Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Bunda Anin tersenyum hangat saat melihat putrinya pulang dan diantar oleh Arka. Senyum itu tak bisa disembunyikan, meskipun matanya sedikit khawatir melihat Siera yang tampak kelelahan.
“Malam, Bun,” ucap Siera dengan nada lemas. Suaranya lirih, seolah seluruh tenaga telah terkuras habis dari tubuhnya.
“Malam, Tante,” sapa Arka dengan sopan, menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk penghormatan. Sikapnya yang penuh perhatian membuat kesan hangat di hati Bunda Anin.
“Malam, Nak Arka,” jawab Bunda Anin dengan senyum hangat. Namun, fokusnya segera kembali pada Siera yang berdiri di samping Arka dengan bahu sedikit merosot.
“Kamu kenapa, Sayang? Capek banget kelihatannya,” tanya Bunda Anin dengan penuh perhatian. Matanya menyapu wajah Siera, mencari tanda-tanda kelelahan yang mungkin lebih dari sekadar fisik.
“Nggak apa-apa kok, Bun,” jawab Siera, berusaha tersenyum meski wajahnya sulit menyembunyikan lelah yang begitu nyata.
Bunda Anin mengalihkan pandangannya ke Arka, mengisyaratkan sebuah pertanyaan tanpa kata: Apa yang sebenarnya terjadi? Arka, yang mengerti maksud itu, hanya membalas dengan senyum menenangkan dan gelengan ringan. Gestur itu cukup untuk sedikit meredakan kekhawatiran Bunda Anin, meskipun rasa ingin tahunya masih belum hilang sepenuhnya.
Siera melangkah masuk ke rumahnya dan berhenti di depan pintu. Sebelum ia melangkah lebih jauh, ia teringat sesuatu.
“Eh, Ka, belanjaan yang tadi mana?” tanya Siera, matanya melihat tangannya yang kosong begitupun dengan Arka.
“Simpan di mobil aja, Sie. Biar kamu nggak repot-repot bawa-bawa. Besok pagi aja aku jemput kamu, biar sekalian bawa ke studio,” jawab Arka, dengan nada yang santai, meskipun itu sebenarnya alasan yang sengaja dibuatnya agar bisa berinteraksi lebih lama dengan Siera.
Siera yang mendengarkan perkataan Arka hanya mengangguk. "Hmm, oke Ka. Terimakasih yah,"
Bunda Anin kembali bersuara dengan nada yang ramah. “Mau mampir dulu, Nak Arka?”
“Nggak usah, Tante. Sudah sangat larut. Arka pamit pulang aja, ya Tante,” ucap Arka, dengan nada sopan yang dibalas anggukan kepala oleh Bunda Anin.
Siera menatap Arka dengan senyum kecil. “Sie, aku pulang dulu. Istirahat yang cukup, ya,” kata Arka dengan lembut, memastikan Siera merasa tenang.
Melihat interaksi itu, hati Bunda Anin menghangat. Ia tidak mengungkapkan perasaannya secara langsung, tapi di dalam hati ia tahu ada perkembangan positif dalam hubungan anaknya. Ada sesuatu yang berbeda antara Siera dan Arka, sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan biasa lagi. Itu membuat Bunda Anin merasa lega. Baginya, setiap langkah kecil menuju kebahagiaan anaknya selalu membawa harapan baru.
*
Di kamar, Siera sedang duduk di depan meja riasnya, menjalani rutinitas malam sebelum tidur. Tangannya sibuk mengoleskan skincare di wajah, berusaha mengalihkan pikiran dari kelelahan yang menghantuinya sepanjang hari. Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di pintu.
Tok…tok…
“Sie, sayang. Udah tidur belum? Bunda boleh masuk?” tanya Bunda Anin lembut dari balik pintu.
Siera menoleh ke arah pintu, suaranya terdengar pelan. “Belum tidur, Bun. Masuk aja.”
Bunda Anin melangkah masuk perlahan, menghela napas panjang sebelum duduk di tepi tempat tidur. Wajahnya memancarkan perhatian dan sedikit kekhawatiran.
“Sie, nggak kenapa-kenapa kan, Sayang? Tumben banget tadi kamu kelihatan lesu,” ujar Bunda Anin sambil menatap Siera dengan mata penuh kasih.
Siera terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah ia harus jujur atau tidak. Namun, ia tidak ingin membuat ibunya semakin khawatir. “Sie nggak apa-apa kok, Bun. Cuma... ada sedikit masalah di studio.”
“Masalah apa, Sayang?” tanya Bunda Anin, suaranya penuh perhatian.
Siera menarik napas dalam, lalu mulai menceritakan detail masalah yang sedang ia hadapi di studionya. Ia berbicara dengan nada yang tenang, meskipun matanya menunjukkan betapa ia merasa terbebani.
Bunda Anin mendengarkan dengan seksama, tidak memotong sedikit pun. Setelah Siera selesai bercerita, ia mengangguk pelan. “Oh, begitu. Sekarang Bunda paham kenapa kamu kelihatan lesu tadi.”
