Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Karena muak dengan para pembantu rumahnya, Aerin memilih keluar ke taman dekat kompleks rumahnya untuk mencari angin. Lebih baik ia tidur-tiduran di rerumputan taman sepi itu sambil menatap langit-langit sore yang indah, daripada melihat wajah-wajah yang menatapnya sinis itu.
Aerin melangkah keluar rumah. Jalanan di kompleks perumahan tersebut selalu sepi seperti biasa tapi ia lebih suka seperti itu. Dengan begitu, ia tidak akan merasa terganggu dilirik oleh orang-orang.
Aerin mendesah pelan memikirkan bagaimana tanggapan mama dan papanya kalau pembantu-pembantu itu melaporkan perbuatannya tadi. Ia memang tidak bisa meredam emosinya lagi hingga bersikap kasar seperti tadi. Siapa suruh mereka merendahkan harga dirinya sebagai anak majikan. Ia terus melangkah
ke lorong kecil menuju taman. Batinnya terasa sakit mengingat papa dan mamanya yang tidak pernah lagi menganggap keberadaannya.
"Hati-hati, nanti kau tersandung."
suara maskulin itu tiba-tiba muncul, tak di sangka-sangkanya. Begitu mengejutkan hingga Aerin mengeluarkan suara pekikan kaget.
Dia mendongak ke arah suara itu dan menemukan Anson, sedang bersandar di tiang lorong taman, masih mengenakan setelan kemeja dan celana yang dipakainya di rumah sakit tadi. Tapi tidak memakai jas dokter lagi.
"Kenapa kau ada di sini?" Aerin bertanya heran. Ia tahu persis rumah Anson jauh dari rumahnya. Lelaki itu tersenyum miring.
"Jangan menatapku seperti itu, kau pikir aku sengaja mau menemuimu? Aku hanya mau bertemu Kyle, kebetulan melihat kau berjalan di sini."
Aerin terdiam. Lututnya serasa kaku ketika mendengar Anson menyebut nama itu. Anson sendiri merasa heran. Sebenarnya alasan utamanya datang adalah karena ia penasaran ingin melihat kondisi gadis itu sudah membaik atau belum, tapi melihat Aerin yang berjalan sendirian ke arah taman, sepertinya kondisinya mulai membaik. Ia menggunakan nama kakak gadis itu karena tidak mau Aerin berpikir dirinya mulai memperhatikannya dan menjadi besar kepala nantinya. Anson ini jenis laki-laki yang gengsinya sangat tinggi.
Anson terus memperhatikan ekspresi gadis di depannya itu. Aerin terus diam dan berdiri kaku dengan pandangan kosong. Anson berbicara lagi tapi Aerin sama sekali tidak menanggapinya. Ia heran, kenapa dengan gadis ini tiba-tiba. Apa ada yang salah dari cara bicaranya? Karena tak bergerak-gerak juga, Anson mencoba menyentuh bahunya.
"Hei, Aerin. Aerin!"
Setelah beberapa kali Anson memanggil namanya, Aerin baru sadar. Ia mengerjap-ngerjapkan mata menatap pria itu.
"Hah?" gumamnya linglung. Anson mengerutkan kening. Gadis ini kenapa sebenarnya?
"Kenapa denganmu? Kau menganggapku patung?" lelaki itu bingung melihat Aerin yang tiba-tiba jadi aneh begitu.
Setelah benar-benar sadar, Aerin baru terlihat normal lagi. Sampai sekarang, ia memang masih sangat sensitif kalau mendengar ada yang menyebut-nyebut kakaknya.
Jadi Anson sama sekali tidak tahu bahwa kakak kandung satu-satunya itu sudah tidak ada? Ah ya, pria itu memang lagi di Amerika waktu kakaknya pergi selama-lamanya. Setahu Aerin mereka memang sudah jarang berkontak lagi saat Anson di luar negeri. Hanya sesekali saja.
Pandangan Aerin jatuh ke ponsel yang diulurkan Anson di depannya. Gadis itu mengernyitkan mata.
"Kenapa?" tanyanya bingung menatap lelaki itu.
"Minta nomor Kyle." balas pria itu datar. Nomor Kyle yang lama sudah tidak aktif, jadi ia harus meminta yang baru pada Aerin. Itu juga alasannya kenapa dia tidak pernah kontek-kontekan sama Kyle lagi. Karena dari semester awal kuliah, nomor Kyle sudah tidak aktif.
