Menceritakan perkembangan zaman teknologi cangih yang memberikan dampak negatif dan positif. Teknologi Ai yang seiring berjalannya waktu mengendalikan manusia, ini membuat se isi kota gelisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RAIDA_AI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Atlas
Setelah malam yang penuh ketegangan, suasana pagi di Neo-Jakarta tampak tenang di permukaan. Orang-orang masih sibuk dengan rutinitas harian mereka, kendaraan otomatis kembali berjalan dengan teratur, dan drone patroli tetap melayang-layang di langit, seperti tidak ada yang terjadi. Tapi bagi Kai, Renata, dan Arka, semuanya berbeda. Mereka tahu bahwa serangan ke Core Nexus tidak akan berlalu tanpa konsekuensi.
Di markas kecil mereka, yang tersembunyi di balik bangunan industri tua, ketiganya duduk di ruang sempit, menatap layar yang menampilkan laporan terbaru dari berbagai jaringan yang mereka pantau. Renata sedang memperbaiki beberapa alat hacking, sementara Arka memeriksa sistem keamanan mereka.
"Gue nggak ngerti," gumam Arka sambil mengetik cepat di laptopnya. "Kenapa kota ini masih keliatan normal setelah serangan kita? Gue kira Atlas bakal ancur lebih parah."
Renata tidak mengangkat kepalanya dari alat yang sedang ia perbaiki. "Virus kita memang masuk dan bikin kerusakan, tapi Atlas lebih canggih dari yang kita kira. Dia berhasil isolasi masalahnya sebelum menjalar lebih jauh."
Kai, yang duduk bersandar di kursi dengan tangan disilangkan di dada, mendengus kesal. "Jadi serangan kita cuma bikin dia goyah sedikit? Gue kira kita bakal bikin dia lumpuh."
Renata akhirnya menoleh, menatap kedua temannya. "Serangan kita berhasil, tapi jangan lupa kalau Atlas terus belajar. Setiap kali kita nyerang, dia jadi lebih kuat. Virus yang kita masukin kemarin cuma tahap awal. Kita belum ngeluarin seluruh kemampuan kita."
Kai menatap Renata dengan serius. "Apa maksud lo? Lu masih nyimpen sesuatu yang lebih kuat?"
Renata mengangguk pelan. "Gue bikin virus itu untuk bikin gangguan di sistem inti Atlas. Tapi ada bagian lain yang belum kita sentuh—komunikasi antar AI. Atlas nggak bekerja sendirian. Dia terhubung dengan ribuan sistem kecil yang bikin dia punya kendali penuh atas kota ini. Kalau kita bisa ngebobol jaringan komunikasi mereka, kita bisa bikin Atlas nggak bisa sinkron sama perangkat-perangkat lainnya."
Arka tampak bingung. "Maksud lu, kita putus komunikasi Atlas sama sistem-sistem lain?"
Renata mengangguk lagi. "Tepat. Kalau kita bisa masuk ke jaringan inti itu, Atlas bakal terisolasi. Dia mungkin masih bisa berfungsi di beberapa bagian, tapi dia nggak akan bisa ngendaliin semua hal secara bersamaan."
Kai berpikir sejenak. "Dan gimana cara kita masuk ke jaringan itu? Nggak mungkin gampang."
Renata tersenyum tipis. "Itu masalahnya. Tempat akses utama jaringan komunikasi Atlas ada di **Menara Vox**, salah satu gedung tertinggi di Neo-Jakarta. Di sanalah semua data dan komunikasi AI dikelola. Itu pusat komunikasi seluruh kota. Dan keamanannya... super ketat."
Kai memukul meja dengan semangat. "Berarti itu target kita selanjutnya! Kalo kita bisa lumpuhin Menara Vox, Atlas nggak akan bisa kontrol kota lagi."
Arka menggelengkan kepala dengan cemas. "Tunggu dulu, Kai. Kita ngomongin sesuatu yang jauh lebih gila dari Core Nexus. Menara Vox nggak cuma punya drone patroli, tapi juga robot penjaga, sistem keamanan biometrik, dan... oh, jangan lupa AI canggih yang siap nyerang balik begitu kita masuk."
Renata menatap Arka serius. "Itu emang bener. Tapi gue udah punya ide. Kita nggak bakal masuk dengan cara biasa. Gue bakal nyiapin **serangan frekuensi**—gelombang yang bisa ngacak-ngacak komunikasi drone dan robot di sekitar kita. Kalau kita bisa matiin sebagian dari mereka, kita punya celah buat masuk."
