Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Hari-hari setelah Devan sembuh berjalan dengan tenang. Gavin kembali sibuk dengan pekerjaannya di kantor, sementara Dasha tetap mengurus rumah dan bisnis rotinya yang perlahan semakin berkembang. Devan, meski masih bayi, sudah mulai aktif merangkak, membuat Dasha harus ekstra hati-hati menjaganya.
Di sisi lain, waktu terasa begitu cepat berlalu. Tahun ajaran baru hampir tiba, dan Nathan, anak sulung Gavin dan Dasha, akan masuk Sekolah Dasar (SD). Hal ini menjadi momen besar bagi keluarga kecil itu.
Pagi itu, Dasha dan Gavin duduk di ruang makan sambil menikmati sarapan. Nathan yang ceria berbicara dengan penuh semangat tentang sekolah barunya.
“Papa, katanya di SD ada kantin yang jual banyak makanan enak, ya? Aku mau coba semuanya nanti!” ujar Nathan dengan mata berbinar.
Gavin tertawa kecil sambil mengusap kepala putranya. “Iya, Nak. Tapi ingat, kamu juga harus belajar dengan sungguh-sungguh. Makanan enaknya jadi bonus.”
Dasha tersenyum sambil menyuapi Devan. “Nathan, Mama sudah siapkan daftar barang-barang yang kamu butuhkan. Nanti kita belanja, ya.”
“Yeay! Aku mau pilih tas yang ada gambar robot, Ma,” kata Nathan penuh antusias.
Akhir pekan itu, Gavin dan Dasha membawa Nathan untuk membeli perlengkapan sekolah. Mereka mengunjungi toko alat tulis yang ramai dengan keluarga lain yang juga sedang mempersiapkan anak-anak mereka untuk sekolah.
Nathan memilih tas bergambar robot, kotak pensil, dan buku tulis dengan desain yang ia suka. Gavin sesekali membantu Nathan memilih barang yang lebih fungsional, sementara Dasha memastikan semuanya lengkap.
“Papa, aku juga mau sepatu baru,” pinta Nathan.
“Baiklah, kita cari sepatu yang nyaman untukmu,” jawab Gavin sambil menggandeng tangan putranya.
Setelah semua selesai, Nathan tampak sangat puas. “Terima kasih, Ma, Pa! Aku nggak sabar mau sekolah.”
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Pagi itu, Nathan bangun lebih awal dari biasanya. Ia terlihat bersemangat mengenakan seragam barunya, dengan tas robot tergantung di punggungnya.
Dasha menyiapkan sarapan spesial untuk Nathan, sementara Gavin memastikan semua barang Nathan tertata rapi.
“Papa, Mama, kalian ikut antar aku ke sekolah, kan?” tanya Nathan sambil menyantap roti bakar.
“Tentu saja, Nak. Kami mau lihat sekolah barumu,” jawab Dasha sambil tersenyum.
Di sekolah, suasana ramai dengan anak-anak dan orang tua yang sibuk mencari kelas masing-masing. Nathan tampak sedikit gugup, tetapi Gavin menepuk bahunya dengan lembut. “Kamu pasti bisa, Nak. Jadilah anak yang baik dan berani, ya.”
Nathan mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Pa. Aku akan belajar yang rajin.”
Dasha memeluk Nathan sebelum ia masuk ke kelas. “Mama bangga padamu, Nathan. Nanti cerita ke Mama, ya, tentang teman-teman barumu.”
Melihat Nathan memasuki kelas dengan langkah kecilnya, Gavin dan Dasha merasa haru. Mereka tahu ini adalah awal dari perjalanan panjang bagi putra sulung mereka.
“Rasanya baru kemarin dia berjalan dan menghampiri ku" kata Dasha sambil menggenggam tangan Gavin.
“Waktu memang cepat sekali berlalu. Tapi yang penting, kita ada untuk mereka di setiap langkah,” balas Gavin.
Hari itu menjadi momen berharga bagi keluarga kecil mereka, penuh harapan dan doa untuk masa depan Nathan yang cerah. Mereka percaya, dengan cinta dan dukungan, Nathan akan tumbuh menjadi anak yang pintar dan berbudi pekerti luhur.
.
.
.
.
