Follow my Instagram : @nataniacatherin_
Hai semua! dukung terus cerita yang akuu buat yaa, kalau kamu suka, like ya, kalau ada kesalahan dari cerita ku, berikan saran, agar kedepannya aku bisa bercerita dengan baik untuk novel terbaru ku..✨❤️
"Cinta dan Cemburu"
Kisah tentang Catherine yang harus menghadapi perasaan rumit antara cinta dan cemburu. Dalam perjalanan hubungan dengan Akbar, ia menemukan sisi lain dari dirinya dan orang yang dulu sering menyakitinya. Di tengah kedekatannya dengan Naufal, Akbar yang penuh kecemburuan mulai menunjukkan sisi gelapnya. Namun, meskipun penuh dengan rintangan, Catherine harus memilih antara cinta yang tulus dan hubungan yang penuh ketegangan. Akankah ia bisa menemukan kedamaian di antara perasaan yang bertarung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chaterine Nathania Simatupang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketakutan Yang tak Terduga
Masa SMA terasa begitu menyenangkan bagi Catherine. Dia menikmati waktu bersama sahabatnya, Naufal, teman yang kini menjadi sosok yang selalu ada untuknya. Naufal adalah orang yang humoris, suportif, dan selalu berhasil membuat Catherine tertawa dengan tingkahnya yang konyol. Mereka sering pergi bersepeda bersama, menikmati matahari terbenam, atau sekadar berbincang di taman dekat rumah Catherine.
Namun, di balik semua kebahagiaan itu, Catherine mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Akbar, yang semula dia pikir sudah melupakan segalanya, kini sering muncul di sekitar Catherine. Awalnya, Catherine mengira itu hanya kebetulan. Tapi, semakin sering Akbar muncul, semakin Catherine merasa tidak nyaman.
Pernah suatu sore ketika Catherine dan Naufal sedang duduk di taman sambil makan es krim, Akbar tiba-tiba datang. "Hai, Catherine. Aku nggak sengaja lewat sini. Lagi sibuk apa?" tanyanya sambil menatap Catherine dengan senyum yang sulit ditebak.
Catherine menelan ludah, merasa gugup. "Oh, cuma ngobrol sama Naufal," jawabnya singkat.
Naufal, yang menyadari perubahan ekspresi Catherine, langsung mengambil alih pembicaraan. "Akbar, sini duduk kalau mau ngobrol. Tapi kalau mau cari Catherine, jangan sering-sering deh. Dia butuh waktu untuk dirinya sendiri," katanya setengah bercanda, tapi tegas.
Akbar hanya tertawa kecil. "Tenang aja, aku cuma lewat." Namun, tatapan matanya kepada Catherine menunjukkan hal lain.
Setelah Akbar pergi, Catherine langsung menghela napas lega. "Aku nggak ngerti kenapa dia sering muncul sekarang," katanya pada Naufal.
Naufal mengangguk sambil mengusap kepala Catherine pelan. "Tenang aja, kalau dia gangguin kamu lagi, aku yang bakal urus."
Meski Catherine merasa lebih tenang setiap ada Naufal, rasa takut itu tetap menghantui. Akbar seperti bayangan yang terus mendekat, dan Catherine tidak tahu apa niatnya.
Satu malam, Catherine terbangun dari tidur karena mimpi buruk. Dalam mimpinya, Akbar terus mengejarnya, mengatakan sesuatu yang tidak jelas. Hatinya berdebar kencang, dan dia langsung membuka ponselnya untuk menghubungi Jenny, teman SMP nya dahulu.
"Jenny, aku nggak tahu harus gimana. Aku takut sama Akbar. Dia kayak terus muncul di mana-mana," katanya dengan suara gemetar.
Jenny mencoba menenangkannya. "Cat, kamu nggak sendiri. Kalau kamu merasa nggak nyaman, bilang aja langsung ke dia. Kalau dia tetap gangguin kamu, kita cari cara lain."
Hari-hari berikutnya, Catherine mencoba menghindari Akbar. Dia lebih sering menghabiskan waktu bersama Naufal, yang semakin menunjukkan perhatian lebih padanya. Meski begitu, Catherine merasa bersyukur memiliki teman seperti Naufal yang selalu siap mendukungnya dalam situasi apa pun.
