Raka adalah seorang pemuda biasa yang bermimpi menemukan arti hidup dan cinta sejati. Namun, perjalanan hidupnya berbelok saat ia bertemu dengan sebuah dunia tersembunyi di balik mitos dan legenda di Indonesia. Di sebuah perjalanan ke sebuah desa terpencil di lereng gunung, ia bertemu dengan Amara, perempuan misterius dengan mata yang seakan memiliki segudang rahasia.
Di balik keindahan alam yang memukau, Raka menyadari bahwa dirinya telah terperangkap dalam konflik antara dunia nyata dan kekuatan supranatural yang melingkupi legenda Indonesia—tentang kekuatan harta karun kuno, jimat, serta takhayul yang selama ini dianggap mitos.
Dalam perjalanan ini, Raka harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk rasa cintanya yang tumbuh untuk Amara, sembari berjuang mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik cerita rakyat dan keajaiban yang mengikat mereka berdua. Akan tetapi, tidak semua yang bersembunyi bisa dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ihsan Fadil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Ritual yang Tak Terduga
Pulau itu tampak kecil dari kejauhan, tetapi semakin dekat mereka mendekat, semakin besar aura misterius yang terasa. Pepohonan lebat menghiasi garis pantainya, sementara kabut tipis menyelimuti bagian tengah pulau. Di tengah keheningan lautan, suara-suara aneh mulai terdengar, seperti bisikan angin yang membawa pesan dari dunia lain.
“Apa ini pulau yang dimaksud peta?” tanya Arjuna, memecah keheningan.
Amara mengangguk, matanya terpaku pada cahaya redup Kristal Penjaga di tangannya. "Ya, ini tempatnya. Tapi ada sesuatu yang... tidak biasa di sini."
“Kita tidak punya pilihan lain selain maju,” kata Raka sambil mendayung perahu menuju pantai.
Saat mereka tiba di pantai, suasana menjadi semakin ganjil. Pasir di pulau itu berwarna hitam pekat, seolah-olah terbakar oleh api yang sudah lama padam. Tidak ada jejak kehidupan di sekitar mereka, tidak ada burung, tidak ada suara hewan.
“Ini seperti tempat yang ditinggalkan,” gumam Amara sambil melangkah hati-hati.
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, Kristal Penjaga di tangan Amara tiba-tiba bersinar terang, menarik perhatian mereka ke arah hutan.
“Itu semacam... tanda,” kata Raka. “Sepertinya kita harus mengikuti arah itu.”
Jalan Menuju Hutan
Mereka melangkah masuk ke dalam hutan, mengikuti cahaya dari Kristal Penjaga. Pepohonan di sekeliling mereka menjulang tinggi, dengan akar-akar yang menjalar seperti ular di tanah. Suara-suara aneh mulai terdengar lagi, kali ini lebih jelas, seperti nyanyian yang datang dari berbagai arah.
“Apa kau dengar itu?” tanya Arjuna, menoleh ke arah Amara.
Amara mengangguk pelan. “Seperti nyanyian... atau mantra?”
Langkah mereka berhenti ketika mereka tiba di sebuah lingkaran batu besar di tengah hutan. Di tengah lingkaran itu terdapat altar batu, dengan ukiran kuno yang tidak dapat mereka pahami.
“Tempat ini... terasa seperti sesuatu yang penting,” kata Raka sambil menyentuh salah satu batu besar. “Lihat ukirannya. Sepertinya ini bagian dari suatu ritual.”
Amara mendekati altar dan mengeluarkan Kristal Penjaga. Saat dia mendekat, kristal itu bersinar lebih terang, seolah-olah merespons energi dari tempat tersebut.
Namun, sebelum mereka bisa menganalisis lebih jauh, tanah di bawah mereka mulai bergetar. Batu-batu besar di sekitar lingkaran mulai bercahaya, membentuk pola rumit yang menyerupai simbol kuno.
“Apa yang terjadi?” tanya Arjuna panik, menarik pedangnya.
“Tunggu! Jangan bergerak!” teriak Amara. “Aku rasa ini adalah bagian dari ritual kuno.”
Kemunculan Penjaga Ritual
Dari cahaya batu-batu itu, muncul sosok bayangan yang tinggi dan anggun. Sosok itu mengenakan jubah panjang dengan simbol-simbol kuno, dan matanya bersinar seperti bulan purnama.
“Manusia yang membawa Kristal Penjaga,” kata sosok itu dengan suara yang dalam dan bergema. “Apa tujuanmu di tempat suci ini?”
Amara melangkah maju, mencoba menenangkan dirinya. “Kami datang untuk mencari artefak kuno, bukan untuk menyalahgunakannya, tetapi untuk melindungi dunia dari kehancuran.”
Penjaga itu memandang mereka dengan tajam. “Banyak yang datang dengan alasan serupa. Tapi tidak semua memiliki hati yang murni. Untuk membuktikan niatmu, kau harus melalui ritual penyucian.”
“Ritual?” tanya Raka. “Apa yang harus kami lakukan?”
“Ritual ini akan menguji ketulusan hatimu, kekuatan jiwamu, dan keberanianmu menghadapi kegelapan. Jika kau gagal, tempat ini akan menjadi makam bagimu.”
Arjuna menggenggam pedangnya erat. “Kami tidak punya pilihan lain. Kami akan melakukannya.”
Penjaga itu mengangkat tangannya, dan lingkaran batu itu mulai bersinar lebih terang. “Bersiaplah. Ritual ini akan membawa kalian ke dalam dunia yang berbeda, dunia di mana pikiran dan jiwa kalian akan diuji.”
