Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Mata yang Mengintip
Adara memulai pagi itu seperti biasa, dengan jadwal yang padat dan serangkaian tugas dari Arga yang harus ia selesaikan tanpa kesalahan. Pekerjaan sebagai sekretaris pribadi seorang CEO sebesar Arga memang tidak mudah. Ia harus siap kapan pun diperlukan, tanpa ruang untuk kelalaian sedikit pun. Tapi hari ini, suasana di kantor terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, meski ia tak bisa menguraikan apa tepatnya yang membuatnya merasa resah.
Sambil menyiapkan bahan-bahan presentasi Arga untuk pertemuan penting sore itu, Adara merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya dari kejauhan. Setiap kali ia melihat ke belakang, tak ada seorang pun di sana. Hanya deretan meja dan ruang kosong yang terpantul dari kaca besar di belakangnya. Ia menggelengkan kepala, berusaha meyakinkan diri bahwa perasaan itu hanyalah hasil dari kelelahan akibat kurang tidur semalam. Namun, perasaan was-was itu tak juga hilang.
Ketika Arga datang beberapa menit kemudian, Adara segera menemuinya di ruang kerjanya untuk membahas rencana hari itu. Seperti biasa, Arga terlihat tenang dan profesional, tetapi sorot matanya kali ini berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya tampak lebih serius dan sedikit tegang.
“Bagaimana persiapan untuk presentasi sore ini, Adara?” tanyanya, dengan nada yang terdengar formal namun penuh tekanan.
“Sudah saya siapkan semua, Pak Arga,” jawab Adara dengan tenang, sambil menyerahkan dokumen yang ia bawa. “Saya sudah meninjau materi yang Anda kirimkan dan memastikan semuanya siap.”
Arga mengangguk, namun ia tampak berpikir sejenak sebelum kembali berbicara. “Bagus. Tetapi saya merasa ada sesuatu yang kurang di bagian analisis pasar. Mungkin perlu ditambah sedikit data tentang persaingan di kuartal terakhir.”
Adara segera mencatat instruksi tersebut dan menyanggupi untuk memperbaiki presentasi sebelum pertemuan dimulai. Setelah mendapatkan semua arahan yang diperlukan, ia bergegas menuju meja kerjanya, tetapi perasaan diawasi tadi kembali menyusup. Kali ini, ia hampir yakin bahwa ada seseorang yang mengamati setiap gerak-geriknya.
Beberapa kali ia mencoba melihat ke sekeliling, berharap menemukan petunjuk siapa yang mungkin mengawasinya. Tapi lagi-lagi, ia tidak menemukan apa pun. Semua karyawan lain tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing, dan ruang kerja Arga juga tertutup rapat. Tidak ada hal mencurigakan yang terlihat.
Waktu terus berjalan, dan ketika makan siang tiba, Adara memutuskan untuk mengistirahatkan pikirannya sejenak. Ia pergi ke pantry kantor, mencoba menikmati segelas teh hangat. Di sana, ia bertemu dengan beberapa rekan kerja yang sedang mengobrol santai. Salah satunya, Sinta, menyadari ekspresi tegang di wajah Adara.
“Adara, kamu kelihatan lelah hari ini. Apa Arga memberimu tugas tambahan?” tanya Sinta dengan nada bercanda.
Adara tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa gelisahnya. “Ya, seperti biasa. Tapi... entahlah, hari ini rasanya berbeda.”
Sinta mengangkat alis, tertarik dengan apa yang dikatakan Adara. “Berbeda bagaimana?”
“Aku merasa... seperti diawasi. Setiap kali aku bekerja, ada perasaan bahwa ada yang memperhatikan gerak-gerikku. Tapi aku tidak bisa melihat siapa pun,” jawab Adara, mencoba merasionalisasi perasaannya.
Sinta terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Mungkin itu Arga. Kamu tahu kan, dia punya cara-cara misterius untuk mengawasi karyawannya?”
Adara hanya tertawa kecil, meskipun hatinya tetap was-was. Ia kembali ke meja kerjanya dan melanjutkan pekerjaannya, berusaha mengabaikan pikiran-pikiran yang mengganggunya. Namun, tak lama kemudian, ketika ia sedang sibuk mengetik, ia mendengar suara halus seperti sesuatu jatuh dari ruangan Arga. Adara menoleh ke arah pintu ruang kerja Arga yang tertutup rapat, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di dalam.
Ketika suara itu berulang, perasaannya semakin tidak nyaman. Ia memutuskan untuk menghampiri pintu tersebut, mengetuknya pelan untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Tak ada jawaban dari dalam, meskipun ia yakin Arga ada di dalam karena belum lama ia melihatnya memasuki ruangan.