Namun, di lubuk hati Catherine, ada pertanyaan yang tak bisa dia jawab: apakah Akbar benar-benar memiliki perasaan padanya? Jika iya, kenapa sekarang? Dan bagaimana dia harus menghadapi semua ini tanpa merusak kehidupannya yang perlahan kembali tenang?
Catherine tahu, cepat atau lambat, dia harus menghadapi Akbar secara langsung. Tapi untuk saat ini, dia hanya ingin menikmati kedamaian bersama Naufal dan Jenny, tanpa drama yang tidak perlu.
Suasana Berbeda di WhatsApp
Hari itu, Catherine baru saja sampai di rumah setelah pulang sekolah. Dia merasa sedikit lelah, tetapi semangatnya untuk bercerita kepada Naufal, sahabat barunya, mengalahkan rasa lelah itu. Setelah mengganti seragam dan makan siang, Catherine membuka ponselnya, siap berbagi cerita lewat WhatsApp.
Namun, alih-alih menemukan pesan dari Naufal seperti biasanya, yang muncul di notifikasi justru pesan dari Akbar. Catherine sempat terdiam, hatinya berdebar sedikit tak nyaman. Dia tahu belakangan ini Akbar lebih sering mendekatinya di sekolah, tapi dia tidak menyangka Akbar akan mencoba menghubunginya di luar jam sekolah.
Pesan itu sederhana, tapi cukup membuat Catherine merasa aneh:
"Capek nggak, Cat, habis sekolah? Jangan lupa istirahat ya."
Catherine menghela napas panjang, mencoba mengabaikan perasaan gugup yang tiba-tiba muncul. Dia memutuskan untuk membalas dengan nada netral, berusaha tidak terlalu memancing perhatian.
"Capek sih, tapi biasa aja. Makasih ya."
Namun, Akbar sepertinya tidak mau berhenti di situ. Balasannya muncul dengan cepat.
"Cuma capek? Kalau aku sih capeknya mikirin kamu terus, hahaha."
Catherine membaca pesan itu dengan mata membelalak. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tidak tahu harus merasa apa—kesal, bingung, atau malah sedikit takut. Ini bukan pertama kalinya Akbar membuatnya merasa tidak nyaman dengan godaannya. Dia bergegas mengetik balasan, berharap bisa menghentikan percakapan ini.
"Udah, Akbar. Jangan bercanda kayak gitu. Aneh."
Namun, Akbar tidak menyerah.
"Aneh kenapa? Aku serius, kok. Kamu tuh sekarang beda, Cat. Makin cantik aja. Jadi kepikiran terus deh."
Catherine menutup ponselnya dengan cepat, merasa tidak nyaman. Dia tidak ingin memikirkan ini lebih jauh, tetapi godaan Akbar membuat pikirannya terusik. Dia langsung membuka chat dengan Naufal, mencari ketenangan dari sahabat yang selalu mendukungnya.
"Naufal, aku nggak tahu harus gimana. Akbar nge-chat aku terus, ngegodain pula. Aku nggak nyaman."
Balasan dari Naufal muncul tak lama kemudian.
"Santai aja, Cat. Kalau dia ganggu banget, bilang aja langsung nggak suka. Kalau nggak, aku yang ngomong sama dia."
Catherine tersenyum kecil membaca pesan itu. Kehadiran Naufal memberinya rasa aman. Dia tahu Naufal selalu ada di sisinya, bahkan dalam situasi seperti ini.
"Makasih ya, Naufal. Aku nggak tahu harus gimana kalau nggak ada kamu."
Naufal menjawab dengan nada ringan.
"Udah tugas sahabat, kok. Tapi serius, kalau dia bikin kamu nggak nyaman lagi, bilang aja. Aku bantu handle."
Catherine merasa sedikit lega, meskipun pikirannya masih terusik oleh Akbar. Dia memutuskan untuk tidak membalas pesan Akbar lagi malam itu, berharap lelaki itu akan berhenti sendiri. Tapi di dalam hatinya, dia tahu ini belum berakhir. Akbar mulai menunjukkan perhatian yang lebih dari biasanya, dan Catherine merasa tidak siap menghadapi hal itu.
Godaan yang Tak Berhenti
Keesokan harinya, Akbar kembali mengirim pesan saat Catherine baru saja sampai di rumah. Kali ini lebih singkat, tetapi tetap membuat Catherine merasa tidak nyaman.
