"Berapa uang yang harus saya keluarkan untuk membeli satu malam mu?"
Erick Davidson, pria tajir dengan sejuta pesona, hendak menjebak seorang gadis yang bekerja sebagai personal assistan nya, untuk jatuh ke dalam pelukannya.
Elena cempaka, gadis biasa yang memiliki kehidupan flat tiba-tiba seperti di ajak ke roler coster yang membuat hidupnya jungkir balik setelah tuan Erick Davidson yang berkuasa ingin membayar satu malam bersama dirinya dengan alasan pria itu ingin memiliki anak tanpa pernikahan.
Bagaimana kisah cinta mereka? ikuti bersama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Park alra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GCTE | Bab 06
Setelah kejadian di club hari itu, Elena menghilang. Dan Erick merasa kehilangan, sudah dua hari gadis itu ijin tak masuk dengan alasan sakit, tentu Erick tahu itu hanya alibi yang sebenarnya Elena membutuhkan waktu seorang diri, dan Erick memaklumi hal itu.
"Dua proposal dari dua direktur yang berbeda, kita persentasi kan di rapat nanti, bilang pada mereka untuk bersiap- siap."
"Baik pak."
Karena ketidakhadiran Elena, tugasnya di gantikan oleh karyawan lain yang memang sudah Erick percayai.
Tari, ijin pamit diri dengan dua folder berkas di tangannya. Erick hanya mengangguk sebagai reaksi, hari ini pun ia merasakan kehampaan karena Elena tak berada di sampingnya.
Pria itu menekan-nekan ujung pena di atas meja sambil mengingat-ingat memori masa lalu tentang pertama kali ia bertemu dengan Elena, gadis yang sudah mencuri seluruh hatinya, hingga kini ia tetap memilih untuk melajang di tengah gempuran ayahnya yang terus mendesaknya untuk menikah.
Elena cempaka. Apa kalian percaya cinta pandangan pertama? Awalnya Erick muda, tak percaya dengan apapun hal yang berkaitan dengan perasaan konyol bernamakan cinta, namun saat pertama kali ia melihat Elena, jantungnya yang berdegup kencang telah menjelaskan semuanya. Ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis bermanik coklat indah saat tak sengaja melihatnya di pemberhentian lampu merah.
Wajah teduh yang pertama kali ia lihat di saat pemberhentian lampu merah kala itu, gadis tersebut sedang membantu seorang nenek menyebrang jalan, dan saat pertama kali mata mereka saling beradu dalam pandangan karena ketidaksengajaan ada getar- getar aneh yang tidak bisa Erick elakkan.
Hingga pertemuan mereka kedua kali, kala itu ia melihat mobilnya yang penuh gurat lecet, dan sesuatu menempel di badan mobil.
Sebuah kertas yang di tempel dengan pecahan uang lima puluhan di sana lalu tertulis permohonan maaf di bawahnya.
[Siapapun pemilik mobil ini, saya tak sengaja menabrak nya dengan sepeda saya. Maaf, saya sudah tanggung jawab, tapi cuma ada lima puluh ribu, tolong jangan penjarakan saya. Sekali lagi saya minta maaf]
Erick tertawa, itu adalah permintaan maaf yang paling lucu, mungkin itulah satu-satunya moment ia bisa tertawa lepas. Tak kalah pandangan bertubrukan pada seorang gadis berseragam SMA yang tak jauh dari tempatnya berdiri sedang menatap cemas ke arahnya sambil memegang setir sepeda yang sedang ia bawa, berulah Erick ketahui jika gadis itulah yang menabrak mobil nya. Dan kala itu ia menyadari, jika Elena cempaka, adalah gadis yang berhasil mencuri hatinya.
Mengingat kembali moment manis itu Erick tersenyum.
Tak lama, kemudian ia mengesah panjang. Erick kembali mengambil sesuatu yang selalu ia bawa kemanapun dirinya pergi, kenangannya bersama Elena, sebuah jepit rambut yang kini semakin lama semakin mulai pudar warnanya.
Ia menemukannya ketika pertemuan ketiga kali mereka tanpa sengaja, gadis berseragam putih abu-abu yang selalu memakai jepitan yang sama setiap harinya tidak tahu ia telah menjatuhkan nya dan Erick lah mengambilnya. Ia anggap ini adalah sebuah kompas yang akan mempertemukannya kembali dengan gadis itu. Dan tentu setelah lima tahun berlalu itu benar-benar terwujud, tapi Erick harus berjuang keras untuk memenangkan hati gadis pujaannya.
"Kapan saya bisa menyematkan kembali jepitan ini di rambut mu, Elena."
Erick mendengkus geli. Jatuh cinta memang terkadang segila itu.
***
"Sudah lah Elena, kapan kau akan berhenti menangis?" seseorang menggerutu melihat gadis yang kini sedang duduk di meja makan menyantap hidangan nya tapi air matanya terus saja mengalir.
"Kau tidak tahu apa-apa Dea. Ini namanya patah hati, rasanya sakit sekali."