“Pak Arga? Anda baik-baik saja?” tanya Adara dengan nada cemas.
Setelah beberapa detik, pintu perlahan terbuka, dan Arga muncul dengan ekspresi datar. “Ada apa, Adara?” tanyanya singkat.
“Oh, maaf mengganggu, Pak. Saya hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Saya tadi mendengar suara dari dalam ruangan,” jawab Adara sambil mencoba membaca ekspresi wajahnya.
Arga mengangguk perlahan, tampak tak terganggu. “Itu hanya beberapa berkas yang jatuh. Tidak perlu khawatir.”
Adara mengangguk dan kembali ke meja kerjanya, tetapi perasaannya semakin kacau. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam sorot mata Arga tadi, seakan-akan ia menyembunyikan sesuatu. Ia berusaha untuk fokus kembali pada pekerjaannya, namun kejadian kecil tadi terus membayanginya.
Sore hari tiba, dan Arga bersiap untuk memulai presentasinya. Ia berdiri di depan tim, menjelaskan setiap detail dengan percaya diri dan penuh ketenangan. Namun, Adara yang duduk di salah satu kursi belakang tidak bisa menghilangkan pikiran bahwa ada yang mengintip, bukan hanya dirinya, tetapi mungkin juga seluruh kantor. Ia kembali merasa bahwa mata-mata tersembunyi ada di sekitar mereka.
Usai presentasi, Arga meminta Adara untuk menemaninya di ruangannya. Mereka berdiskusi tentang evaluasi hasil pertemuan, dan kali ini, Arga tampak lebih rileks. Namun, ia tidak melepaskan sorot matanya dari Adara. Ada ketegangan dalam tatapan mereka yang membuat Adara sulit bernapas.
“Adara, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan,” ucap Arga tiba-tiba dengan nada serius.
“Ya, Pak. Apa itu?” Adara menatapnya, penuh penasaran.
Arga terdiam sejenak, seolah ragu untuk melanjutkan. “Saya tahu kamu merasakan bahwa ada yang aneh akhir-akhir ini.”
Adara mengangguk, meski ia tidak sepenuhnya mengerti arah pembicaraan ini.
“Ada beberapa orang yang mungkin tidak suka dengan kedekatan kita,” lanjut Arga. “Dan saya mencurigai bahwa seseorang sedang mengawasi kita. Mungkin ada yang berusaha mencari celah untuk menjatuhkan kita.”
Adara terkejut mendengar pengakuan tersebut. “Apakah ada yang Anda curigai, Pak?”
“Belum pasti, tapi saya ingin kamu berhati-hati. Jangan mudah percaya dengan siapa pun di sini,” jawab Arga dengan nada waspada. “Mungkin ada orang yang mengamati kita dari bayang-bayang.”
Pembicaraan ini semakin membuat Adara merasa tak tenang. Namun, di sisi lain, ia merasakan perhatian Arga yang tulus terhadapnya, dan hal itu menimbulkan kehangatan yang berbeda dalam dirinya. Meskipun ada rasa takut, ia mulai merasa bahwa dirinya tidak sendiri dalam menghadapi semua ini.
Arga pun memintanya untuk selalu waspada dan melaporkan hal-hal mencurigakan yang mungkin ia lihat di kantor. Adara menyetujui permintaannya dengan anggukan yang penuh tekad.
Beberapa hari berlalu, dan setiap gerak-gerik Adara selalu dipenuhi kewaspadaan. Ia merasa bahwa setiap sudut kantor kini menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai. Namun, tak sekali pun ia melihat siapa pun atau menemukan bukti konkret dari siapa yang mungkin mengintip mereka. Keadaan ini terus membuatnya gelisah, tapi ia tahu bahwa Arga berada di pihaknya, siap untuk melindunginya.
Pada suatu sore, ketika Adara sedang berkemas untuk pulang, ia melihat sosok bayangan di kaca besar yang ada di dekat mejanya. Refleksi itu tampak berusaha menghindar dari pandangannya. Jantungnya berdebar-debar, namun ia tidak mau menunjukkan ketakutan. Ia perlahan-lahan mendekati kaca tersebut, tetapi bayangan itu menghilang sebelum ia sempat mendekat.
Hari itu, Adara menyadari bahwa hidupnya di kantor tidak lagi seperti dulu. Sesuatu yang gelap dan tak terlihat menyelimuti setiap langkahnya. Namun, di balik ketakutannya, ia merasa lebih kuat, karena ia tahu bahwa Arga berada di sampingnya—siap melindungi, atau bahkan mendampinginya menghadapi setiap mata yang mengintip dari kegelapan.