Sebuah perjodohan membuat Infiera Falguni harus terjebak bersama dengan dosennya sendiri, Abimanyu. Dia menerima perjodohan itu hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sikap Abimanyu yang acuh tak acuh membuat Infiera bertekad untuk tidak jatuh cinta pada dosennya yang galak itu. Namun, kehadiran masa lalu Abimanyu membuat Infiera kembali memikirkan hubungannya dengan pria itu.
Haruskah Infiera melepaskan Abimanyu untuk kembali pada masa lalunya atau mempertahankan hubungan yang sudah terikat dengan benang suci yang disebut pernikahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gara-gara Pembalut
Fiera kembali ke rumah dengan wajah yang semakin pucat. Dia merasakan perut bagian bawahnya terasa sakit dan kepalanya semakin pening.
Hari ini adalah hari pertamanya masa periode. Dia tidak memiliki persediaan pereda nyeri dan hanya ingin segera sampai rumah untuk bisa cepat berbaring.
Fiera menjatuhkan tasnya begitu saja di tengah rumah dan berjalan ke sofa ruang tamu, lalu membaringkan tubuhnya di sana karena sudah tidak memiliki tenaga untuk berjalan sampai di kamarnya.
Keringat dingin menjalari punggungnya, pinggangnya juga tak kalah sakit. Dalam kondisi itu, Fiera ingin sekali menangis karena tidak ada siapa pun yang bisa membantunya meredakan nyerinya.
Saat di rumahnya, biasanya ibunya akan membuatkan air jahe dan madu. Ibunya juga suka membantunya memijit punggungnya. Meski itu tidak mengurangi rasa sakit, setidaknya Fiera merasakan seseorang merawatnya.
Namun, semenjak menikah dia harus merawat dirinya sendiri.
Infiera memejamkan matanya, berharap rasa sakit di perutnya bisa sedikit mereda setelah beberapa saat. Hingga akhirnya, wanita itu terlelap begitu saja di sofa ruang tamu.
Fiera terbangun kurang dari satu jam karena sakit di perutnya tak kunjung mereda. Fiera menghela napas pelan untuk menenangkan dirinya dan berusaha bangkit dari berbaringnya.
Sepertinya, dia harus memesan obat pereda nyerinya melalui online. Dia mencari keberadaan tasnya, ternyata ada di sana—di dekat tangga—tergeletak begitu saja.
Fiera bangkit dan berjalan, menghampirinya. Baru saja dirinya membungkuk untuk meraih tas yang tergeletak di lantai, pintu masuk terbuka dari luar, ternyata Abimanyu baru saja pulang.
Mungkin karena Fiera terlalu fokus dengan rasa sakitnya, dia sampai tidak mendengar suara mobil suaminya masuk ke halaman rumah.
Fiera tidak mengatakan apa pun, dia meneruskan niatnya untuk mengambil tas, dan mencari ponselnya.
Abimanyu memperhatikan Fiera yang berdiri di dekat tangga menuju lantai dua. Wajah wanita itu pucat dan keringat membasahi wajahnya.
“Apa kau sakit?” tanya Abimanyu melangkah mendekat.
Fiera menggeleng, dia tidak punya tenaga untuk menjelaskan. Dia juga sedikit canggung untuk menjelaskannya pada Abimanyu, mengingat hubungan mereka tidak terlalu dekat.
Fiera berjalan melewati Abimanyu, hal itu membuat Abimanyu salah paham. Dia menganggap kalau Infiera masih marah karena pertengkaran mereka terakhir kali.
Abimanyu meraih tangan Infiera dan berkata, “Aku tahu kau masih marah padaku, tapi katakan jika kau sedang sakit.”
Fiera sedang tidak ingin berdebat, hormonnya sedang tidak stabil. Dia menarik tangannya pelan. “Aku baik-baik saja.” Fiera berniat meneruskan langkahnya menuju kamar, karena kepalanya terasa semakin pening.
“Infiera!” sentak Abimanyu tidak suka diabaikan. Padahal, dia berusaha peduli pada wanita itu.
