bapak kepada kami sambil duduk di sofa ruang tamu.
"Jadi apa kalian mau menjelaskan alasan kalian pindah dari sini dan membiarkan ibu sendirian? Tega sekali kalian ini. Apalagi sampai mengungkit biaya bulanan yang sudah kalian berikan selama kalian tinggal di sini." Lanjut bapak yang membuatku kaget.
Aku menoleh ke arah Alana. Diapun terkejut dengan pertanyaan bapak. Apa sebenarnya yang sudah dikatakan ibu?
"Seperti yang Rama katakan tadi pagi, Pak, bahwa Rama dan Alana pergi karena diusir Ibu. Bukan kami yang pergi meninggalkan ibu sendirian. Bahkan saat pergi pun, kami masih tidak tahu harus tinggal di mana. Jadi tidak ada maksud untuk tega kepada ibu. Sama sekali tidak ada, Pak."
Ibu yang duduk di samping bapak membuang wajahnya. Tidak ada raut menyesal atau sedih. Yang kulihat adalah kemarahan.
Bingung sendiri jadinya. Apa iya masih marah karena Mas Raga terlambat transfer?
Apa iya masih marah kepada orang yang diusir?
"Hari itu Rama juga tidak menyangka Ibu akan semarah itu mendengar kabar Mar Raga yang sedang dapat musibah di rantau sana. Kami masih seperti biasa aja. Alana memasak dan membersihkan rumah. Rama pun masih berangkat kerja. Hanya balik lagi karena ada yang ketinggalan. Saat balik itulah Rama melihat ibu yang marah-marah ke Alana. Dan karena melihat Rama, jadi marahnya sekalian," sambungku.
"Kalian memang pasangan pembawa sial! Baru menikah pada kena PHK, coba kalo tidak sial apa namanya?! Belum lagi istrimu yang belum juga hamil. Sial sampai ke rahim-rahimnya segala kering begitu!" sembur ibu kepada kami.
"Buuuu!!!!"
"Astaga!!!!"
Bapak dan kami sama-sama berseru.
"Ini caci maki awal sebelum ibu mengusir kami, Pak. Ya begini ini." Kuterangkan ke Bapak, sambil menahan emosi. Tak terasa air mata ini menetes. Alana sudah menangis di sampingku.
"Sampai kapan Ibu mau begini? Sampai kapan Ibu belum mengikhlaskan kematian Bapak?" tanya Bapak ke Ibu dengan penuh penekanan dan wajah kecewa.
"Mati, rejeki, jodoh, dan anak itu hak Allah. Sampai kapan ibu mau membebankan semua ke Rama? Apa belum cukup siksaan yang ibu lakukan pada Rama seumur hidupnya? Kok tega ibu sama anak sendiri?"
Kulihat ibu hanya menangis sesenggukan. Tapi yang pasti bukan tangis menyesal.
"Sepertinya memang lebih baik Rama dan Alana hidup terpisah dengan Ibu, selama Ibu belum sadar juga. Rama, Alana, Bapak merestui kalian pindah. Bapak juga tidak akan kembali ke proyek. Sudah selesai pekerjaan di sana. Sekarang Bapak akan mengurusi kebun peninggalan kakekmu saja."
Ku hela nafas panjang untuk meredakan air mata ini. Sakit sekali rasanya mengharap kasih sayang dan restu dari ibu.
"Maafkan Rama dan Alana ya, Pak, Bu. Kalau kehadiran kami menyakitkan Ibu dan Bapak. Kami tetap menganggap Ibu dan Bapak sebagai orang tua kami. Semoga suatu saat, Ibu bisa menerima kehadiran kami dengan ikhlas."
"Kalau begitu Rama dan Alana pamit ya, Pak, Bu. Kalau ada waktu Bapak dan Ibu bisa juga mengunjungi kontrakan kami. Alana jualan sarapan pagi dan kue di kontrakan, Pak, Bu. Ini kami bawakan kuenya untuk Bapak dan Ibu. Semoga Bapak dan Ibu berkenan," pamitku kepada bapak dan ibu. Sekalian minta restu usaha Alana.
"Alana pamit ya Bapak, Ibu." Pamit Alana sambil mencium tangan Bapak.
Ibu masih bergeming pada posisinya. Sampai kami menaiki motor pun, hanya bapak yang berdiri di pintu melepas kepergian kami.
Aku berdoa agar semoga suatu saat nanti, ibu bisa memelukku dengan ikhlas dan tulus.
*
*
*
Bagus banget /Kiss/
Apalagi part di mana Alana hamil, ya ampun, saya sampai meneteskan air mata. /Good/