NovelToon NovelToon
Rockmantic Of Love

Rockmantic Of Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Wanita Karir
Popularitas:346
Nilai: 5
Nama Author: @Hartzelnut

Seorang laki laki yang bekerja produser musik yang memutuskan untuk berhenti dari dunia musik dan memilih untuk menjalani sisa hidupnya di negara asalnya. dalam perjalanan hidupnya, dia tidak sengaja bertemu dengan seorang perempuan yang merupakan seorang penyanyi. wanita tersebut berjuang untuk menjadi seorang diva namun tanpa skandal apapun. namun dalam perjalanannya dimendapatkan banyak masalah yang mengakibatkan dia harus bekerjasama dengan produser tersebut. diawal pertemuan mereka sesuatu fakta mengejutkan terjadi, serta kesalahpahaman yang terjadi dalam kebersamaan mereka. namun lambat laun, kebersamaan mereka menumbuhkan benih cinta dari dalam hati mereka. saat mereka mulai bersama, satu persatu fakta dari mereka terbongkar. apakah mereka akan bersama atau mereka akan berpisah??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Hartzelnut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ep. 6

*****

Pagi itu, Grey terbangun di tengah keheningan apartemennya. "Srek... srek..." Suara selimutnya terdengar pelan saat dia bangkit dari tempat tidur, memijakkan kakinya di lantai yang dingin. Huff... Napasnya terdengar berat ketika dia berjalan menuju kamar mandi. Di sana, ia membasuh wajahnya, air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sedikit kesegaran, namun tidak menghapus perasaan berat yang masih menyelimutinya. Ssshh... Suara air yang mengalir mengisi keheningan kamar mandi saat ia menatap cermin, wajahnya tetap datar seperti biasa.

Tanpa berkata apa-apa, Grey keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju dapur. "Tap... tap... tap..." Langkah kakinya yang mantap terdengar di lorong apartemen yang luas. Sesampainya di dapur, Grey melihat White sudah duduk di depan komputernya, sibuk mengetik sesuatu. "Klik... klik... klik..." Suara keyboard terdengar samar di tengah keheningan pagi itu.

Melihat Grey yang sudah bangun, White menoleh sambil tersenyum tipis. "Pagi, Bro. Tugasku sudah selesai ya.... Semua sudah beres," katanya dengan nada santai, berharap bisa mengawali percakapan.

Grey hanya menatap Jack sebentar sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke dapur, tidak memberikan reaksi yang signifikan. "Hmm..." gumamnya singkat, tangannya mulai meraih cangkir kopi dan bubuk kopi. "Srek... srek..." Jemarinya bergerak tenang, menyiapkan kopi tanpa banyak bicara.

White , yang terbiasa dengan sikap dingin Grey, tetap melanjutkan percakapannya. "Aku jadi sedih melihat komentar dari penggemar... Mereka bilang mereka akan sangat merindukan kita," lanjutnya dengan nada lebih emosional. Klik... klik... Jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja, menandakan kegelisahan yang ia rasakan.

Grey tetap tidak bereaksi, meskipun White berharap setidaknya ada sedikit tanggapan. "Bzzt... bzzt..." Mesin kopi mulai berderak ketika air panas mengalir, menghasilkan aroma kopi yang memenuhi ruangan. Grey hanya fokus pada aktivitasnya, menatap kosong saat menunggu kopinya siap.

White mencoba untuk tidak merasa terlalu tersinggung. "hmmmm... sebenarnya aku tidak yakin bisa mengurus ini sendiri tanpa kau. Kau tahu, kau adalah motornya," katanya sambil menghela napas kecil, berharap ucapannya bisa membuka sedikit emosi dari Grey.

Setelah kopi selesai, Grey mengambil dua cangkir, lalu berjalan mendekati White . "Tap... tap... tap..." Langkah kakinya terdengar mantap saat dia mendekat dan menaruh secangkir kopi di meja di samping White . "Minumlah, jack," ucap Grey datar, menyebut nama White yang jarang dia gunakan.

Jack, yang sedikit terkejut, menatap Grey dengan mata melebar. "Heh... Kau memanggilku Jack. Sudah lama sekali aku tak mendengar itu," katanya sambil tertawa kecil, mengangkat cangkir kopi yang diberikan Grey. "Srek..." Jemarinya yang hangat menggenggam cangkir itu, merasakan kehangatan yang menjalar di telapak tangannya.