Infiera menghentikan langkahnya dan menghela napas jengkel. “Sudah kukatakan, aku baik-baik saja!”
“Bagaimana kau baik-baik saja? Lihatlah, wajahmu begitu pucat.”
Fiera sedikit menunduk karena kepalanya semakin berdenyut sakit. Ditambah Abimanyu yang tidak puas dengan jawabannya. “Aku—“
Sebelum dia bisa menyahuti ucapan Abimanyu, tubuh Fiera sedikit limbung. Abimanyu sigap menangkap tubuh ringkih wanita itu.
“Keras kepala!” sungutnya kesal. Abimanyu menjatuhkan tasnya, lalu membopong Fiera yang hampir terjatuh. Dia membawanya menuju kamar wanita itu dan membaringkannya di tempat tidur.
“Tunggulah, setelah ini kita pergi dokter. Aku akan mengganti pakaianku dulu.”
“Tidak usah. Aku baik-baik saja!”
Abimanyu menghela napas berat, sekuat tenaga dia menahan amarahnya. Baru kali ini dia mengetahui, betapa keras kepalanya wanita ini. Mungkin karena mereka terbiasa hidup masing-masing di rumah itu.
“Aku tidak peduli kau mau mengatakan apa, tapi yang kulihat, jelas kau sedang sakit! Lihatlah, wajahmu juga sangat pucat. Bagaimana kalau ternyata sakit parah? Ibu akan menyalahkanku karena tidak bertanggung jawab!”
Fiera memejamkan matanya saat mendengar ucapan Abimanyu, dia mencela dirinya. Yang Abimanyu pedulikan adalah pendapat ibunya, bukan karena benar-benar peduli pada dirinya.
“Aku memang baik-baik saja. Aku hanya sedang datang bulan. Puas?!” geram Infiera, kembali membuka matanya.
Eh?
Abimanyu terkejut, ternyata wanita itu sedang datang bulan. Tapi, bagaimana bisa kondisinya sampai seperti itu? Seingatnya, ibunya tidak pernah mengalaminya.
“Tapi wajahmu sangat pucat dan kau juga hampir pingsan barusan.”
Andai saja Fiera memiliki tenaga. Dia ingin sekali memukul Abimanyu dengan menggunakan tas yang ada di samping tubuhnya, tapi dia terlalu lemas untuk melakukannya.
“Tidak semua wanita memiliki kondisi yang sama saat mereka dalam masa periode. Dan inilah kondisiku ketika sedang datang bulan.”
Fiera terpaksa menjelaskannya, karena pria itu terlalu bodoh untuk memahami kondisinya.
Abimanyu menjadi salah tingkah saat mendengar hal itu. Bagaimana dia tahu hal itu? Abimanyu berdehem untuk membuang kecanggungannya, lalu bertanya, “Lalu, biasanya kau mengobatinya menggunakan apa? Biar aku yang carikan.”
Fiera menggeleng.
“Tidak usah, aku akan memesannya secara online.”
“Itu akan memakan waktu cukup lama. Katakan saja, biar aku yang membelinya.”
“Kau yakin ingin membantuku?”
Wajah Abimanyu sedikit memerah karena merasa malu dengan apa yang hendak dikatakannya. “Aku yakin. Aku minta maaf untuk kejadian terakhir kali. Aku tidak pernah memedulikanmu.”
Fiera tertegun. Dia terkejut dengan permintaan maaf pria itu yang tiba-tiba. Itu benar-benar di luar dugaannya. Fiera tidak pernah berpikir jika Abimanyu akan meminta maaf, mengingat pria itu selalu keras.
Abimanyu benar-benar merasa bersalah. Apa lagi, tiga hari terakhir ini dia menyadari banyak hal. Tumpukan pakaian kotor yang tidak dicuci, tumpukan piring kotor bekas makannya, serta kamarnya yang berantakan. Biasanya, saat Abimanyu meninggalkan rumah, Fiera akan melakukan semua itu.
Abimanyu menyesal bukan karena tidak ada yang membantunya mengerjakan itu semua, tapi dia menyesal karena selama ini tidak pernah memedulikan wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu. Dia selalu menganggap kalau Fiera sedikit menjadi bebannya.
