Teror pemburu kepala semakin merajalela! Beberapa warga kembali ditemukan meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam, ternyata semuanya berkaitan dengan masalalu yang kelam.
Max, selaku detektif yang bertugas, berusaha menguak segala tabir kebenaran. Bahkan, orang tercintanya turut menjadi korban.
Bersama dengan para tim terpercaya, Max berusaha meringkus pelaku. Semua penuh akan misteri, penuh akan teka-teki.
Dapatkah Max dan para anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku? Atau ... mereka justru malah akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPK10
Liam menatap ponsel Jessie yang bergetar di atas meja kerjanya. Kening pria itu mengernyit, sebuah pesan yang masuk membuat kedua tangannya tiba-tiba mengepal erat. Manik hitam pekatnya menatap tajam Jessie.
“Kau memberi sampel darah di jaket ku pada Clara?!” Kedua tangan Liam mengepal erat.
Deg!
Pertanyaan Liam sukses membuat jantung Jessie berdegup kencang, diiringi kedua lutut yang gemetar.
“Liam, i-tu bisa aku jel—”
Telapak tangan Liam mengudara, ia terlalu muak untuk mendengar penjelasan. “Aku nggak tau, halusinasi apa lagi yang ada di kepala mu itu. Tapi, ada yang perlu kamu tau, Jess. Aku ... lelah sama kamu ...,” lirihnya.
Degup jantung Jessie semakin kencang. Ekspresi wajah Liam, seolah berkata akan meninggalkan dirinya. Jessie menyambar jemari Liam, menggenggamnya erat. Namun, Liam menepis kasar.
“Jika bukan karena kejadian itu ... kamu kira, aku sudi menikah dengan wanita kacau seperti mu? Nggak, Jess! Aku nggak sudi! Wanita seperti Anna, harus digantikan oleh wanita seper—”
PLAK!
Telapak tangan yang baru saja menampar keras pipi Liam, kini bergetar. Manik Jessie menatap nyalang sang suami.
“Terus saja, terus saja kamu membandingkan aku dengan jalang itu, Liam!” pekik Jessie. “Aku? Wanita kacau? Ha ... ha ... setidaknya aku nggak hamil duluan seperti jalang yang kamu bangga-banggakan itu, ‘kan?”
“Kamu mengukur kekacauan mu itu dengan kehamilan Anna? Padahal, hari itu kamu datang kembali ke ruangan kerja ku dengan nafsu liar mu. —Kau menjebak ku dengan sandwich buatanmu itu, iya ‘kan?”
Bibir Jessie menganga lebar, “apa maks—”
“Mau menyangkal? Jika kau tidak menjebak ku, kau kira aku akan sudi meniduri dirimu?!” Liam menatap sengit.
“Dan ... satu lagi. Nggak hamil duluan katamu?” Liam membuka laci meja kerjanya. Mengeluarkan sebuah dokumen dan menghempaskan lembaran kertas itu ke atas meja. “Memangnya kamu bisa hamil, sementara rahim pun tak punya?”
Setelah berkata demikian, Liam meninggalkan Jessie yang mematung di tempat.
‘Rahim? Aku nggak punya rahim?’ Batin Jessie seraya berusaha mengingat potongan puzzle masa lalunya.
Suara bantingan pintu menyadarkan Jessie. Wanita itu menoleh ke arah pintu yang baru saja di tutup.
Jessie memijat keningnya, kepalanya terasa berat. Matanya menatap lurus ke arah dokumen di atas meja, dengan hati gundah ia lekas menyambar dan membacanya. Ia masih tak mengerti dengan apa yang dikatakan Liam. Mana mungkin dirinya tak memiliki rahim, begitu pikirnya.
Namun, semua informasi yang tertera di dalam dokumen seolah menampar kasar wajahnya.
“S-sejak kapan aku menjalankan operasi pengangkatan rahim?!” kening Jessie berkerut. Ia masih berusaha menyatukan potongan-potongan puzzle dari masa lalu yang sudah ia lupakan.
Potongan masa lalu kembali melintas, Jessie ingat dia pernah berbaring di ruangan operasi. Jessie menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk melupakan memori yang membuat kepalanya sakit luar biasa.
Keringat dingin di keningnya mulai bercucuran, napasnya tak beraturan. Ia berusaha melupakan trauma masa lalunya. Jessie menatap ponselnya di atas meja, lalu menyambar benda pipih itu. Pesan dari Clara segera ia baca.
Clara : Aku sudah memeriksa yang kamu minta, Jess. Itu hanya darah hewan.
Pesan dari Clara semakin membuat kepala Jessie berdenyut. Jessie mengeluarkan botol obat dari saku cardigan nya, mengambil sebutir pil penenang dan lekas menelannya. Sebotol air di atas meja pun segera ia sambar dengan tangan bergetar.
