"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HARI YANG DI RAHASIAKAN
Pagi itu terasa sepi, seolah seluruh dunia sedang menahan napas. Langit berwarna kelabu, dan angin lembut yang biasa menemani pagi Zilfi tampak lebih dingin dari biasanya. Di kamar kecilnya, Zilfi mengemas barang-barangnya dengan hati yang berat. Ia tahu hari ini akan mengubah segalanya. Bukan hanya soal meninggalkan rumah, tapi juga soal meninggalkan sebagian dari dirinya yang masih ingin tetap berada di dekat ibunya.
Keputusan ini bukan miliknya sepenuhnya. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi merasa seolah hidupnya terbelah menjadi dua, seperti rumah yang ia tinggalkan saat tinggal bersama ibunya, Farah. Kini, ia berada di rumah kecil yang hanya dihuni dirinya,ayah nya dan ibu tirinya.
Keputusan untuk mengirim Zilfi ke asrama datang dari ayahnya—sebuah keputusan yang dibuat tanpa konsultasi atau persetujuan dari Farah. Pertengkaran panjang tentang perceraian dan siapa yang memiliki hak atas masa depan Zilfi selalu menjadi topik utama setiap kali kedua orang tuanya berbicara. Keputusan ini menjadi solusi Falah untuk membentuk kedisiplinan yang menurutnya hilang sejak Zilfi tinggal bersama ibunya. Yang lebih berat lagi, Falah memaksa Zilfi untuk merahasiakan ini dari ibunya.
Dengan koper yang sudah penuh, Zilfi memandang kamar yang telah ia tinggali selama beberapa bulan terakhir. Tidak ada yang tampak berbeda, namun ada rasa hampa yang menyelimuti ruangan. Di dinding, ada beberapa foto dirinya bersama ibunya. Foto-foto yang menyimpan kenangan kebahagiaan yang kini tampak jauh dan tak terjangkau. Sejak perceraian itu, Zilfi merasa seperti hidup di dua dunia yang saling bertolak belakang.
"Zilfi, sudah siap?" Suara ayahnya terdengar dari luar kamar.
Zilfi menghela napas panjang, mengambil koper dan tas ranselnya, lalu berjalan keluar dengan langkah pelan. Setiap langkah terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menghimpitnya. Ketika sampai di ruang tamu, ayah dan ibu tirinya sudah menunggu dengan ekspresi datar, seperti biasa. Tanpa banyak kata, mereka menuju mobil.
Perjalanan ke asrama itu berlangsung dalam keheningan. Zilfi memandangi jalan-jalan yang mereka lewati, jalan-jalan yang biasa ia lewati bersama ibunya menuju sekolah atau sekadar jalan-jalan sore. Sekarang, semuanya terasa jauh. Ayahnya tidak mengatakan apa pun selama perjalanan, dan Zilfi merasa lebih terasing dari sebelumnya. Pikirannya terus melayang ke wajah ibunya, yang tidak tahu apa pun tentang kepergian ini. Bagaimana jika ibunya tahu? Bagaimana jika ia menghubungi dan mendapati Zilfi tidak ada di rumah?
Sejenak, Zilfi merasa ingin menangis, tetapi ia menahannya. Sudah terlalu banyak air mata yang ia keluarkan selama bulan-bulan terakhir, dan menangis tidak akan mengubah apa pun.
Setelah beberapa jam, mereka tiba di depan bangunan yang sederhana dan terasa dingin—sebuah asrama yang terletak di daerah perkampungan yang tenang. Suasananya jauh berbeda dari hiruk-pikuk kehidupan perkotaan yang biasa Zilfi kenal. Tempat itu terasa asing dan sunyi, seperti tempat yang terpisah dari kenyataan hidup yang selama ini Zilfi jalani.
“Ayo, keluar,” kata Falah sambil membuka pintu mobil.
Zilfi keluar dari mobil dengan canggung, melihat sekelilingnya. Beberapa santri lain tampak berkumpul bersama orang tua mereka di dekat pintu gerbang asrama, sebagian tampak gugup seperti dirinya, sementara yang lain sudah tampak akrab dengan tempat itu.
Mereka berjalan menuju pintu gerbang, di mana seorang petugas asrama menyambut mereka dengan senyum ramah. “Selamat datang di asrama,” katanya. “Kami sudah menyiapkan kamar untuk Zilfi.”
Zilfi mengangguk kecil, merasa ada kekosongan dalam senyuman petugas itu. Ayahnya berbicara dengan petugas sejenak, sementara Zilfi hanya berdiri di samping koper-kopernya, merasa seperti penonton di panggung kehidupannya sendiri. Setiap detik yang berlalu hanya mempertegas betapa asing dan jauh ia kini dari dunia yang dulu ia kenal.
Setelah selesai berbicara, Falah menoleh ke arah Zilfi. “Ini akan menjadi tempatmu sekarang, Zilfi. Ayah yakin ini keputusan yang terbaik. Kamu harus disiplin dan belajar hidup mandiri di sini. Ingat, jangan beri tahu Ibu. Ini lebih baik untuk kita semua.”
Zilfi mengangguk, meskipun dalam hatinya ia ingin berteriak. Ingin menghubungi ibunya saat itu juga, ingin mengatakan segalanya, tetapi suara ayahnya yang dingin selalu membekukan keberaniannya.
"Ayah dan ibu akan pulang sekarang," ujar Falah, memberikan pelukan kaku yang cepat. “Jaga dirimu baik-baik.”
Tanpa menunggu jawaban, Falah berbalik dan berjalan pergi. Zilfi hanya bisa berdiri di tempatnya, menatap punggung ayahnya yang menjauh hingga hilang dari pandangan. Ada rasa campur aduk dalam hatinya—perasaan kehilangan, marah, dan kebingungan yang terus berputar tanpa jawaban.