Wanita itu selalu ceroboh dan bersikap seenaknya di rumah itu, sampai melupakan seluruh kebaikannya. Sepertinya, dia harus mulai mengubah sikapnya dan berbicara pada Fiera setelah kondisi wanita itu membaik.
“Itu bukan masalah,” jawab Fiera.
“Kalau begitu, apa yang kau butuhkan? Aku akan membelikannya.”
Fiera sedikit ragu untuk mengatakannya. Dia tidak yakin kalau Abimanyu benar-benar bisa membelinya.
“Kenapa?”
“Tidak ada. Aku hanya sedang berpikir. Aku butuh jamu pereda nyeri, kamu bisa membelinya di apotek. Lalu... .” Fiera ragu untuk mengatakan yang dibutuhkan lainnya.
“Lalu apa?”
“Aku tidak memiliki sisa pembalut.”
Hah?
“Kau yang benar saja!” gerutu Abimanyu.
Fiera mencebikkan mulutnya. Sudah menduga kalau Abimanyu keberatan dengan hal itu.
“Ya sudah kalau tidak bisa! Aku akan memesannya sendiri via online.”
Abimanyu terdiam. Dia sedikit ragu, tapi dirinya sudah berkata bisa melakukannya.
“Baiklah, aku akan membelinya. Kau tunggulah.” Abimanyu hendak keluar dari kamar itu, tapi baru satu langkah dia kembali berkata. “Apa kau sudah makan?”
Fiera menggeleng. Saat di kampus tadi, dia buru-buru pulang karena perutnya terlalu sakit dan kepalanya semakin pening.
“Kau ingin makan apa? Biar sekalian aku membelikannya.”
Fiera terlihat berpikir. Dia tidak akan berpura-pura menolaknya. “Aku ingin nasi goreng di depan kompleks.”
“Baik, tunggulah.”
Setelah itu, Abimanyu melangkah pergi.
Fiera terkejut, karena Abimanyu mengiyakan semua permintaannya. Dia tersenyum saat pria itu benar-benar keluar dari kamarnya
“Ternyata, berguna juga aku mogok bicara dan mogok mengerjakan pekerjaan rumah selama tiga hari.” Fiera terkikik geli. Keadaannya sedikit membaik karena hal itu. Dia senang karena akhirnya, setelah hampir satu tahun dia mengalami siksaan masa periode sendirian, ada seseorang yang membantunya kali ini.
***
Abimanyu melajukan mobilnya menuju ke sebuah apotek yang tidak jauh dari rumahnya. Dia menyebutkan apa yang dibutuhkannya, Fiera tadi mengirimkan via chat merek yang biasa digunakannya.
“A-Anda yakin ingin membeli itu?” Seorang apoteker wanita itu terlihat tidak percaya, dia juga terlihat gugup di hadapan Abimanyu.
Abimanyu mendengkus, dia tidak suka dengan tatapan tidak percaya apoteker itu. “Memangnya kenapa?” tanyanya ketus.
“Apakah Anda tahu itu untuk apa?”
“Tentu saja!”
“Ah, seperti itu. Baik, saya akan mengambilkannya.” Apoteker itu tersenyum, dia tidak menyangka kalau kerja sift malamnya akan bertemu dengan pria setampan ini.
Setelah beberapa saat, apoteker itu kembali, membawa apa yang diminta Abimanyu. Pria itu juga membeli beberapa obat untuk persediaan.
“Ini, Pak.”
Abimanyu menerima kantong keresek berisi obat dan menyerahkan uang seratus ribu.
“Kekasih Anda sangat beruntung, ya, memiliki kekasih seperti Anda.” Apoteker itu berusaha akrab, tapi malah membuat Abimanyu tidak nyaman, dia mengabaikannya begitu saja.
Abimanyu menerima uang kembaliannya. Lalu, berkata sebelum melangkah pergi, “Aku sudah menikah!”
Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan meninggalkan apoteker yang kini wajahnya berubah merah padam karena malu. Sejujurnya, apoteker mengatakan itu berharap dijawab kalau Abimanyu tidak memiliki kekasih dan hanya membantu seseorang untuk membelinya.
Namun, ternyata Abimanyu sudah menikah. Dia kecewa sebelum berusaha.
Setelah membeli obat pereda nyeri, Abimanyu menuju minimarket yang ada di seberang apotek. Dia segera berjalan menuju etalase pembalut.
Ada beberapa pembeli di sana, melihat ke arahnya saat Abimanyu mencari pembalut yang diinginkan Infiera. Wanita itu sudah mengirimkan fotonya, dia mengatakan kalau banyak jenisnya dan tidak mau kalau Abimanyu salah memilih.
“Masnya mencari pembalut?” Seorang pelayan toko menghampirinya.
“Iya,” jawab Abimanyu singkat.
“Masnya mau yang seperti apa? Banyak jenisnya... .” Pelayan itu menjelaskan berbagai jenis pembalut, dari yang ukuran standar sampai yang ukuran lebih panjang dan juga lebar.
Abimanyu mulai tidak nyaman karena lagi-lagi pelayan toko ini bukan mau menjelaskan, karena sesekali dia melemparkan godaan padanya.
Abimanyu sedikit jengkel. Dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto yang dikirimkan oleh Fiera. “Aku membutuhkan yang ini.”
Pelayan itu melihat, dia tersenyum. “Oh, itu.” Dia mengambil salah satu jenis pembalut. “Ini, Mas.”
Ada beberapa pengunjung wanita muda melihat ke arah Abimanyu, mereka berbisik-bisik dan tersenyum ke arahnya.
Abimanyu mulai merasa malu sekaligus jengkel. Memang kenapa jika pria membelinya? Bukankah di setiap keluarga pasti ada wanita?
Abimanyu membawanya ke kasir untuk membayarnya, saat menunggu antrian, tiba-tiba seorang ibu-ibu berkata.
“Ih, beruntungnya yang jadi pacar kamu, Nak.” Ibu-ibu itu memuji dia sedikit tertawa. “Kalau kamu putus sama pacar kamu, nanti ibu kenalkan sama putri ibu. Dia cantik, loh.”
Abimanyu menoleh pada ibu-ibu yang sedang berbicara itu. Dia hanya memasang wajah datarnya. Apa maksudnya?
Abimanyu hanya sedikit menarik ujung bibirnya. Bagaimana mungkin ada seorang ibu yang mengatakan hal seperti itu? Dia segera membayar belanjaannya dan segera meninggalkan mini market. Perasaannya sedikit jengkel. Hanya karena dia membeli obat pereda nyeri haid haid dan membeli pembalut, dirinya sampai menjadi pusat perhatian.
Tanpa Abimanyu sadari, ternyata di mini market itu ada dua orang wanita yang tak lain adalah mahasiswanya. Mereka terkejut saat melihat apa yang dibeli Abimanyu.
“Wah... kau lihat apa yang dibeli Pak Abimanyu?”
“Tentu saja. Itu pembalut. Menurutmu itu untuk siapa? Apa untuk ibunya? Soalnya, setauku Pak Abi anak tunggal. Aku tahu dari Bu Gina.” Mahasiswa itu terkikik, dia sering mendapatkan informasi dosen tampannya dari petugas perpus yang suka bergosip.
“Bukannya Pak Abi asalnya dari Palembang, ya? Itu artinya orang tuanya juga di sana.”
“Kalau begitu, berarti untuk pacarnya.” Kedua orang itu seketika terkikik lagi dengan hipotesa mereka. “Tapi siapa pacarnya?”
“Jangan-jangan Bu Almira, dosen baru kita? Kau lihat, kan, kalau mereka dekat? Padahal, Bu Almira baru saja mengajar di kampus kita.”
“Benar juga... .”
Pembicaraan kedua mahasiswa itu berlanjut. Mereka terus menerka-nerka hubungan antara Abimanyu dengan dosen baru mereka yang cantik, yang sekarang menjadi pembicaraan semua mahasiswa laki-laki karena kecantikannya.