Grey hanya diam, berjalan menuju jendela besar di apartemennya. "Sssst..." Tirai tipis yang menutupi jendela bergerak pelan, tertiup angin dari ventilasi. Dia menatap keluar, melihat pemandangan kota dari ketinggian. "Apa ini keputusan yang benar?" pikirnya dalam hati, meskipun wajahnya tetap tenang seperti biasa.

Jack menyeruput kopinya. "Slurp..." Suara minuman yang menghangatkan tenggorokannya terasa nyaman di pagi itu. "Kalau begitu, aku akan mulai memanggilmu Brian lagi. Sama seperti dulu," katanya dengan nada bercanda, mencoba mencairkan suasana.

Namun, seperti biasanya, Brian tidak merespons dengan antusias. Dia hanya menatap pemandangan di luar jendela, tetap tenggelam dalam pikirannya. Huff... Sebuah napas panjang keluar dari mulutnya, tapi tidak ada kata yang diucapkan.

Setelah beberapa saat, Jack berbicara lagi, kali ini dengan topik yang lebih serius. "Aku sudah mempersiapkan barang-barangku untuk dibawa ke China," katanya sambil melirik ke arah brian. "Kau sendiri bagaimana? Sudah menyiapkan barang-barangmu?"

Brian menoleh sebentar, lalu kembali menatap keluar jendela. "Barang-barangku sudah ada di China," jawabnya dingin, tanpa banyak penjelasan. Ssst... Angin lembut dari AC mengibaskan rambutnya sedikit, tapi dia tidak menghiraukannya.

Jack yang mendengar jawaban itu hanya bisa terkejut. "Apa? Sejak kapan?" tanyanya dengan nada bingung. "Kau bahkan tidak memberitahuku soal ini!"

Brian berbalik perlahan, menatap Jack dengan tenang sebelum menjawab. "beberapa minggu yang lalu," ucapnya dengan nada rendah, seperti berbicara tentang sesuatu yang biasa.

Jack menepuk dahinya dengan tangan. "Thud..." Suara pelan dari telapak tangannya terdengar, tanda frustrasi kecil yang bercampur heran. "Kau benar-benar sudah merencanakan semuanya dan aku tidak tahu apa-apa. Benar-benar Brian..." gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Jack mencoba memproses informasi itu sebentar sebelum bertanya lagi. "Jadi, kau tidak ada barang yang akan dibawa dari sini?" tanyanya, masih merasa sedikit heran.

Brian berjalan menuju komputernya, menyalakannya dan mulai mengumpulkan file-file penting. "Tidak ada," jawabnya singkat, sambil memasukkan beberapa memori ke dalam sebuah brankas kecil. 

Setelah selesai, Brian mengambil beberapa dokumen dan menyimpannya di brankas kecil di samping meja. "Srek..." Suara benda yang dimasukkan ke dalam brankas terdengar lembut sebelum ia menguncinya dan membawa brankas itu ke dalam kamarnya. "Klik..." Pintu kamarnya tertutup setelah dia menyimpan brankas tersebut.

Ketika Brian kembali, dia membawa sebuah tas ransel kecil. "Aku hanya membawa ini," katanya datar, menunjukkan tas kecil itu kepada Jack.

Jack yang melihat tas kecil itu tidak bisa menahan tawa. "Hahaha! Serius? Kau hanya membawa itu?!" tanyanya sambil terbahak-bahak. "Ini pasti lelucon."

Brian menatap Jack tanpa banyak bicara, lalu berbalik menuju dapur. "Aku butuh bantuanmu buat bawakan barang-barangku ke sana nanti," kata Jack sambil menyeringai, berharap ada sedikit tanggapan dari Brian. Namun, Brian hanya menggeleng tanpa emosi. "Bawa sendiri," balasnya singkat sambil mematikan peralatan dapurnya. Klik... klik...

Melihat Brian yang sudah mulai sibuk menutupi perabotan-perabotannya dengan kain, Jack akhirnya berdiri dan berjalan mendekat. "Baiklah." katanya dengan senyum lebar. Srek... srek... Suara kain yang dibentangkan di atas perabotan terdengar bersamaan dengan klik saat Brian mencabut steker dari dinding.

