Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4: PERJANJIAN DALAM GELAP
Udara malam menyelimuti keduanya dalam keheningan yang mencekam. Vera berdiri tak jauh dari Arjuna, gaun merahnya berkilau di bawah sinar bulan, tampak seperti bayangan yang menghantui alam. Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat. Yang terdengar hanyalah suara angin yang berhembus, membawa aroma tanah basah dan bunga mawar yang layu.
Namun, Arjuna tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang terus menghantam dadanya. Ia baru saja menyaksikan sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, sesuatu yang melampaui logika dunia nyata. Tapi satu pertanyaan terus menghantui pikirannya: siapa sebenarnya Vera?
“Jelaskan padaku,” akhirnya Arjuna berbicara dengan suara serak, matanya tertuju tajam pada Vera. “Siapa kau sebenarnya? Dan apa yang baru saja kita hadapi?”
Vera tetap diam, tatapannya kosong seperti seseorang yang kehilangan arah. Tapi kemudian, dia menghela napas panjang, seolah-olah mempersiapkan diri untuk mengungkap sesuatu yang sulit.
"Namaku adalah Vera, tapi aku bukan seperti yang kau kira. Aku... Aku adalah roh terperangkap, penghuni tempat ini selama lebih dari satu abad," katanya akhirnya. Suaranya rendah dan penuh beban, seperti seseorang yang berbicara tentang dosa yang tidak termaafkan.
Arjuna menatapnya, bingung. “Terperangkap? Oleh siapa? Mengapa?”
Vera menoleh, matanya menatap langsung ke mata Arjuna. "Oleh dia. Dia yang kau lihat tadi... makhluk itu. Aku mengikat diriku dengannya, dengan perjanjian yang aku buat di saat terburuk dalam hidupku."
Vera mulai bercerita. Suaranya tenang, tapi penuh kepedihan.
“Dulu aku adalah seorang wanita biasa, Arjuna. Aku hidup di sebuah desa kecil yang penuh kedamaian. Namun, hidupku berubah ketika seorang pria datang ke desaku. Dia penuh pesona, karismatik, dan membawa janji-janji tentang cinta yang abadi. Aku jatuh cinta padanya tanpa ragu. Tapi aku tidak tahu... dia bukan manusia biasa.”
Vera berhenti sejenak, matanya memandang kosong ke kejauhan.
“Dia adalah salah satu makhluk gelap, roh yang terkutuk. Tapi aku tidak tahu itu. Aku terlalu buta oleh cinta. Aku menyerahkan segalanya padanya—hatiku, hidupku, bahkan jiwaku. Dan ketika aku tahu siapa dia sebenarnya, sudah terlambat. Aku telah terjebak dalam perjanjian.”
Arjuna merasa lehernya tercekat. “Apa perjanjiannya?”
“Aku memberinya jiwaku untuk mendapatkan cinta dan kekuasaan. Namun, itu semua dusta. Dia membunuhku pada malam pernikahan kami dan mengikat jiwaku ke rumah itu, sebagai pengorbanan untuk memperkuat kekuatannya sendiri.”
Arjuna merasa bulu kuduknya meremang mendengar cerita itu. "Jadi, makhluk itu... dia adalah mantan kekasihmu?"
Vera mengangguk pelan, wajahnya penuh kesedihan. “Dia sekarang adalah sesuatu yang lebih buruk daripada manusia atau roh biasa. Dan aku telah menjadi bagian dari kutukannya.”
Arjuna hendak mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba angin malam berubah menjadi dingin menusuk. Semilir angin yang sebelumnya lembut kini berubah menjadi hembusan kuat, membawa bisikan-bisikan aneh yang terdengar seperti suara-suara manusia berteriak minta tolong.
Vera langsung waspada, matanya menyapu sekeliling mereka. “Dia tahu kita di sini. Kita harus pergi, sekarang juga!”
“Ke mana? Apa kita tidak aman di sini?” tanya Arjuna, kebingungan.
“Tidak ada tempat yang aman, kecuali kita menemukan cara untuk menghancurkannya sepenuhnya,” jawab Vera tegas.
Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Dari kejauhan, Arjuna melihat sosok bayangan besar bergerak mendekat. Bayangan itu tidak memiliki bentuk yang jelas, seperti kabut hitam yang terus berubah, namun auranya sangat kuat hingga membuat napas Arjuna sesak.
“LARI!” teriak Vera.
Arjuna tidak berpikir dua kali. Dia berlari secepat yang dia bisa, mengikuti Vera yang bergerak dengan kecepatan luar biasa. Tapi bayangan itu semakin mendekat, dan Arjuna bisa merasakan hawa dinginnya mengejar mereka.
---
Setelah berlari tanpa henti, Vera membawa Arjuna ke sebuah kuil tua yang tersembunyi di tengah hutan. Kuil itu terlihat sudah usang dan ditumbuhi lumut, namun ada sesuatu yang berbeda dari tempat ini. Aura gelap yang mengikuti mereka sepertinya berhenti di luar, seolah-olah kuil ini memiliki penghalang tak terlihat.
Vera berdiri di depan patung besar seorang dewi yang tidak dikenali oleh Arjuna. Patung itu memegang pedang dengan ukiran bunga mawar, serupa dengan motif yang ada di buku yang mereka temukan.
“Apa tempat ini?” tanya Arjuna, masih terengah-engah.
“Ini adalah kuil milik Dewi Penjaga Cahaya, satu-satunya entitas yang bisa melawan dia,” jawab Vera sambil menghela napas. “Aku berharap tempat ini masih memiliki kekuatannya.”
Namun sebelum Vera bisa menjelaskan lebih jauh, suara tawa dingin menggema di seluruh ruangan.
“Kau pikir bisa melarikan diri, Vera? Bahkan kuil ini tidak akan melindungimu.”
Sosok bayangan besar itu muncul di pintu kuil, perlahan-lahan menyeruak masuk. Meskipun tampaknya ada sesuatu yang menahannya, bayangan itu terus mendesak, seolah-olah mencoba menghancurkan penghalang kuil.
Vera menatap Arjuna dengan ekspresi serius. “Kita tidak punya waktu banyak. Hanya ada satu cara untuk mengakhiri ini. Kau harus membuat perjanjian denganku.”
“Apa maksudmu?” tanya Arjuna, bingung.
“Aku tidak bisa melawannya sendiri. Tapi jika kau bersedia menggabungkan jiwamu denganku, kita bisa menggunakan kekuatan kuil ini untuk menghancurkannya.”
Arjuna tertegun. “Menggabungkan jiwa? Apa yang akan terjadi padaku jika aku setuju?”
“Kau mungkin tidak akan pernah kembali menjadi dirimu yang sekarang,” jawab Vera, suaranya penuh kepedihan. “Tapi itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran.”
---
Arjuna menatap Vera, hatinya dipenuhi konflik. Di satu sisi, dia ingin lari dan melupakan semua ini. Namun, di sisi lain, dia tahu bahwa jika dia tidak bertindak, makhluk itu akan terus menyebarkan kegelapan.
Dengan tangan yang gemetar, dia akhirnya mengangguk. “Lakukan. Jika ini satu-satunya cara, aku siap.”
Vera menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kau pria yang sangat berani, Arjuna. Aku tidak akan melupakan ini.”
Dia meraih tangan Arjuna, dan keduanya berdiri di depan patung Dewi. Vera mulai melantunkan mantra dalam bahasa kuno, suaranya bergema di seluruh kuil. Cahaya merah dan emas mulai muncul dari patung, membungkus tubuh mereka dalam lingkaran cahaya yang menyilaukan.
Bayangan di pintu kuil mengeluarkan raungan keras, mencoba menembus penghalang dengan kekuatan terakhirnya.
Dan saat itu, semuanya menjadi gelap.
---
Ketika Arjuna membuka matanya, dia merasa berbeda. Tubuhnya masih utuh, tetapi ada kekuatan baru yang mengalir di dalam dirinya—seperti sesuatu yang tidak sepenuhnya miliknya. Di sampingnya, Vera tersenyum samar, tetapi ada kesedihan yang mendalam di matanya.
“Ini belum selesai,” katanya. “Tapi sekarang, kita memiliki kesempatan untuk melawan.”
Namun Arjuna tahu, pertempuran sesungguhnya baru saja dimulai.