Sepasang Suami Istri Alan dan Anna yang awal nya Harmonis seketika berubah menjadi tidak harmonis, karena mereka berdua berbeda komitmen, Alan yang sejak awal ingin memiliki anak tapi berbading terbalik dengan Anna yang ingin Fokus dulu di karir, sehingga ini menjadi titik awal kehancuran pernikahan mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan yang Terpaksa
Hari-hari berlalu setelah keputusan besar yang diambil oleh Anna. Setiap pagi, ia merasa seakan dirinya lahir kembali, meskipun hatinya tetap terasa penuh dengan rasa sakit dan keraguan. Dia tahu bahwa ia telah memilih untuk pergi, untuk melangkah menjauh dari Alan dan hubungan yang selama ini telah menyiksa batinnya. Namun, meskipun begitu, keputusan itu tidaklah mudah. Setiap malam, pikirannya dipenuhi dengan bayang-bayang kenangan bersama Alan, dan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Tapi ia tahu, meskipun hatinya berat, ini adalah hal yang terbaik untuknya.
Anna memutuskan untuk tinggal di apartemen yang lebih kecil, lebih tenang. Meninggalkan rumah yang dulu penuh dengan kenangan bersama Alan, rumah yang kini terasa asing dan penuh luka. Dia ingin memulai kembali, meskipun perasaan takut dan cemas sering kali datang menghampiri. Namun, ia bertekad untuk bertahan. Ia tahu, jika ia tidak bergerak maju, hidupnya akan terus terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu.
Di apartemen barunya, Anna mulai menyusun hidupnya kembali. Hari-hari pertama penuh dengan kebingungan, tetapi seiring berjalannya waktu, dia mulai merasa sedikit lebih tenang. Ia mulai bekerja lebih keras di kantor, fokus pada karir yang sudah lama ia tinggalkan demi hubungan yang kini hancur. Terkadang, ia merasakan kekosongan yang dalam, terutama di malam hari ketika semuanya terlalu sunyi. Tetapi di luar itu, ia merasa lebih bebas—meskipun rasa takut dan kesepian masih menghantui setiap sudut hatinya.
---
Kehadiran Alan yang Tak Diundang
Suatu hari, setelah Anna pulang dari kantor, ia terkejut melihat seseorang berdiri di depan pintu apartemennya. Alan. Wajahnya terlihat lebih lelah dan kusut daripada yang ia ingat. Mata Alan menyiratkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang penuh dengan penyesalan. Anna berhenti sejenak, seolah bingung apakah harus membuka pintu atau tidak. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa pertemuan ini tak bisa dielakkan.
“Anna...,” suara Alan terdengar serak, seperti seseorang yang telah kehabisan kata-kata.
Anna menatapnya, tubuhnya kaku, terdiam sejenak sebelum akhirnya membuka pintu. “Masuk,” kata Anna pelan, meskipun perasaan yang berkecamuk di dadanya seolah tak bisa dipahami.
Alan masuk dengan langkah yang lambat, menyusuri ruang tamu kecil Anna. Ia tampak seperti orang yang baru saja dihantam badai, fisik dan mentalnya begitu terkuras.
“Aku... aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar,” kata Alan, suaranya patah-patah. “Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu, Anna. Aku tahu aku telah berbuat salah, tapi aku tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.”
Anna menatapnya, matanya penuh dengan keraguan. “Aku tidak tahu apa yang ingin kamu bicarakan, Alan,” jawabnya dengan suara datar. “Apa yang sudah terjadi, itu sudah terjadi. Kamu tidak bisa mengubahnya.”
Alan terdiam, menggigit bibirnya. Ada rasa sakit yang mendalam di matanya, seakan ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu tidak mampu keluar.
“Aku mencintaimu, Anna. Aku tidak bisa hidup tanpamu,” kata Alan akhirnya, dengan nada yang penuh harapan.
Anna memejamkan matanya sejenak. Begitu banyak rasa yang tumpah dalam dadanya—rasa marah, rasa terluka, rasa takut, dan rasa cinta yang seolah tak bisa ia lepaskan begitu saja. Tapi ia tahu, bahwa apapun yang dikatakan Alan, itu tidak akan mengubah kenyataan yang ada. Dia sudah terlalu banyak disakiti.
“Kamu... kamu sudah membuat keputusan sendiri, Alan,” kata Anna, suaranya nyaris tak terdengar. “Kamu sudah memilih jalanmu, dan aku... aku memilih untuk pergi.”
“Anna, tolong jangan tinggalkan aku. Aku sudah berubah. Aku berjanji akan menjadi suami yang lebih baik. Tolong beri aku kesempatan,” Alan meraih tangan Anna, memohon dengan nada yang penuh keputusasaan.
Anna menarik tangannya dengan pelan, menatap Alan dengan tatapan yang penuh dengan kebingungannya sendiri. “Aku... aku sudah terlalu lelah, Alan,” jawabnya, dengan suara yang gemetar. “Aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan seperti ini. Aku sudah terlalu banyak terluka.”
Alan terdiam. Di balik mata yang penuh dengan penyesalan, ada rasa takut yang begitu mendalam. Ia tahu, Anna tidak akan mudah memaafkannya. Ia tahu bahwa semuanya sudah terlalu jauh. Namun, rasa cintanya pada Anna tetap kuat, meskipun ia tahu ia tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi.
“Aku tidak tahu bagaimana lagi harus meyakinkanmu, Anna,” kata Alan pelan. “Tapi aku... aku siap melakukan apapun untuk memperbaiki semuanya.”
Anna menatapnya dengan tatapan yang kosong. “Aku sudah tidak bisa lagi mempercayaimu, Alan. Kamu sudah membuatku meragukan segalanya.”
Dengan suara yang nyaris tidak terdengar, Alan berkata, “Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf atas semua yang telah aku lakukan. Aku hanya berharap... suatu hari nanti, kamu bisa memaafkanku.”
Anna menunduk, menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya. “Aku... aku berharap begitu, Alan. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu.”
---
Mencari Kekuatan dalam Diri
Hari-hari setelah pertemuan itu, Anna merasa lebih bingung dari sebelumnya. Meskipun ia tahu bahwa meninggalkan Alan adalah keputusan yang tepat, hatinya tetap merasa berat. Setiap malam, ia terbangun dari tidur dengan perasaan tercekik, seakan ada yang hilang. Ada kekosongan yang ia tak bisa penuhi, meskipun ia tahu bahwa hidupnya akan lebih baik tanpa Alan. Namun, ada bagian dari dirinya yang masih mencintainya—sebuah perasaan yang sulit dihilangkan begitu saja.
Anna berusaha untuk tetap tegar, meskipun perasaan itu terus menghantui setiap harinya. Ia terus fokus pada pekerjaannya, mencoba untuk mengalihkan perhatian dari segala yang terjadi. Namun, setiap kali melihat foto lama mereka berdua, perasaan itu kembali muncul. Kenangan indah bersama Alan terasa begitu dekat, namun juga begitu jauh.
Ia tahu bahwa untuk bisa melangkah maju, ia harus melepaskan semuanya—termasuk perasaan yang mengikatnya pada masa lalu. Namun, untuk melakukan itu, Anna harus menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri. Sebuah kekuatan yang akan membantunya melepaskan masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik.
Dan meskipun jalan itu penuh dengan kesedihan dan perjuangan, Anna tahu bahwa itu adalah jalan yang harus ia lalui.