Saat mereka berdua sibuk merapikan dan menyiapkan apartemen untuk ditinggalkan, suasana terasa hening, namun penuh makna. Tap... tap... Langkah kaki mereka teratur di ruangan itu, setiap gerakan membawa mereka lebih dekat pada akhir dari babak hidup di apartemen itu, dan menuju awal yang baru di China.

*****

Natalia Lee dan Julia Wang masih terlelap di kamar Natalia, terbungkus dalam kehangatan selimut. "Srek... srek..." Suara lembut kain selimut bergesekan ketika mereka berdua bergerak dalam tidur. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah tirai menyinari kamar dengan lembut, namun belum cukup untuk membangunkan mereka.

Di luar, pintu apartemen terbuka. "Kreek..." Manajer Lu melangkah masuk dengan penuh energi. "Tap... tap... tap..." Suara langkah sepatunya menggema lembut di lantai kayu saat ia menuju kamar Natalia. Sesampainya di depan pintu kamar, ia langsung mengetuk keras. "Tok... tok... tok!" Seruan tegas keluar dari mulutnya, "Natalia! Julia! Bangun! Sudah siang!"

Namun, tidak ada respons dari dalam kamar. Keduanya masih terlelap, tidak terganggu sedikit pun oleh ketukan keras itu. "Huff..." Manajer Lu mendengus pelan, merasa sedikit kesal. "Dasar tidur seperti batu," gumamnya sambil membuka pintu kamar.

Manajer Lu mendekati tempat tidur dan tanpa basa-basi langsung mengguncang Natalia. "Bangun, Nat! Ayo!" katanya keras, menarik tubuh Natalia dengan kuat hingga dia terduduk di tempat tidur. "Srek..." Suara gesekan selimut membuat Natalia berguling dengan malas.

"Hah... apa?" gumam Natalia dengan suara serak, masih setengah sadar dan bingung.

"Bangun! Mandi sekarang! Aku sudah belikan sarapan," perintah Manajer Lu sambil menunjuk kamar mandi, suaranya tegas dan tanpa kompromi. Natalia hanya bisa mengangguk lemah, lalu menyeret tubuhnya yang masih mengantuk ke kamar mandi. "Srek... srek..." Langkahnya yang malas terdengar sepanjang jalan menuju kamar mandi, meninggalkan Julia yang masih tenggelam dalam tidurnya.

Beberapa menit kemudian, setelah Natalia selesai mandi, mereka berkumpul di meja makan. "Srek..." Kursi terdorong pelan ketika Natalia duduk, rambutnya masih basah dan wajahnya sedikit segar meski belum sepenuhnya terjaga. Manajer Lu sudah menyiapkan sarapan, dan mereka mulai makan bersama.

Saat mulai makan, Manajer Lu melirik ke arah Julia dan bertanya, "Jadi, Julia, kau hari ini tidak ada jadwal?"

Julia yang baru saja mengangkat sendoknya tersenyum lelah. "Untungnya tidak. Aku libur seminggu untuk beristirahat setelah tur yang sangat melelahkan," jawabnya. Huff... Julia menarik napas panjang, mencoba menikmati masa istirahat yang berharga.

Manajer Lu mengangguk. "Kau memang butuh itu, setelah tur panjang seperti itu."

Namun, obrolan bergeser ketika Manajer Lu tiba-tiba menatap Natalia dengan serius. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan dinner yang ditawarkan oleh Produser Zhang? Apakah sudah ada kabar?" tanyanya sambil mengunyah.

Mendengar pertanyaan itu, mata Julia melebar karena terkejut. "Tunggu, apa? Produser Zhang mengajakmu dinner?" tanyanya cepat, mengarahkan pandangannya ke Natalia.

Natalia mengangguk sambil meletakkan sendoknya. "Iya, dia mengundangku untuk makan malam, tapi... sampai sekarang belum ada pesan darinya. Sepertinya acara itu tidak jadi." Srek... Jemarinya mengusap pelan rambut yang masih basah, seolah menahan rasa bingung yang ia rasakan.

Manajer Lu, yang sudah memahami situasinya, mengangguk. "Mungkin ini ada hubungannya dengan Angelina. Aku rasa dia tidak setuju denganmu bergabung di Heaven Music," duga Manajer Lu dengan nada yang sudah terbiasa menghadapi drama industri.