"Udah sampai rumah, Cat? Kalau iya, jangan lupa makan. Kamu jangan sakit, ya."
Catherine menghela napas panjang. Dia tahu Akbar hanya mencari alasan untuk menghubunginya, dan itu membuatnya semakin gelisah. Dia pun memilih untuk tidak membalas. Namun, jauh di dalam hatinya, Catherine tahu bahwa ini bukan akhir dari godaan Akbar. Lelaki itu sepertinya mulai menyimpan perasaan, meskipun Catherine tidak pernah memberi tanda bahwa dia tertarik.
Dukungan dari Naufal
Malam itu, Catherine kembali bercerita kepada Naufal tentang pesan-pesan Akbar.
"Naufal, aku takut dia beneran suka sama aku. Aku nggak tahu harus gimana. Aku udah nggak ada rasa sama dia, tapi dia kayak nggak ngerti."
Naufal membalas dengan cepat, menunjukkan betapa pedulinya dia.
"Kalau dia suka, itu urusan dia, Cat. Yang penting kamu tetap jadi diri sendiri. Kalau kamu nggak nyaman, bilang tegas aja. Aku yakin dia bakal ngerti kalau kamu jelas sama perasaanmu."
Catherine merasa lebih tenang setelah bicara dengan Naufal. Sahabatnya itu selalu tahu cara membuatnya merasa aman. Dia tahu, selama ada Naufal di sisinya, dia tidak perlu takut menghadapi Akbar atau siapa pun yang mencoba membuatnya merasa tidak nyaman.
Meskipun situasi dengan Akbar masih menggantung, Catherine merasa lebih kuat. Dia tahu, dengan keberanian dan dukungan dari Naufal, dia bisa menghadapi apa pun yang datang.
Catherine Bingung dengan Perasaannya
Malam itu, Catherine duduk termenung di kamarnya, memeluk bantal dengan erat. Air mata mengalir di pipinya tanpa henti. Pikirannya penuh dengan keraguan dan kebingungan. Sudah beberapa minggu ini, Akbar semakin sering mendekatinya. Di kelas, di kantin, bahkan saat kegiatan bersama teman-teman, Akbar selalu mencari cara untuk berada di dekatnya. Awalnya, Catherine mengabaikan hal itu, berpikir mungkin dia hanya merasa bersalah atas apa yang terjadi di masa lalu. Namun, lama-kelamaan, perhatian Akbar terasa berbeda.
"Apa dia... suka sama aku?" bisik Catherine pada dirinya sendiri, matanya mulai memerah karena tangis.
Namun, setiap kali Akbar mendekat, Catherine merasa ada sesuatu yang menahan dirinya. Bukan hanya karena kenangan masa lalu yang masih membekas, tetapi juga karena perasaan takut yang tidak bisa dia jelaskan. Dia takut kecewa lagi, takut terluka seperti sebelumnya.
Dengan tangan gemetar, Catherine meraih ponselnya dan menelepon Naufal, sahabatnya yang selalu bisa diandalkan. Naufal adalah orang yang selalu membuatnya merasa tenang. Apa pun masalahnya, dia tahu Naufal akan mendengarkan tanpa menghakimi.
"Hallo?" suara Naufal terdengar di seberang.
Catherine mencoba berbicara, tetapi suaranya pecah. "Naufal... aku nggak tahu harus gimana. Akbar deketin aku terus, dan... aku takut."
Naufal terdiam sejenak, mencoba memahami situasi. "Cat, kenapa kamu takut? Kalau dia cuma mau minta maaf, kenapa nggak dengerin aja?"
"Bukan itu, Naufal!" Catherine hampir berteriak. "Aku rasa... dia suka sama aku. Tapi aku nggak tahu gimana harus ngadepinnya. Aku... aku nggak bisa."
Naufal menghela napas panjang. "Cat, tenang dulu. Aku ngerti kenapa kamu takut. Kamu masih inget apa yang dia lakuin dulu, kan? Tapi coba pikirin, apa kamu bener-bener nggak punya perasaan apa-apa buat dia?"