Setelah mengantar Nathan ke kelas, Gavin dan Dasha memutuskan untuk menunggu di area kantin sekolah untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Mereka duduk sambil memandang sekitar, mengamati hiruk-pikuk hari pertama sekolah yang dipenuhi anak-anak dengan berbagai ekspresi—ada yang bersemangat, ada juga yang masih enggan berpisah dari orang tua mereka.
Tak lama kemudian, seorang guru mendekati mereka. “Ibu dan Bapak Nathan, ya?” tanyanya dengan ramah.
“Iya, Bu,” jawab Dasha sambil tersenyum.
“Saya Bu Anisa, wali kelas Nathan. Jangan khawatir, dia sudah mulai beradaptasi dengan baik. Dia anak yang ceria dan penuh rasa ingin tahu,” ucap sang guru, memberikan keyakinan pada Gavin dan Dasha.
Mendengar itu, Gavin dan Dasha merasa lega. “Terima kasih, Bu. Nathan memang sangat antusias untuk sekolah,” kata Gavin.
Saat jam pulang tiba, Nathan berlari kecil menghampiri Gavin dan Dasha yang sudah menunggunya di gerbang sekolah. Wajahnya penuh semangat, meskipun tampak lelah setelah hari yang panjang.
“Papa, Mama, tadi aku belajar banyak hal! Aku punya teman baru juga! Namanya Arya dan Lia. Mereka duduk di sebelahku,” cerocos Nathan tanpa jeda.
Gavin tersenyum sambil menggandeng tangan putranya. “Bagus, Nak. Teman-teman baru itu penting. Kamu senang, kan?”
Nathan mengangguk dengan antusias. “Iya, Pa! Aku juga suka gurunya. Katanya, nanti kami akan belajar membuat kerajinan dari kertas!”
Di perjalanan pulang, Nathan terus menceritakan pengalamannya. Dasha sesekali menimpali dengan pertanyaan ringan, memastikan Nathan menikmati setiap momennya di sekolah.
Untuk merayakan hari pertama Nathan di SD, Gavin dan Dasha mengadakan perayaan kecil di rumah. Dasha menyiapkan kue favorit Nathan, sementara Gavin memasang balon sederhana di ruang makan.
“Selamat atas hari pertama sekolahmu, Nathan!” ujar Dasha sambil memeluk putranya.
“Kita bangga sama kamu, Nak. Tetap semangat, ya!” tambah Gavin.
Nathan tersenyum lebar. “Terima kasih, Papa, Mama! Aku janji akan belajar dengan rajin.”
Devan, meskipun belum mengerti sepenuhnya, ikut tersenyum sambil mengoceh di kursi bayinya, membuat keluarga itu tertawa.
Malam harinya, setelah Nathan tertidur lelap, Gavin dan Dasha duduk di ruang keluarga sambil membahas hari itu.
“Nathan benar-benar tumbuh cepat. Rasanya baru kemarin kita mengajarinya mengeja,” ujar Dasha sambil memandangi foto keluarga mereka yang terpasang di dinding.
Gavin mengangguk. “Ya. Tapi aku yakin dia akan menjadi anak yang luar biasa. Dengan bimbingan dan cinta kita, dia akan menghadapi masa depannya dengan baik.”
Mereka berdua tersenyum, merasa bersyukur atas keluarga kecil mereka yang penuh cinta. Hari itu menandai awal perjalanan baru untuk Nathan, sekaligus mengingatkan Gavin dan Dasha bahwa setiap langkah kecil dalam hidup adalah bagian dari perjalanan besar yang penuh harapan.
.
.
.
.
.
Sudah sebulan sejak Nathan memasuki Sekolah Dasar, dan semuanya berjalan dengan lancar. Nathan semakin beradaptasi dengan kehidupan sekolah, dan setiap harinya, ia selalu pulang dengan cerita baru tentang teman-temannya, pelajaran yang ia pelajari, dan kegiatan di sekolah. Gavin dan Dasha merasa bangga melihat anak mereka tumbuh dengan cepat dan menjadi pribadi yang semakin mandiri.
Namun, rutinitas keluarga mulai berubah. Dasha semakin sibuk dengan bisnis roti yang terus berkembang. Toko kue yang ia kelola mulai menarik lebih banyak pelanggan, terutama setelah dia memperkenalkan beberapa varian baru yang disukai banyak orang. Setiap pagi, Dasha sudah sibuk mempersiapkan pesanan untuk pelanggan yang datang, sementara beberapa kali dalam seminggu, ia harus menghadiri acara promosi atau berkoordinasi dengan supplier bahan-bahan kue.