Ia mengusap lembut bahu Siera, memberikan sentuhan yang menenangkan. “Jangan terlalu dipikirin, ya, Sayang. Masalah selalu ada solusinya. Kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu buat cerita ke Bunda lagi, atau... siapa tahu Arka bisa bantu?”
Siera tersenyum kecil, meskipun pipinya sedikit memerah mendengar nama Arka disebut. Perasaan hangat mengalir dalam dirinya, dan ia merasa lebih ringan setelah berbicara dengan ibunya.
“Terima kasih, Bun,” ucapnya tulus.
Bunda Anin membalas senyum Siera, lalu tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh ya, Sayang, tadi Tante Arum telepon Bunda.”
Mendengar nama ibu Arka disebut, Siera langsung menoleh dengan penasaran. “Kenapa, Bun?”
“Tante Arum tanya, gimana perkembangan hubungan kamu sama Arka. Apa kalian sudah membahas rencana pernikahan kalian, Sayang?”
Siera terdiam sejenak. Ia tahu perhatian Arka yang tulus kepadanya belakangan ini, tapi mereka belum pernah berbicara serius tentang rencana pernikahan. Pertanyaan itu, meski disampaikan dengan lembut, membawa sedikit tekanan ke dalam pikirannya.
“Aku sama Arka belum ngomongin apa-apa, Bun,” jawabnya pelan, sambil menunduk.
Melihat ekspresi putrinya, Bunda Anin segera menenangkan. “Jangan dijadikan beban, ya, Sayang. Tante Arum dan Bunda hanya ingin tahu rencana kalian ke depannya, tanpa maksud memaksa kalian untuk buru-buru.”
Siera menatap ibunya, dan kata-kata itu membuatnya sedikit lega. Seolah-olah Bunda Anin tahu betul apa yang sedang ia pikirkan.
“Udah, nggak usah dipikirin dulu, Sayang. Sekarang tidur yang nyenyak, ya, biar besok kamu lebih segar,” ujar Bunda Anin, diakhiri dengan tepukan lembut di pundak Siera sebelum ia melangkah keluar dari kamar.
Siera mengangguk, menyaksikan kepergian ibunya dengan perasaan yang lebih tenang. Ia kembali melanjutkan rutinitas malamnya, kali ini dengan pikiran yang sedikit lebih ringan dan hati yang lebih damai.
***
Arka yang baru selesai mandi melihat layar ponselnya menyala, menampilkan beberapa panggilan tak terjawab dari ibunya. Dengan handuk yang masih melingkar di lehernya, ia bergegas mengambil ponsel dan menelpon balik.
“Halo, Ma. Kenapa?” tanyanya singkat, suaranya masih terdengar serak setelah mandi.
“Kamu tuh dari mana aja? Dari tadi Mama telepon nggak dijawab!” omel Mama Arumi di seberang telepon dengan nada khas yang penuh kekhawatiran.
“Arka baru selesai mandi, Ma,” jawabnya santai, sambil berjalan ke sofa dan duduk.
“Jam segini baru mandi? Kamu habis dari mana, Ka?” Nada suara ibunya berubah menjadi lebih ingin tahu.
Arka tersenyum kecil, sudah terbiasa dengan perhatian ibunya yang sering kali berlebihan. “Tadi Arka nganterin Siera belanja dulu, Ma.”
Mendengar nama Siera disebut, suara Mama Arumi langsung melunak, bahkan terdengar sedikit antusias. “Oalah, kenapa nggak bilang dari tadi? Jadi gimana, Ka?”
Arka mengerutkan kening, meski masih tersenyum. “Gimana apanya, Ma?”
“Ya, gimana perkembangan hubungan kalian? Apa perlu, Mama balik ke Indonesia lagi buat bantuin kamu?” Suara Mama Arumi terdengar setengah bercanda, tapi Arka tahu itu adalah bentuk perhatian serius.
Arka tertawa kecil sambil menggelengkan kepala, meskipun ibunya tidak bisa melihat. “Nggak perlu, Ma. Arka udah bisa mengatasinya sendiri.”
“Jangan kelamaan, Ka. Siera itu udah nerima kamu, lho. Harusnya kamu yang gerak cepat! Jangan sampai dia berubah pikiran,” ujar Mama Arumi, kini nadanya lebih tegas.
“Iya, Arka tahu, Ma. Mama tenang aja. Sekarang Arka lagi mempersiapkan sesuatu. Mama nggak usah khawatir,” jawab Arka dengan nada percaya diri yang tulus.
Suasana hening sejenak, hanya terdengar napas lembut dari Mama Arumi di seberang telepon.
“Baiklah, Mama percaya sama kamu. Tapi jangan lupa, Ka, cewek itu butuh kepastian. Jangan terlalu lama bikin dia menunggu, ya.”
“Siap, Ma,” jawab Arka sambil tersenyum, menatap kosong ke arah jendela.
Setelah panggilan berakhir, Arka bersandar di sofa, pikirannya melayang memikirkan apa yang akan ia lakukan untuk Siera. Ia tahu ibunya benar, Siera pantas mendapatkan kepastian. Dalam diam, ia menyusun rencana di kepalanya, memastikan langkahnya berikutnya akan menjadi sesuatu yang spesial.
walah sipa yah...