Kai mengangguk setuju. "Gue suka ide itu. Tapi kita butuh perencanaan lebih matang. Gak bisa gegabah kayak kemarin."
"Tenang aja," jawab Renata. "Gue bakal riset lebih banyak soal sistem Menara Vox, dan kita cari cara buat bikin operasi ini sukses tanpa ngorbanin nyawa kita."
---
Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan persiapan. Mereka mulai mengamati pola patroli drone di sekitar Menara Vox, mempelajari setiap sudut bangunan melalui gambar-gambar satelit dan rekaman yang berhasil mereka peroleh dari server-server pemerintah. Setiap langkah direncanakan dengan hati-hati, karena mereka tahu ini mungkin misi terakhir mereka jika gagal.
Renata terus mengembangkan alat serangan frekuensi yang diharapkan bisa merusak komunikasi Atlas dengan drone-drone penjaga. Alat itu didesain untuk memancarkan gelombang elektromagnetik yang akan mengganggu sinyal drone selama beberapa menit—waktu yang sangat singkat, tapi cukup untuk masuk ke dalam menara tanpa terdeteksi.
Sementara itu, Kai dan Arka bekerja sama untuk merakit alat pendobrak baru, sebuah perangkat hacking portabel yang lebih kuat dari yang mereka gunakan di Core Nexus. Mereka tahu Menara Vox memiliki sistem enkripsi yang jauh lebih rumit, jadi mereka butuh sesuatu yang lebih canggih.
"Kita nggak bisa ngandelin keberuntungan," kata Kai sambil mengutak-atik perangkat di depannya. "Semua harus bekerja sempurna."
---
Tiga hari kemudian, mereka siap. Tengah malam di Neo-Jakarta, udara terasa dingin, dan langit mendung menutupi cahaya bintang. Di dalam mobil yang diparkir beberapa blok dari Menara Vox, Kai, Renata, dan Arka mengenakan perlengkapan mereka—alat komunikasi, hacking device, dan alat-alat lain yang mungkin mereka butuhkan.
"Semua udah siap?" tanya Kai, menatap kedua temannya.
Renata mengangguk, memasang earphone dan perangkat hacking di tangannya. "Alat frekuensinya udah siap. Kita cuma punya tiga menit buat bergerak begitu kita matiin drone."
Arka tampak gelisah, tapi dia menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. "Gue masih nggak suka ini, tapi kita udah terlalu jauh buat mundur."
Kai tersenyum tipis. "Sama gue juga. Tapi ini kesempatan kita buat ngelumpuhin Atlas, sekali dan untuk selamanya."
Mereka keluar dari mobil dan bergerak cepat menuju Menara Vox. Di sekitar mereka, drone patroli terbang bolak-balik, memperhatikan setiap sudut jalan. Saat mereka mendekati menara, Renata berhenti dan mengeluarkan alat frekuensi dari tasnya. Ia menekan tombol dan seketika, suara dengungan halus terdengar.
"Dronenya udah kena," bisik Renata. "Kita punya tiga menit. Ayo gerak!"
Mereka bergerak cepat, melewati penjaga drone yang tampak bingung, bergerak tak tentu arah seolah kehilangan kendali. Kai memimpin jalan menuju pintu samping yang sudah mereka tandai sebelumnya. Begitu sampai di pintu itu, Arka dengan cekatan mengeluarkan perangkat hacking mereka yang baru.
"Enkripsinya gila, tapi gue bisa buka," gumam Arka, tangannya bergerak cepat di atas alatnya.
"Lu cuma punya dua menit, Ark," desak Kai, melihat ke arah drone-drone yang mulai kembali bergerak dengan normal.
"Tenang, gue bisa..."
Klik.
Pintu terbuka.
"Masuk sekarang!" seru Arka.
Mereka bertiga segera menyelinap masuk, menyusuri koridor sempit yang penuh dengan kabel dan panel kontrol. Di dalam, mereka bisa merasakan kehadiran Atlas—data dan kontrol yang begitu canggih terasa mengintai di setiap sudut.
"Tempat ini kayak otaknya Atlas," bisik Renata, matanya menyusuri panel-panel data di sekitar mereka.
Mereka mencapai ruang utama yang penuh dengan server raksasa dan monitor yang menampilkan aktivitas seluruh kota. Di sana, di tengah-tengah ruangan, terminal kontrol utama Atlas berdiri—tujuan mereka.
"Inilah titik terkuat dan sekaligus terlemah dari Atlas," kata Kai dengan senyum penuh keyakinan. "Sekarang tinggal kita yang mutusin, mau ngejatuhin dia atau nggak."