Di sisi lain, Gavin juga semakin sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Banyak proyek baru yang harus ditangani, dan tuntutan pekerjaan semakin meningkat. Meskipun begitu, ia tetap berusaha menyempatkan diri untuk pulang tepat waktu agar bisa bersama keluarga, terutama untuk membantu mengurus Nathan.
Pagi hari di rumah terasa sangat sibuk. Dasha dan Gavin biasanya bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, mempersiapkan Nathan untuk berangkat sekolah, dan memastikan semuanya berjalan lancar. Setelah mengantar Nathan ke sekolah, Dasha langsung menuju tokonya, sementara Gavin memulai hari dengan bekerja di kantor.
“Mama, jangan lupa ya, besok aku mau bawa bekal kue favorit dari toko kita!” kata Nathan pada Dasha saat berangkat sekolah.
Dasha tersenyum. “Tentu, Nak. Aku akan buatkan. Semoga teman-temanmu suka, ya!”
Setelah mengantar Nathan, Dasha langsung bergegas ke toko, sementara Gavin menuju kantornya. Hari-hari mereka begitu cepat berlalu, penuh dengan pekerjaan dan kegiatan masing-masing.
Toko kue Dasha mulai berkembang pesat, tetapi dengan perkembangan itu datang pula tantangan baru. Beberapa minggu terakhir, permintaan untuk produk kue semakin meningkat, dan Dasha harus memastikan semua bahan-bahan tersedia dan karyawan yang bekerja di toko dapat mengelola pesanan dengan baik.
Suatu pagi, Dasha menerima telepon dari supplier bahan kue yang memberi tahu bahwa ada penundaan pengiriman beberapa bahan penting. Ini membuat Dasha merasa stres, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang dan mencari solusi.
“Baiklah, kalau begitu, saya akan coba cari bahan dari tempat lain,” kata Dasha kepada supplier, meskipun di dalam hatinya merasa sedikit khawatir.
Meskipun demikian, Dasha berhasil mengatasi masalah itu dengan cepat. Ia belajar untuk lebih fleksibel dalam mengelola toko dan beradaptasi dengan tantangan yang muncul. Ketenangannya dalam menghadapi masalah ini membantu menjaga suasana tetap kondusif di toko, dan pelanggan pun tetap puas dengan pelayanan yang diberikan.
Gavin juga semakin terlibat dalam kehidupan rumah tangga dan bisnis keluarga. Setelah jam kerja, ia sering membantu Dasha di toko, terutama saat ada acara promosi atau saat toko sedang ramai. Gavin senang melihat bagaimana Dasha bekerja keras untuk mengembangkan bisnisnya, dan ia ingin menjadi pendukung yang setia.
“Gavin, aku butuh bantuan di sini. Bisa kamu jaga meja kasir sebentar?” tanya Dasha suatu sore yang sibuk di toko.
“Pasti, Sayang. Aku akan bantu,” jawab Gavin dengan senyum, segera mengambil alih sementara Dasha menyelesaikan pesanan pelanggan.
Dasha merasa sangat bersyukur memiliki Gavin sebagai partner dalam kehidupan dan bisnis mereka. Meski pekerjaan mereka cukup padat, mereka berdua selalu berusaha untuk menjaga keseimbangan dan tetap hadir bagi keluarga.
Meski kesibukan mereka meningkat, Gavin dan Dasha selalu berusaha menyisihkan waktu untuk anak-anak mereka. Malam hari, setelah seharian beraktivitas, mereka menikmati waktu bersama. Gavin sering menceritakan pengalaman serunya di kantor, sementara Dasha mengajak Nathan untuk membantu di dapur atau bermain bersama Devan yang kini sudah mulai berjalan.
“Besok kita liburan ke taman, ya? Ajak Devan main,” kata Dasha kepada Gavin pada suatu malam setelah Nathan tidur.
Gavin tersenyum, “Pasti, Sayang. Kita butuh waktu untuk bersantai bersama.”
Keluarga kecil mereka kini memasuki fase baru dengan rutinitas yang padat, namun mereka terus berusaha menjaga kebersamaan dan mendukung satu sama lain. Meski tantangan datang silih berganti, Gavin dan Dasha tahu bahwa mereka bisa menghadapinya bersama—berlandaskan cinta dan komitmen pada keluarga mereka.