Dea, nama gadis yang di sebutkan Elena itu mengerling malas. "Sudah dua hari yang kau lakukan hanya menangis dan tertidur. Sementara laki-laki brengsek itu bisa tetap foya-foya bersama wanita lain di luar sana tanpa memikirkan mu. Apa kau sudah gila?!" Dea sudah selesai membilas piring kotor lalu mengelap tangannya.
Elena justru semakin tergugu. "Tapi tetap saja, dia pacar pertama ku, ku kira aku bisa menggantungkan seluruh harapan ku padanya, menjadi sepasang suami-istri dan aku tidak akan merasa kesepian lagi, tapi ternyata--" Tak sanggup melanjutkan ucapannya, Elena kembali terisak.
"Astaga lihat lah diri mu, Elena cempaka!" entah bagaimana tiba-tiba Dea membawa cermin bulat ke hadapan nya, hingga terlihat lah jelas wajah kusam dengan mata panda besar di sekilingnya juga kantung yang terlihat semakin membesar di sana.
"Kau terlihat seperti gembel," kata Dea lagi mencibir.
Dea yang sudah lelah melihat sahabatnya ini yang terus-terusan terpuruk lantas duduk di kursi di depannya.
"Sudah ku katakan dari dulu kan, Vicky itu bukan lelaki yang baik-baik, dan sekarang terbukti benar.Seharusnya kau sadar, menangisinya seperti ini sama saja seperti merendahkan diri mu."
Dea terdiam ketika melihat Elena termangu cukup lama.
"Kau benar." melongo, Elena baru menyadari kekeliruannya. "Kenapa aku harus bersedih, bukankah harusnya aku senang terbebas dari laki-laki brengsek seperti dia."
"Nah, itu akhirnya kau sadar." gemas sekali Dea, rasanya ingin mencakar temannya ini saking gemasnya.
"Kau benar Dea, kenapa aku baru menyadari nya sekarang." lekas, Elena mengusap air mata kasar, menarik kembali cairan ke dalam hidung nya.
"Harusnya memang dari kemarin sadarnya, tapi berhubung kau memang bodoh dalam masalah cinta." cibir Dea membuat Elena mencebik.
"Aku hanya sakit hati, semua sudah ku berikan untuk nya, tapi yang ku dapat kan adalah penghianatan nya."
"Ck, ck, si gila Vicky itu memang brengsek banget. Awas saja sampai bertemu dengan ku, ku tendang dia sampai ke Palung Mariana," ucap Dea berapi- api,memang dasarnya sifat sahabat nya ini bar-bar, jadi Elena tak terkejut.
"Aku ingin melupakannya Dea, aku tak ingin merasa terpuruk lagi." lirih Elena.
"Ya memang begitu seharusnya. Ada banyak ikan di laut, begitupun dengan pria, ada banyak di luar sana."
Kemudian Dea tersenyum lembut, mengambil cermin bulat itu kembali lalu memperlihatkan nya kepada Elena.
"Lihatlah dirimu, kau cantik bahkan teramat cantik, kau wanita cerdas, berkarir, selama ini kau hidup tanpa merepotkan siapapun, Tuhan pastinya tak akan tidur melihat mu yang sudah berjuang selama ini.Yakinlah pada-Nya, pasti dia sudah menyiapkan jodoh yang terbaik untuk mu."
Elena memandang pantulan wajahnya, mengingat kembali perjuangan hidupnya selama ini, ia mempercayai apa yang di ucapkan oleh Dea.
Elena kemudian tersenyum pada Dea, sahabatnya ini memang selalu bisa memberikannya motivasi dan semangat.
"Tapi aku tidak yakin," kata Elena pelan, ia sudah menanamkan dalam hati untuk tidak percaya lagi pada cinta.
"Jangan seperti itu, pasti akan ada waktu nya kau bisa bahagia dengan laki-laki yang tepat," ucap Dea kembali meyakinkan.
"Apa kah suatu hari nanti ada pria yang seperti itu? Yang akan menyayangi ku dengan tulus dan bisa menjadi rumah untuk ku?"
"Tentu saja, pasti ada." Dea kembali mengulum senyum, sebagai teman Elena sejak lama, ia sudah seperti saksi bisu tentang betapa kerasnya perjuangan gadis itu selama ini, hidup tanpa bisa merasakan kasih sayang orang tua pastilah berat dan tak semua bisa melaluinya seperti yang Elena lalui. Dea salut berapa tegar nya Elena bisa berdiri dengan kakinya sendiri selama ini.
"Aku yakin, pasti akan ada pria yang akan sangat mencintai mu tidak peduli dari mana asal mu, atau status mu. Dia akan menyanyangimu sepenuh hati hingga apapun rintangan akan ia terjang demi dirimu." ungkap Dea lagi, mengusap sisa jejak air mata di pipi Elena.
"Semoga saja Dea." Elena tersenyum, kembali memupuk harapan baru setelah patah hati yang berhasil di laluinya.