Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cumbu Pertama
Abdi tertegun, pikirannya terombang-ambing oleh perintah tak terduga dari Agvia. “Peluk Kusuma,” katanya tegas, tanpa memberinya ruang untuk bertanya.
Luka dangkal di lengan Abdi yang teriris pisau bedah terasa perih, namun rasa ingin tahunya menenggelamkan rasa sakit itu. Dia memilih memeriksa pemuda yang kini tergeletak tak berdaya di lantai dingin.
Kusuma melangkah mundur, tubuhnya gemetar. Kepalanya tertunduk dalam, sementara jemarinya mengepal erat hingga memutih. Ketakutan tampak membelenggu jiwanya. Bayangan samar dari arwah-arwah gentayangan mulai bermunculan, menyerbu Kusuma dari segala arah, memohon pertolongan dengan bentuk-bentuk yang mengerikan.
“Kusuma, dia cuma pingsan. Ayo ikut aku keluar. Biar yang lain mengurus pemuda ini,” ucap Dokter Abdi dengan nada setenang mungkin, meski suasana mencekam menggantung di udara.
Namun, tak ada jawaban. Kusuma tetap diam di tempatnya, tubuhnya semakin melipat seolah ingin menghilang dari pandangan dunia.
Abdi menghela napas dan mendekat perlahan, tatapannya terpaku pada sosok Kusuma yang seperti dikepung ketakutan tanpa akhir.
“Kusuma, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu jadi seperti ini?” tanyanya lembut, mencoba menjangkau hatinya.
“Jangan dekat-dekat! Pergi! Jangan mendekat!” teriak Kusuma tiba-tiba, suaranya menggema penuh kepanikan.
Di ambang pintu, Agvia berteriak, suaranya penuh urgensi, hampir seperti perintah terakhir.
“Mas Abdi, peluk Kusuma! Sekarang juga! Dan... buka pintunya, Mas!”
Tanpa sempat berpikir panjang, Abdi langsung meraih tangan Kusuma. Ia menariknya dengan lembut, tapi tegas, tanpa sempat memeluk gadis itu.
“Tidak! Jangan! Jangan ganggu aku!” Kusuma menjerit, ketakutan membayang di matanya. Namun, saat tubuhnya gemetar, ia refleks menyembunyikan wajahnya di balik bahu Abdi, seolah itu satu-satunya tempat berlindung dari ancaman yang hanya dia bisa lihat.
Abdi tertegun sesaat, tapi segera menguasai diri. Dengan gerakan perlahan, ia merangkul Kusuma, membiarkan gadis itu merasa aman di pelukannya. Sementara itu, tangan kanannya meraba pintu, membukanya dengan gerakan cepat namun hati-hati.
“Mas, peluk Kusuma kuat-kuat! Jangan biarkan dia melihat ke mana-mana!” seruan Agvia datang lagi, nada suaranya seperti peringatan yang tak bisa diabaikan.
“Maksud kamu apa?!” balas Abdi dengan nada penuh tanda tanya, bingung dengan urgensi dibalik kata-kata Agvia.
Namun, sebelum jawaban itu datang, Agvia sudah pergi, meninggalkan ruangan tanpa penjelasan. Abdi menghela napas panjang, menatap Kusuma yang masih gemetar dalam pelukannya.
“Kusuma, aku harus obati lukamu dulu.” Dengan lembut, Abdi melepaskan pelukannya. Ia membimbing Kusuma ke ranjang di ruangan sebelah.
Buliran air mata pun jatuh menetes dan Kusuma tak mau melepaskan tangannya. Ia terus melingkarkan kedua tangannya sambil matanya terpejam.
"Kusuma ada apa dengan kamu? lepaskan tanganmu. Aku mau mengobati lukamu Kusuma."
Abdi berusaha melepaskan dengan kedua tangannya. Akan tetapi, ketakutan Kusuma membuat ia justru erat melingkarkan tangannya hingga membuat Abdi terpeleset dan jatuh berpelukan.
Bibir Abdi tanpa sengaja menyentuh Bibir Kusuma. Abdi mencoba mengangkat kepalanya, namun Kusuma yang masih belum bisa mengendalikan diri memberikan tekanan pada leher Abdi hingga mereka sangat dekat.
Kusuma tersenyum perlahan ia melepaskan kedua tangannya yang sedari tadi merangkul Abdi. Kusuma menyentuh bibir Abdi yang merah dengan jemarinya.
Tangan kanan Abdi menyentuh leher Kusuma berharap agar Kusuma bisa memperdalam cumbunya. Namun, pandangannya tertumbuk pada telapak tangannya yang berlumuran darah yang tergores tadi.
Agvia yang masuk ke dalam ruangan dan mendapati mereka dalam posisi yang tak terduga, menarik tubuh Abdi. Bukan ucapan terima kasih yang pria itu dapatkan, namun sebuah pukulan mendarat di wajahnya.
