Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baikan
***
Setelah membuatku bungkam dan nyaris tidak mampu berkutik, Mas Yaksa langsung memilih untuk pergi tidur tanpa berpamitan denganku. Bahkan ia juga memilih berbaring dengan posisi membelakangiku, tidak sampai di situ, saat aku bangun di pagi harinya, aku sudah tidak menemukan keberadaannya. Aku tidak tahu ia pergi kemana, yang jelas beberapa barangnya masih tertinggal di kamar, ponselnya pun masih tergeletak asal di atas meja. Tebakanku Mas Yaksa sedang menenangkan diri sebelum kembali melanjutkan obrolan kami semalam.
Aku tahu semalam Mas Yaksa sangat marah padaku, apalagi kala mengingat aku menuduhnya dengan dokter Ema padahal jelas-jelas di sini aku bersalah. Tapi aku seolah tidak mau disalahkan seorang diri.
Tak ingin terlalu ambil pusing, aku memilih untuk mandi dan menyegarkan diri. Aku butuh badan segar untuk menghadapi Mas Yaksa nanti. Bukan dalam konotasi yang negatif, hanya saja aku merasa kalau badanku masih gerah akan semakin terbawa emosi. Hal itu tidak boleh terjadi. Aku harus mengimbangi emosional Mas Yaksa yang lebih tenang. Kemungkinan aku akan mencarinya kalau seandainya aku selesai mandi dan Mas Yaksa belum kembali.
Selama menjalani pernikahan dengan Mas Yaksa, rasanya aku tidak pernah merasa selega ini kala melihat keberadaannya. Saat di kamar mandi tadi perasan takut saat keluar dari kamar mandi dan tidak menemukan Mas Yaksa terus menghantuiku. Tapi melihat keberadaannya sekarang, aku tidak bisa untuk tidak tersenyum senang melihatnya.
"Dari mana, Mas?" Aku bertanya dengan nada hati-hati, karena masih merasa canggung setelah kejadian tadi malam.
"Alin."
Ada perasaan kecewa saat mendengar Mas Yaksa menjawab super singkat. Ia bahkan tidak perlu repot-repot menoleh ke arahku, pandangan matanya masih sibuk pada layar ponselnya. Meski kecewa aku tetap tidak boleh protes.
"Alin nggak rewel kan?"
Mas Yaksa menjawab dengan gelengan kepala. "Tapi Javas nyariin kamu. Mama juga sempet nanyain kondisi kamu... Mama juga sempet mikir kalau kamu pingsan karena sedang mengandung dan kecapekan sama serangkaian acara kemarin."
Aku tidak mampu menyembunyikan wajah kagetku dengan penuturan Mas Yaksa barusan. Sebenarnya wajar kalau Mama berpikir demikian, bahkan Valley pun, itu karena mereka tidak mengetahui kondisi kami yang belum sejauh ini.
Kami memang lumayan sering berciuman dengan tangannya yang merembet kemana-mana, tapi selama ini hanya sebatas itu, kegiatan intim kami belum sampai pada tahap itu. Aku sendiri tidak mengerti dengan pengendalian Mas Yaksa yang luar biasa ini.
"Tapi enggak kan?"
"Maksudnya gimana, Mas?"
Aku menampilkan ekspresi tidak paham, meski sebenarnya otakku sudah bisa menebak maksud Mas Yaksa, tapi bisa kan kalau aku yang salah paham?
"Lupakan!"
Tanpa sadar aku tertawa sinis. Jadi benar apa yang sedang aku pikirkan barusan?
"Mas! Aku tahu yang salah di sini aku, aku bersikap nggak adil sebagai istri kamu tapi masih menaruh perasaan untuk pria lain. Aku nggak mengelak, Mas, tapi perasaan aku buat Galen udah nggak sama seperti dulu, aku hanya perlu waktu untuk benar-benar melupakan perasaan ini dan hanya fokus ke kamu. Tapi sikap kamu seakan nuduh aku hamil dengan pria lain gitu karena kita belum berhubungan badan? Kamu balas dendam, Mas?"
Kedua mataku sudah memerah karena menahan perih dan sesak di dada dituduh demikian. Apa ini yang disebut karma? Karena kemarin aku sempat menuduhnya dengan dokter Ema.
"Mas nggak sekanak-kanakan itu, Geya. Mas cuma nanya."
"Aku sama Galen bahkan terhitung baru ketemu tiga kali, itu pun termasuk kemarin."