Dunia Ritual
Dalam sekejap, mereka merasa tubuh mereka ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Ketika mereka membuka mata, mereka mendapati diri mereka berada di tempat yang sama sekali berbeda. Hutan itu telah berubah menjadi padang pasir luas dengan langit merah darah.
“Apa ini?” tanya Raka, matanya menyapu sekeliling.
“Ini adalah dunia ritual,” jawab suara Penjaga yang bergema di udara. “Di sini, kalian akan menghadapi tiga ujian: ketulusan, keberanian, dan pengorbanan.”
Tanpa peringatan, tanah di bawah kaki mereka mulai terbelah, menciptakan jurang besar yang memisahkan mereka.
“Amara!” teriak Arjuna, tetapi Amara sudah hilang dari pandangannya.
Ujian Pertama: Ketulusan
Amara mendapati dirinya berdiri sendirian di sebuah ruangan besar yang penuh dengan cermin. Setiap cermin menunjukkan bayangan dirinya, tetapi setiap bayangan terlihat berbeda.
“Ketulusan hatimu akan diuji di sini,” kata suara Penjaga.
Amara melihat ke salah satu cermin dan melihat dirinya memegang artefak kuno, dengan ekspresi puas di wajahnya. “Apa ini?”
“Itu adalah bayangan ketakutanmu,” kata suara itu. “Ketakutan bahwa kau hanya ingin menggunakan artefak ini untuk kepentingan pribadi.”
Amara menggeleng. “Tidak! Aku tidak ingin itu!”
“Kalau begitu, buktikanlah. Hancurkan cermin itu dan hadapi bayanganmu.”
Dengan tangan gemetar, Amara mengangkat Kristal Penjaga dan menghancurkan cermin itu. Dari pecahan cermin itu muncul bayangan dirinya, tetapi dengan mata merah menyala.
“Kau tidak akan pernah cukup kuat untuk melindungi dunia,” kata bayangan itu. “Kau hanya seorang gadis yang dipenuhi rasa bersalah.”
Amara menutup matanya dan mengambil napas dalam-dalam. “Aku mungkin tidak sempurna, tetapi aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku akan melindungi dunia ini, apa pun yang terjadi.”
Cahaya dari Kristal Penjaga memancar, menghancurkan bayangan itu dan mengembalikan Amara ke tempat semula.
Ujian Kedua: Keberanian
Sementara itu, Arjuna berada di sebuah gua gelap yang penuh dengan suara mengerikan. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang menahannya.
“Ujian keberanianmu dimulai di sini,” kata suara Penjaga.
Arjuna terus berjalan, meskipun bayangan-bayangan besar mulai bermunculan di sekelilingnya. Bayangan itu menyerupai musuh-musuh yang pernah dihadapinya, tetapi jauh lebih besar dan menakutkan.
“Jika kau ingin melindungi mereka yang kau cintai, kau harus menghadapi rasa takutmu,” kata suara itu.
Dengan pedang di tangan, Arjuna melangkah maju, meskipun hatinya dipenuhi rasa takut. “Aku tidak akan lari. Aku akan melindungi mereka, apa pun yang terjadi.”
Satu per satu, bayangan itu mulai menghilang, meninggalkan Arjuna sendirian di gua itu.
Ujian Ketiga: Pengorbanan
Raka menemukan dirinya di sebuah padang luas dengan altar besar di tengahnya. Di atas altar itu terdapat sebuah artefak bercahaya.
“Ini adalah ujian terakhirmu,” kata suara Penjaga. “Untuk mendapatkan artefak ini, kau harus menyerahkan sesuatu yang berharga bagimu.”
Raka menatap artefak itu dengan bingung. “Apa yang harus aku korbankan?”
Sebuah bayangan muncul di depannya, menyerupai sosok yang sangat ia kenal. Bayangan itu berbicara dengan suara lembut. “Kau harus mengorbankan dendam yang selama ini kau simpan. Hanya dengan melepaskan rasa bencimu, kau bisa mendapatkan kekuatan sejati.”
Raka terdiam lama, tetapi akhirnya ia menundukkan kepala. “Aku akan melakukannya. Jika itu yang diperlukan untuk melindungi dunia ini, aku akan melepaskan dendamku.”
Saat ia mengucapkan kata-kata itu, artefak di altar bersinar terang, dan Raka merasa dadanya menjadi ringan, seolah-olah beban yang selama ini ia bawa telah hilang.
Kembali ke Dunia Nyata
Ketika ketiganya menyelesaikan ujian mereka, mereka kembali berdiri di lingkaran batu di hutan. Penjaga Ritual muncul kembali, kali ini dengan senyum lembut di wajahnya.
“Kalian telah membuktikan hati dan jiwa kalian,” katanya. “Artefak yang kalian cari ada di altar ini. Tetapi ingat, kekuatan sejati tidak berasal dari artefak ini, melainkan dari hati kalian sendiri.”
Dengan kata-kata itu, Penjaga menghilang, meninggalkan mereka bertiga dengan artefak kuno yang bersinar di tengah altar.
“Ini belum selesai,” kata Amara sambil memegang artefak itu. “Ini baru permulaan.”
Mereka bertiga saling memandang, menyadari bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi mereka telah tumbuh lebih kuat dan lebih yakin akan tujuan mereka. Dengan artefak di tangan, mereka bersiap menghadapi tantangan berikutnya yang sudah menanti.