Aerin adalah adiknya, pasti dong ada nomor kakaknya. Tidak mungkin tidak. Apalagi Anson tahu Kyle dan Aerin itu sangat dekat dari dulu. Kyle selalu menyayangi Aerin walaupun Aerin suka menindas orang.
Aerin menatap Anson dengan ekspresi tak berminat lalu membuang muka ke arah lain.
"Walau aku memberikan nomornya sekarang padamu, kau tidak akan pernah bertemu dengannya lagi." ucap gadis itu tak kalah datar. Pandangannya fokus ke langit dengan kedua tangan terlipat di dada. Alis Anson terangkat menatapnya.
"Kenapa? Apa dia sedang tidak ada di sini? Kyle di luar negeri?" tanya Anson beruntun. Hanya itu yang terpikirkan olehnya. Ia merasa aneh pada Aerin yang kini terus menatapnya lama.
"Kau akan memberiku nomor kakakmu atau tidak?" tanya Anson lagi. Kali ini nada suaranya sedikit jengkel.
"Tidak." jawaban tegas Aerin membuat Anson makin kesal. Gadis itu malah berjalan meninggalkannya.
Anson menutup matanya dalam-dalam. Percuma dia datang, Aerin memang selalu membuatnya kesal. Jangan-jangan gadis itu sengaja lagi tidak mau kakaknya bertemu dengan dia. Tidak, tidak. Ia harus mendapatkan nomor Kyle sekarang dengan cara apapun. Anson mengikuti langkah gadis itu dari belakang dengan gerakan cepat.
"Jelaskan kenapa?" katanya datar, menghalangi jalan Aerin. Mata keduanya saling beradu lama. Aerinlah yang memutuskan kontak lebih dulu, karena merasa tidak mampu dengan tatapan tajam yang amat menusuk milik Anson. Ia memalingkan wajah dan mendesah pelan.
"Aku tidak punya nomornya lagi." gumamnya pelan. Ingin sekali ia berteriak pada Anson kalau kakaknya tidak ada lagi di dunia ini, namun ia tidak bisa. Ia tidak mau menangis dihadapan lelaki itu. Tidak ingin dirinya ditatap menyedihkan.
Anson mengerutkan kening menatap Aerin. Lelaki itu tersenyum miring. Ia tidak percaya. Mana mungkin Aerin tidak memiliki nomor kakak kandungnya sendiri. Padahal mereka sangat dekat dari dulu. Tidak pernah terpisahkan.
"Jangan membodohiku Aerin. Kau ingin bermain-main denganku, hm?" kata Anson tidak percaya.
Aerin merasa sangat lelah. Ia merasa tidak punya tenaga untuk berdebat dengan pria itu malam ini. Kepalanya kembali pening, ia terus menahan diri. Tidak boleh jatuh pingsan dihadapan Anson. Tapi ... Semakin lama sakit yang menyerang kepalanya makin menjadi-menjadi. Rasa sakitnya sangat menusuk sampai dibatas kemampuannya.
Anson yang berdiri di depan gadis itu terus memperhatikan gerak-geriknya. Apa Aerin merasa sakit lagi? Ia cepat-cepat menahan tubuh Aerin ketika gadis itu hampir terjatuh.
Aerin tidak pingsan. Ia hanya terlalu pusing dan merasa tidak kuat untuk berdiri. Seketika Anson melupakan pertanyaannya tentang Kyle tadi dan fokus pada gadis itu. Tangannya terangkat menyentuh dahi Aerin.
"Suhu tubuhmu panas. Kau demam." gumam Anson dengan nada datar. Ia tidak mau terdengar khawatir meski dalam hatinya ada sedikit kekhawatiran yang tidak bisa ia jelaskan.
Aerin berusaha melepaskan diri dari genggaman Anson namun pria itu tidak membiarkan, terus memeganginya kuat. Ia takut Aerin akan jatuh ke tanah dan pingsan.
"Aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang juga." kata pria itu lagi. Kali ini ia langsung menggendong Aerin.
"Tidak usah!" tolak Aerin cepat.
"Turunkan aku!" katanya lagi berontak. Anson menatap gadis itu dan membuang nafas kasar.
"Berhenti melawanku Aerin, karena aku tidak akan mendengar perkataanmu sama sekali!" balas pria itu tegas. Ia berjalan cepat ke tempat mobilnya diparkir.
Aerin akhirnya pasrah saja membiarkan dirinya dibawa oleh Anson. Ia tidak punya kekuatan lagi untuk menolak. Dirinya terlalu lemah dan seluruh badannya terasa sakit.