"Maaf," ucap Mas Yaksa, yang entah kenapa terdengar tidak tulus.
Aku memilih memalingkan wajah, mencoba menghindari tatapan Mas Yaksa, yang sebenarnya saat ini pandangannya sedang tertuju pada hal lain. Tapi aku tetap tidak ingin menunjukkan wajah memerahku yang sedari tadi sedang kuusahakan agar tidak menangis, meski rasanya sulit.
"Mas bingung."
Setelah beberapa saat keheningan menyelimuti ruangan, akhirnya Mas Yaksa membuka suara. Aku menoleh ke arahnya, menunggunya melanjutkan kalimatnya.
"Mas pikir meski kita tidak saling cinta asal kita sama-sama mau berkomitmen, maka semua akan baik-baik saja, meski Mas tahu hal ini nggak akan mudah, tapi selagi kita masih saling percaya pada komitmen kita Mas optimis kita akan berhasil. Tapi saat masa lalu kamu hadir, kamu berbohong demi menemui dia, dan bahkan kamu menangisi pria lain di hari resepsi kita, bikin Mas sedikit pesimis. Pikiran kalau kamu akan ninggalin Mas demi pria itu terus muncul, Geya, dan Mas merasa nggak bisa menahan kamu. Sebelum hubungan kita semakin jauh Mas mau melepas kamu."
Aku menggeleng cepat. Perlahan aku langsung menghampirinya. "Mas, maaf karena aku udah ngerusak kepercayaan Mas Yaksa dengan bohong kalau aku ketemu Galen, tapi tolong, jangan lepasin aku, kamu punya hak buat nahan aku, Mas, karena aku istri kamu."
Mas Yaksa menghela napas. "Tapi kamu mencintai pria lain, Geya."
"Aku mau belajar mencintai kamu, Mas, aku bilang perasaan aku buat Galen udah nggak sama. Tolong percaya sama aku, kita sudah melangkah sampai sejauh ini, aku punya tanggung jawab untuk Alin, aku udah jadi ibu ASI dia, Mas, kamu tega pisahin kita? Hm?"
Kali ini Mas Yaksa memilih diam. Mungkin karena dia terlalu bingung harus merespon bagaimana.
"Mas, tolong lihat aku! Aku serius dengan perkataan aku."
"Boleh Mas cium kamu?"
Aku sedikit kaget dengan pertanyaannya, namun, aku berhasil menguasai diri tak lama setelahnya. Tanpa ragu, aku mengangguk cepat.
"Boleh, Mas," balasku yakin sambil tersenyum.
"Kenapa?"
Hah? Ini mau ciuman doang kenapa harus pake alasan? Apa sebenernya Mas Yaksa sedang mengetesku?
"Karena kamu punya hak untuk itu, Mas. Karena aku istri kamu dan kamu suami aku."
"Kalau bukan?"
"Tentu saja nggak boleh, Mas, yang boleh cium aku cuma suami aku dan itu kamu."
Kali ini sudut bibir Mas Yaksa membentuk senyuman meski tipis, sebelah tangannya terulur dan mengusap pipiku.
"Kamu cantik, Geya, harusnya kamu mendapatkan kebahagiaan kamu, bukannya terjebak sama Mas," bisiknya lalu mendekatkan wajahnya.
Telapak tangannya yang tadi mengusap pipiku kini berpisah pada leherku, bibirnya menempel pada bibirku. Benar-benar hanya menempel dan tidak ada pergerakan darinya. Aku sendiri dibuat bingung olehnya. Haruskah aku duluan yang memulai?
Di saat aku sedang sibuk dengan pikiranku, tiba-tiba aku mulai merasakan bibirku basah. Ternyata Mas Yaksa mulai menyesap bibirku, pelan dan lembut. Aku pun mulai membalasnya.
"Mas nggak akan ceraiin kamu," bisik Mas Yaksa setelah melepas ciuman kami.
Aku tersenyum lega setelahnya. Dibanding kehilangan Galen yang selama ini memang tidak pernah aku miliki, aku memang lebih takut kehilangan Mas Yaksa entah karena alasan apa.
To be continue,
komunikasi dewasa yg bisa merekatkan keduanya.... jaga yaa geya yg terbuka ...yeksa yg membimbing...
g enak banget ya..geya...dengernyaa
sabar yaa..
...ibu sedikit saja mengerti,memahami geya u bisa adaptasi dengan keadaannya... toh geya pada dasarnya anak penurut.