"Apa-apaan kamu, Vi!" ucap Abdi dengan tangannya memegang pipi dan sudut bibir yang berdarah.
"Kamu ini ya, Mas. Mengambil kesempatan dalam ketidak berdayaan Kusuma."
"Kamu ini ti-,"
Abdi terdiam ketika mendengar jeritan dari Kusuma yang didatangi para arwah gentayangan. Kusuma duduk meringkuk di ujung kasur. Kedua kakinya ia lipat dan ketakutan.
Agvia mendekati Kusuma dan memeluknya sahabatnya agar merasa tenang.
"Mas, cepat bersihkan luka dan tutup agar darah tidak mengalir."
"Tolong ambilkan kain apa saja untuk menutup mata," ujar Agvia.
Abdi membuka tas miliknya dan memberikan syal kain milik Abdi kepada Kusuma.
Agvia menutup mata Kusuma dan memberikan Kusuma kepada Abdi untuk di rawat lukanya. Sementara Abdi masih penasaran kenapa mata Kusuma tertutup, sambil merawat lukanya.
Dengan penuh kesabaran, Abdi mengobati luka Kusuma. Saat itu pula keadaan sekar membaik. Tubuh Kusuma masih terasa lemas dan Adit pun terpaksa keluar karena mendapatkan panggilan oleh dokter Rido.
"Mas jaga Kusuma baik-baik. Jangan macam-macam," pesan Agvia.
Abdi membersihkan semua sampah dan peralatan medis yang baru saja ia gunakan. Sesekali ia mencuri pandang terhadap Kusuma yang matanya masih tertutup. Gadis itu terdiam dan tak bicara, ia hanya memainkan kedua telapak tangannya.
Beberapa menit kemudian, Abdi mendekat dan meminta maaf.
"Kamu siapa?" tanya Kusuma.
"Aku Abdi, Kusuma!"
"Dokter maaf, aku sudah merepotkan. Tadi dokter pasti lihat aku menjerit, ketakutan, ya?"
"Iya! Aku juga minta maaf atas perilaku aku tadi."
"Memang ada apa, Dok?"
"Ya tadi soal aku dan kamu."
"Memang ada apa, Dok? Saya benar-benar minta maaf, karena saya tidak ingat apa-apa jika saya terluka benda tajam," terang Kusuma.
Abdi pun terdiam, ia cukup tenang dengan apa yang barusan Kusuma ucapkan. Kusuma tidak mengingat ciuman yang baru saja terjadi.
"Ya sudah kamu aku antar ke rumah singgah dan beristirahatlah di sana. Aku akan membawamu dengan kursi roda.”
***
Sesampainya di rumah singgah..
"Mas bagaimana keadaan Kusuma?" tanya Agvia.
"Dia sedang tidur."
"Maafin aku tadi, ya, Mas!" sesal Agvia.
Rasa penasaran Abdi pun terjawab. Kini ia tahu kenapa Kusuma melupakan ciuman yang tadi terjadi.
"Tapi, mas tadi gak ada ambil kesempatan kan?"
Abdi berbohong, ia hanya menggelengkan kepalanya sambil menunduk.
"Apa kamu jatuh cinta dengan Kusuma, Vi?"
"Dibilang cinta sih enggak. Dibilang benci juga enggak. Tapi entah aku sayang banget sama Kusuma."
"Sudahlah ayo kita tidur, besok harus berangkat pagi."
Jadwal sore tadi di batalkan dan di ubah besok pagi.
Melihat Agvia yang tertidur pulas, Abdi hanya bisa menatap dari seberang. Pikirannya melayang, membayangkan ciuman yang terjadi di antara Kusuma dan dirinya.
"Kenapa aku membayangkan tadi!" batin Abdi.
Terdengar sayup-sayup seseorang membuka pintu, Abdi pun beranjak dari ranjang dan mencari sumber suara.
Abdi terdiam dan menatap Kusuma dari pintu kamarnya. Gadis itu masih menutup mata dengan meraba dinding dia mencoba berjalan.
Abdi pun mendekat dan membantu Kusuma dalam berjalan.
"Makasih, Dok!"
"Dari mana kamu tahu ini aku, Kusuma!"
"Di sini hanya ada kalian berdua, sedangkan Agvia pasti akan marah kalau tahu aku kaya gini."
"Silahkan duduk. Mau aku ambilkan minum apa?"
"Aku lapar, Mas. sedari tadi pagi belum isi apa-apa."
"Adanya mie, mau?" tanya Abdi.
Kusuma mengangguk dan Abdi membuatkan mie dengan tersenyum sendiri, ia menjadi teringat adiknya Bilqis yang lama tak ia temui.
Mie goreng disajikan di meja, melihat Kusuma kesusahan karena mata tertutup ia pun menyuapinya dengan penuh kasih.