Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6_Bertahan atau Berhenti
“Bu, aku pulang,” ujar Santi dengan suara datar, sambil membuka sepatu di depan pintu.
“Dari mana saja kamu? Kok pulang sudah begitu larut?” tanya Sumi, dengan nada marah. Santi baru sampai di rumah tepat saat adzan Maghrib berkumandang, padahal biasanya ia sudah tiba sekitar jam 4 sore. Jarak rumahnya dengan sekolah tidaklah jauh.
“Dari rumah teman, Bu,” jawab Santi singkat, lalu menenteng sepatunya dan meletakkannya di sudut dapur, tempat biasanya Santi dan adik-adiknya meletakkan sepatu sekolah mereka.
“Enak ya kamu bisa bebas main ke rumah teman, sedangkan ibu harus banting tulang dari pagi sampai sore. Seharusnya kamu tahu diri, pulang sekolah langsung ke rumah, bantu urus rumah, dan adik-adikmu,” kata Sumi, mulai marah.
“Sudah, Bu, cukup! Ibu bisa diam nggak sih? Santi pusing, Bu, kepala Santi sakit! Ibu ngerti nggak sih? Setiap hari Santi harus mengurus adik-adik, mengurus rumah, sementara ibu cuma kerja serabutan yang gajinya nggak seberapa. Ayah juga cuma menganyam bambu yang upahnya nggak banyak. Santi capek, Bu! Capek hidup miskin! Bisa nggak ibu berhenti marah-marah?” teriak Santi, tak bisa menahan emosinya. Air matanya mengalir deras, ia benar-benar lelah. Selama ini, setiap kali ibunya marah, Santi hanya diam. Namun kali ini, ia benar-benar tak sanggup lagi menahan semuanya. Apalagi mendengar omelan Sumi yang tak ada habisnya.
Sumi yang awalnya marah, terdiam melihat putri sulungnya itu memberontak kepadanya. Tanpa diminta, air mata Sumi menetes di pipinya.
“Bisa nggak ibu mengerti keadaan Santi?” isak Santi, suaranya tercekat.
Sumi hanya bisa terdiam, lalu membuka surat yang diberikan Santi kepadanya. Surat itu adalah surat peringatan dari guru bendahara sekolah tentang tunggakan biaya sekolah Santi.
“Lihat, Bu! Itu surat peringatan dari sekolah. Santi sudah menunggak uang sekolah, baju, dan buku. Totalnya dua juta. Kalau nggak bisa dibayar, Santi nggak bisa lanjut sekolah! Lihat, Bu!” teriak Santi lagi, emosinya meledak di dapur.
Adik-adiknya yang sedang mengerjakan PR dan bermain di ruang tengah, segera berlari ke dapur saat mendengar teriakan kakak mereka.
Sumi hanya terdiam, membuka surat itu dengan seksama meski matanya kabur karena baru saja menangis.
“Ibu tahu nggak, Santi malu di sekolah, Bu? Tadi guru BK bilang baju yang Santi pakai sudah nggak layak, dan merusak pemandangan. Ibu tahu nggak bagaimana malunya Santi tadi di sekolah?” teriak Santi, suaranya mulai melunak.
Sumi, yang merasa begitu tertekan, langsung merendahkan tubuh dan mendekap tubuh Santi erat-erat.
“Maafkan ibu, nak. Maafkan ibu...” ucap Sumi, sambil memeluk putrinya dengan penuh penyesalan.
Adik-adik yang melihat itu pun ikut menangis, meskipun yang mengerti persoalan itu hanya Riski, karena ia sendiri baru mengalami hal yang sama di sekolah. Ia hanya mampu membeli satu buku LKS, sementara kakaknya Santi sudah menanggung beban yang lebih berat.
Riski segera pergi ke ruang tengah dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Kakak kenapa?” tanya Ridho yang berusia 12 tahun, bingung karena ia belum mengerti bagaimana rasanya memiliki tunggakan di sekolah.
“Entahlah, Abang juga nggak tahu. Sudahlah, lanjutkan saja PR-mu, agar kita bisa jadi orang kaya,” jawab Riski sambil melanjutkan pekerjaannya.
Ridho menurut dan kembali mengerjakan PR-nya.
*****
Pagi itu, Santi memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah. Dari total tunggakan yang ada, uang yang terkumpul baru mencapai 400 ribu; 200 ribu dari Ratna dan 200 ribu dari pinjaman Sumi kepada tetangga.
“Nak, sekolahlah. Cicil dulu 400 ribu itu, nanti bilang ke gurumu kalau cepat atau lambat orang tua akan melunasinya,” ujar Sumi, yang sudah siap pergi ngarit pakan ternak kambing milik tetangga.
Sumi sendiri hanya bisa mendapatkan tiga ribu rupiah per karung rumput, dan biasanya ia hanya mampu mengumpulkan 12 karung dalam sehari, yang berarti hanya memperoleh 32 ribu rupiah. Uang tersebut digunakan untuk membeli beras.
Sementara suaminya, Burhan, hanya menganyam bambu dengan upah yang murah, lima ribu rupiah per ayaman. Setiap hari, ia hanya mampu menyelesaikan sepuluh ayaman, sehingga hanya mendapatkan 50 ribu rupiah. Dari uang tersebut, 25 ribu rupiah digunakan untuk membeli rokok, dan 25 ribu lagi diberikan kepada Sumi untuk kebutuhan dapur.
“Sudahlah, Bu. Santi mau berhenti sekolah saja,” ujar Santi, tanpa menatap wajah ibunya.
“Kalau kamu berhenti sekolah, kamu mau jadi apa, nak?” tanya Sumi, tak percaya.
“Entahlah, Bu. Santi rasa lebih baik Santi bekerja jadi pembantu daripada jadi beban. Biarkan adik-adik Santi yang sekolah. Santi bekerja untuk membantu Ayah dan Ibu,” jawab Santi, sambil melanjutkan memasak.
Ya, Santi masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Kayu bakar lebih irit, cukup dengan pergi ke kebun tetangga untuk mengambil ranting kering yang sudah tidak digunakan.
“Demi ibu, sekolah lah, nak,” ujar Sumi, sambil mengelus punggung putrinya.
“Tapi Santi nggak bisa, Bu. Kalau ke sekolah, Santi malu. Dipanggil-panggil dari ruang guru, diumumkan sebagai anak yang belum bayar komite. Santi malu, Bu, Santi malu,” kata Santi, sambil menatap Sumi.
Sumi menghela napas panjang dan meletakkan arit serta karung yang dibawanya ke tempat semula.
“Ibu akan pergi ke rumah tetangga untuk cari pinjaman. Doakan ibu, mudah-mudahan ada yang bisa bantu,” kata Sumi, sambil beranjak pergi.
Santi tidak menghentikan langkah ibunya, meskipun hatinya terasa perih melihat pemandangan tersebut.
“Bu, carikan juga pinjaman untuk melunasi hutang Riski di sekolah. Riski juga butuh sepatu baru, sepatu Riski sudah bolong dan robek di mana-mana,” kata Riski, yang tiba-tiba muncul dan mendekat.
Sumi mengangguk, air matanya kembali menetes.
“Doakan ibu ya, nak,” ujar Sumi, kemudian pergi meninggalkan rumah dengan pakaian yang kumuh dan kotor akibat pekerjaannya mengarit rumput.
Sumi berjalan dengan cepat menuju rumah Pak Bani, pemilik usaha anyaman bambu tempat suaminya bekerja. Sumi tidak punya pilihan lain selain meminjam uang dari Pak Bani, meskipun ia tahu itu bukan hal yang mudah.