Pertanyaan itu membuat Catherine semakin bingung. Dia menunduk, menahan isakan yang semakin kuat. "Aku nggak tahu, Naufal. Kadang aku mikir... mungkin aku juga suka sama dia. Tapi aku takut semua ini cuma bohong. Aku takut dia cuma main-main."
"Cat," Naufal berkata dengan lembut, "kalau kamu suka sama dia, itu bukan salah kamu. Kamu berhak ngerasain perasaan itu. Tapi, kamu juga punya hak buat hati-hati. Kalau kamu nggak siap, bilang aja ke dia. Jangan biarin dia bikin kamu ngerasa tertekan."
Catherine terdiam, mencoba menyerap kata-kata Naufal. "Tapi, Naufal... gimana kalau aku cuma bikin semuanya lebih rumit? Aku nggak mau kehilangan semuanya."
"Kamu nggak akan kehilangan apa-apa, Cat," jawab Naufal tegas. "Kamu yang pegang kendali. Kalau kamu nggak siap, nggak apa-apa kok. Tapi kalau kamu beneran suka sama dia, kasih dia kesempatan buat buktiin kalau dia berubah."
Malam itu, setelah menutup telepon dengan Naufal, Catherine merasa sedikit lebih tenang. Tapi hatinya tetap penuh dengan keraguan. Dia tahu dia harus mengambil keputusan, tetapi keputusan itu terasa begitu berat.
Satu hal yang Catherine tahu pasti: dia masih punya Naufal, sahabat yang selalu mendukungnya tanpa syarat. Itu cukup untuk membuatnya bertahan menghadapi kebingungan ini, setidaknya untuk saat ini.
Keesokan harinya, Catherine dan Naufal sedang duduk di taman sekolah, menikmati obrolan ringan seperti biasa. Naufal, sahabat yang selalu bisa membuat Catherine nyaman, sedang bercerita tentang pertandingan basket yang akan datang. Catherine tertawa kecil mendengar antusiasme Naufal, merasa senang bisa melupakan kekhawatirannya meski hanya sebentar.
Namun, suasana berubah saat Catherine melihat Akbar berjalan mendekati mereka dengan senyum yang sedikit menggoda. Hatinya langsung berdebar, bukan karena suka, tetapi lebih karena rasa canggung yang akhir-akhir ini terus muncul setiap kali Akbar ada di dekatnya. Sejak perubahan Catherine yang begitu mencolok, Akbar memang sering mencoba mendekatinya. Hal itu membuat Catherine merasa tidak nyaman, terutama karena dia tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan Akbar.
“Hei, Catherine. Naufal,” sapa Akbar sambil berdiri di depan mereka.
Naufal mengangguk singkat, tetapi Catherine hanya menunduk, berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah.
“Apa kabar, Catherine? Sepertinya kamu makin sering terlihat bareng Naufal, ya?” tanya Akbar, nada suaranya terdengar seperti menggoda.
Catherine menelan ludah, merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Dia berusaha tetap tenang, tetapi sulit ketika tatapan Akbar terus tertuju padanya. Naufal, yang menyadari kegelisahan Catherine, mencoba mencairkan suasana.
“Akbar, kita lagi ngobrol santai, bro. Ada perlu sesuatu?” tanya Naufal dengan nada ringan, tetapi cukup untuk memberi sinyal agar Akbar tidak terlalu mengganggu.
Akbar tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Nggak, santai aja. Aku cuma mau ngobrol sama Catherine. Itu salah?”
Catherine semakin gugup, tangannya meremas ujung jaket yang dia pakai. “Aku... aku lagi sibuk, Akbar,” jawabnya pelan tanpa menatap langsung.
“Sibuk ngobrol sama Naufal, ya?” Akbar kembali menggoda, kali ini sambil sedikit mendekat. Catherine merasa ingin segera menghilang dari tempat itu.
Naufal, yang merasa Catherine semakin tidak nyaman, memutuskan untuk menghentikan obrolan itu. “Akbar, nanti aja kalau mau ngobrol sama Catherine. Dia butuh waktu juga buat santai, bro.”
Akbar terlihat sedikit terkejut, tetapi dia hanya tersenyum tipis. “Oke, oke. Aku nggak akan ganggu kalian lagi. Sampai ketemu nanti, Catherine.”