Julia, yang sangat mengenal karakter Angelina, mendengus pelan. "Angelina memang wanita yang sangat jahat. Dia selalu mencoba menjatuhkan orang yang dianggapnya saingan," ucap Julia, suaranya terdengar penuh ketidakpuasan. Klik... klik... Julia mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya, menandakan rasa frustrasinya.

Namun, Natalia tetap tenang. "Aku rasa itu wajar. Heaven Music sudah punya Angelina, dan jika aku bergabung, pasti akan ada ketegangan. Lagipula, mungkin lebih baik jika aku tidak terlalu memaksakan diri di sana," katanya dengan nada datar, meski dalam hatinya ia masih meraba-raba perasaannya tentang hal ini. "Angelina memang memiliki hak untuk mempertahankan posisinya."

Julia mengangguk, menyadari bahwa Natalia benar. "Ya, aku juga bisa mengerti. Jika ada dua penyanyi dengan genre yang sama di satu label, salah satu dari mereka pasti akan jadi 'anak tiri'," tambah Julia sambil menyuap sarapannya.

Manajer Lu, yang paham tentang dinamika ini, menegaskan kembali, "Industri ini memang keras, dan persaingan selalu ada. Kau harus siap menghadapi itu, Nat."

Setelah percakapan itu, mereka melanjutkan makan dalam keheningan, hanya terdengar suara alat makan yang beradu dengan piring. "Srek... srek..." Natalia menggerakkan sendoknya perlahan, sambil berpikir lebih jauh tentang masa depannya di industri musik. Huff... Napasnya terdengar halus, tanda bahwa pikirannya mulai dipenuhi keraguan.

Beberapa saat kemudian, Natalia menoleh ke Julia. "Julia, apakah bandmu akan bergabung dengan major label?" tanyanya dengan rasa ingin tahu.

Julia menggeleng pelan. "Tidak untuk sekarang. Kami masih ingin mandiri. Aku dan anggota band lainnya punya kesibukan masing-masing, dan kami tidak ingin diatur-atur oleh label besar. Kami lebih suka mengerjakan segalanya sendiri," jawab Julia dengan mantap, wajahnya penuh ketenangan.

Manajer Lu menatap Natalia dengan tajam. "Nat, kau juga harus mulai mempertimbangkan tawaran-tawaran label yang ada. Kau tidak bisa terus berada dalam situasi ini tanpa keputusan."

Natalia mengangguk perlahan, meski wajahnya masih memancarkan keraguan. "Aku tahu... aku akan segera memutuskannya," jawabnya dengan suara pelan. "Tapi tidak mudah."

Setelah makan, Natalia dan Manajer Lu beranjak untuk bersiap pergi. "Ayo, kita harus berangkat sekarang," kata Manajer Lu sambil mengangkat tasnya dari kursi. Srek... srek... Suara langkah kaki mereka menggema di dalam apartemen ketika mereka bergerak menuju pintu.

Setelah memastikan semuanya siap, Natalia dan Manajer Lu keluar dari apartemen. "Klik..." Pintu tertutup perlahan di belakang mereka, dan mereka berdua berjalan menuju lift. "Ding..." Pintu lift terbuka, dan mereka masuk bersama, menunggu lift membawa mereka ke basement. Ssst... Suara lift turun perlahan, membawa mereka ke bawah.

Sesampainya di basement, mereka langsung menuju mobil yang sudah terparkir. Klik... Pintu mobil terbuka, dan Manajer Lu duduk di kursi pengemudi, sementara Natalia duduk di kursi belakang. "Vroom..." Suara mesin mobil menyala lembut saat mereka mulai bergerak menuju tempat pemotretan. Ssst... Angin dari AC menyapu lembut wajah Natalia, menenangkan pikirannya yang penuh pertimbangan.

Natalia menatap keluar jendela, matanya menelusuri pemandangan kota yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. "Apa aku benar-benar siap untuk langkah besar berikutnya?" pikirnya dalam hati. Huff... Suara napasnya terdengar lagi, namun kali ini lebih dalam, seolah-olah ia sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri akan keputusan yang harus segera diambil.

*****

1
Jennifer Impas
Bikin ketawa ngakak. 🤣
hartzelnut: Terima kasih telah membaca novelku. jangan lupa episode selanjutnya ya /Smile//Smile/
total 1 replies
Kei Kurono
Thor, aku butuh fix dari obat ketagihan ceritamu! 🤤
hartzelnut: terima kasih telah menyukai novel saya. /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!