Setelah Akbar pergi, Catherine menghela napas panjang, merasa lega. Namun, rasa khawatir masih menghantui pikirannya. Dia menoleh ke arah Naufal, berharap sahabatnya tidak menyadari betapa gugupnya dia tadi.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Naufal sambil menatapnya dengan khawatir.
Catherine mengangguk pelan. “Aku cuma... nggak ngerti kenapa Akbar jadi sering deketin aku sekarang.”
Naufal tersenyum kecil, mencoba menenangkan Catherine. “Mungkin dia sadar kamu berubah, Cat. Tapi kamu nggak perlu takut. Kalau dia ganggu kamu, aku selalu ada buat kamu.”
Mendengar itu, Catherine merasa sedikit lebih tenang. Dia tahu bahwa Naufal adalah sahabat yang bisa dia andalkan dalam situasi apa pun. Meski masih ada kekhawatiran di hatinya tentang Akbar, Catherine merasa lebih siap menghadapi apa pun selama Naufal ada di sisinya.
Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Catherine merasa sedikit canggung ketika Naufal, sahabatnya, sibuk dengan kegiatan organisasi Pramuka. Biasanya, Naufal selalu menjadi pelindung tak resminya, seseorang yang membuat Catherine merasa nyaman dan aman di sekolah. Namun, hari ini berbeda. Ia harus pulang sendiri, tanpa Naufal di sisinya.
Saat Catherine berjalan menuju gerbang sekolah, langkahnya terhenti ketika sebuah suara familiar memanggilnya. "Catherine! Mau aku anter pulang?" tanya Akbar sambil tersenyum.
Catherine menoleh dengan kaget. "Nggak usah, Akbar. Aku bisa sendiri," jawabnya cepat, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba menyeruak.
Namun, Akbar tidak menyerah. "Kamu yakin? Jalan ke rumahmu kan lumayan jauh. Aku cuma mau bantu, kok. Aku nggak ada maksud lain," ucapnya dengan nada yang terdengar tulus, meski Catherine merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar niat baik.
Catherine menggigit bibirnya, mencoba mencari alasan. "Aku lebih suka jalan kaki. Lagian ini udah jadi kebiasaan aku," katanya, berusaha terdengar santai. Tapi dalam hati, Catherine merasa takut. Bukan takut pada Akbar secara langsung, melainkan takut pada apa yang sedang dirasakannya.
Akbar menatap Catherine dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Oke, kalau itu maumu," katanya akhirnya. Namun, sebelum pergi, ia menambahkan, "Kalau kamu berubah pikiran, kamu tahu aku selalu ada."
Catherine mengangguk cepat, lalu mempercepat langkahnya menuju jalan utama. Saat ia berjalan, pikirannya dipenuhi berbagai hal. Akbar memang sudah berubah sejak putus dengan Theresia, menjadi lebih perhatian dan sopan. Tapi perhatian yang ditunjukkan Akbar belakangan ini membuat Catherine bingung.
"Apa mungkin... dia mulai bener-bener menyukaiku?" gumam Catherine pelan, merasa dadanya berdebar kencang. Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. "Nggak mungkin. Dia cuma baik, itu aja," katanya meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, setiap kali Catherine mengingat cara Akbar menatapnya—tatapan yang seolah penuh dengan perasaan yang dalam—ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ada kemungkinan bahwa perasaan Akbar sudah berubah.
Meskipun begitu, Catherine tidak tahu harus berbuat apa. Ia masih merasa canggung dan takut membuka hatinya kembali, terutama karena bayang-bayang masa lalu mereka masih membayangi.
Ketika sampai di rumah, Catherine langsung menghubungi Naufal melalui pesan singkat. "Aku pulang sendiri tadi. Kamu nggak apa-apa kan sibuk terus? Aku ngerti kok."
Balasan Naufal datang cepat. "Sorry, Cat. Aku tadi lagi rapat sama anak-anak Pramuka. Tapi aku bakal sempatin waktu buat kamu besok. Kamu oke-oke aja, kan?"
Catherine tersenyum kecil. Naufal memang selalu tahu cara membuatnya merasa lebih baik. "Aku oke kok. Jangan khawatir," balasnya.
Namun, di dalam hatinya, Catherine tahu bahwa ada sesuatu yang belum selesai. Ia harus menghadapi perasaannya sendiri, baik tentang Akbar maupun tentang dirinya sendiri. Apakah ia benar-benar sudah siap untuk mencintai lagi? Atau haruskah ia terus melangkah tanpa memikirkan hal-hal yang bisa mengganggu fokusnya?
Pertanyaan itu terus menghantui Catherine sepanjang malam...
Malam itu, setelah Catherine menyelesaikan mengulang pelajaran untuk ujian yang akan datang, dia merasa sedikit lelah. Namun, dia tahu bahwa belajar dengan tekun adalah salah satu cara untuk mewujudkan impian-impian besarnya. Dia duduk di meja belajarnya, membuka ponsel untuk mengecek pesan, dan matanya tertuju pada notifikasi WhatsApp dari Akbar.
"Hey, Cat! Lagi ngapain?" pesan Akbar muncul di layar. Catherine merasa sedikit canggung membaca pesan itu. Dia sudah lama tidak berkomunikasi secara intens dengan Akbar, dan akhir-akhir ini, Akbar tampaknya semakin sering menghubunginya.
Catherine membalas dengan singkat, mencoba menjaga percakapan tetap ringan. "Lagi belajar, nih. Kamu gimana?"
Akbar, yang sepertinya tidak sabar untuk berbicara lebih banyak, langsung merespon. "Aku juga lagi santai aja. Tapi aku udah kangen sama kamu, Cat. Sejak terakhir kita ngobrol, aku jadi mikirin kamu terus."
Mendengar kata-kata itu, Catherine merasa sedikit terkejut. Bagaimana bisa Akbar, yang dulu sempat meninggalkannya dan berhubungan dengan Theresia, tiba-tiba berkata seperti itu? Tidak tahu harus bagaimana, Catherine mencoba untuk tetap tenang.
"Kangen? Kita kan udh sering ngobrol sekarang," balas Catherine dengan nada sedikit skeptis. Dia masih belum yakin dengan perasaan Akbar dan merasa cemas jika perasaan itu hanya sebatas perasaan sesaat.
Akbar sepertinya tidak ingin berhenti di situ. "Iya, aku tahu. Tapi aku merasa ada yang beda. Sejak kita mulai ngobrol lagi, aku merasa ada yang hilang kalau nggak ngobrol sama kamu."
Catherine terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Akbar. Di satu sisi, dia merasa senang karena akhirnya Akbar mulai melihatnya dengan cara yang berbeda, tapi di sisi lain, dia merasa tidak nyaman dengan intensitas pesan-pesan yang semakin sering datang.
Di sisi lain, Catherine merasa semakin dekat dengan Naufal. Mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama selama liburan panjang ini, dan Catherine merasa nyaman berbicara dengan Naufal tentang segala hal. Naufal selalu bisa membuatnya tertawa dan merasa ringan, dan itu adalah sesuatu yang Catherine hargai lebih dari apa pun.
Namun, di sisi lain, Akbar terus berusaha mendekat. Malam itu, setelah Catherine membalas pesan Akbar, dia merasakan ketegangan di dalam hatinya. Apa yang sebenarnya diinginkan Akbar? Apakah perasaan itu tulus, atau hanya sebuah keinginan untuk kembali dekat tanpa ada tujuan jelas?
Akbar kembali mengirim pesan, kali ini dengan nada yang lebih personal. "Aku nggak tahu gimana caranya, Cat. Tapi aku rasa, kita bisa lebih dekat lagi. Kalau kamu mau, aku pengen jadi lebih dari sekadar teman."
Catherine merasa jantungnya berdebar. Bagaimana dia harus merespon ini? Dia tidak ingin membuat Akbar merasa ditolak, tetapi dia juga tidak ingin mengulang kesalahan masa lalu. Akhirnya, Catherine memutuskan untuk tidak langsung menjawab pesan itu. Dia butuh waktu untuk berpikir.
Dengan tangan gemetar, Catherine menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap langit malam melalui jendela kamarnya. "Kenapa harus sekarang?" pikirnya dalam hati. Dia merasa bingung dan takut jika hubungan ini akan mengarah ke tempat yang tidak dia inginkan.
"Haruskah aku memberi kesempatan lagi? Atau tetap bertahan dengan Naufal, yang selalu ada untukku tanpa perlu aku ragu?" Catherine bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan ini dalam pikirannya, berharap suatu saat nanti dia akan mendapatkan jawaban yang tepat.