“Enggak, semua itu ... hanya halusinasi ...,” gumamnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Suara keyboard Ethan terdengar cepat, memenuhi ruangan kecil yang penuh dengan layar komputer menyala. Di salah satu layar, terpampang data yang baru saja ia temukan: sebuah file lama yang hampir tidak mungkin diakses, bahkan bagi seorang hacker sekelas dirinya. Sambil mengetik, ia bersenandung kecil, sebuah kebiasaannya saat fokus.
“Gue dapet sesuatu, Bos!” Katanya tanpa menoleh ke arah Max yang berdiri di belakangnya.
Max menyilangkan tangan di dada, menatap layar dengan serius. “Apa itu, Ethan?”
Ethan menunjuk ke salah satu file yang berhasil ia buka. “Tato ‘196506A’ yang lo suruh gue cari ... ternyata lebih dalam dari yang kita kira. Itu bukan cuma angka random. Ini kode eksperimen medis lama. Gue baru aja nemuin file arsip rahasia dari sebuah organisasi kesehatan bayangan. Kayaknya mereka pernah ngelakuin eksperimen ilegal di tahun 90-an.”
Max mengerutkan kening. “Eksperimen medis? Maksud lo, eksperimen ke manusia?”
“Ya, Bos.” Ethan mengangguk, suaranya serius. “Gue baru bisa buka sebagian file. Dari yang gue baca, eksperimen ini dilakukan ke sekelompok orang dengan tujuan ... ya, semacam modifikasi psikologis. Mereka ngelakuin hal-hal yang nggak manusiawi. Subjeknya sebagian besar anak-anak yatim piatu. Mereka nggak punya keluarga, jadi nggak bakal ada yang nyariin kalau mereka tiba-tiba hilang.”
Max menarik napas panjang. Informasi ini terlalu gila untuk dipercaya. “Terus, ada nama Liam di situ?”
Ethan menggeleng. “Belum. Tapi, gue nemu satu petunjuk menarik. Salah satu subjek eksperimen selamat dari tragedi itu. Gue coba lacak jejaknya, dan kelihatannya dia sekarang tinggal di pinggiran kota. Namanya ... Daniel.”
Max menatap Ethan dengan tajam. “Daniel ini ada hubungannya sama kasus pembunuhan kita?”
“Gue nggak tahu pasti.” Jawab Ethan sambil mengangkat bahu. “Tapi yang jelas, tato ‘196506A’ itu dicatat di dokumen eksperimen. Dan lo tahu kan, tato yang sama ada di salah satu korban kita.”
Max mengangguk pelan. Otaknya bekerja cepat, mencoba menghubungkan semua potongan informasi yang baru saja ia terima. “Kalau gitu, kita harus temuin Daniel. Mungkin dia tahu sesuatu.”
Ethan tersenyum kecil. “Gue udah dapet alamatnya, Bos. Tinggal lo datengin aja.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jessie duduk di kamarnya. Ia memandangi laptopnya dan mulai mencari informasi tentang Liam di internet. Ia tahu ini tidak etis, tapi ia butuh jawaban. Ia tidak pernah bisa percaya apa yang dikatakan Liam tentangnya tadi, yang ia percayai saat ini adalah Liam memanipulasi nya. Jessie mengetik nama lengkap Liam di mesin pencari, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan siapa sebenarnya pria yang selama ini ia cintai.
Namun, hasil pencarian itu tidak menunjukkan apa-apa yang mencurigakan. Liam tampak seperti pria sempurna. Ia memiliki pekerjaan yang baik, latar belakang pendidikan yang bagus, dan tidak ada catatan kriminal. Tapi Jessie tahu, kadang-kadang, kesempurnaan adalah tanda bahaya.
Jessie memutuskan untuk mencoba cara lain. Ia membuka email Liam di laptopnya, yang kebetulan sudah dalam keadaan login. Tangannya gemetar saat ia mulai membaca pesan-pesan di dalamnya. Sebagian besar email itu adalah tentang pekerjaan, tapi, ada satu email yang menarik perhatiannya. Email itu berasal dari seseorang yang tidak dikenal, dengan subjek: “Kita perlu bicara.”
---
Max dan Ethan tiba di sebuah rumah tua di pinggiran kota. Rumah itu terlihat kumuh, dengan cat yang mengelupas dan jendela yang sebagian besar tertutup papan kayu. Ethan memandang rumah itu dengan ragu.
“Lo yakin ini tempatnya, Ethan?” tanya Max sambil menatap sekeliling.
“Yakin, Bos,” jawab Ethan. “Tapi gue saranin lo hati-hati. Tempat ini kelihatan kayak tempat horor di film-film.”
Max tersenyum tipis. “Lo takut?”
“Gue nggak takut, cuma ... ya gitu deh. Lo ngerti kan?”
Max menggeleng pelan, lalu melangkah menuju pintu depan. Ia mengetuk pintu itu beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Setelah menunggu beberapa detik, ia mencoba mengetuk lagi, lebih keras kali ini.
Akhirnya, pintu itu terbuka sedikit, dan seorang pria tua muncul di baliknya. Wajahnya kusut, dengan rambut yang berantakan dan mata yang tampak lelah. Pria itu menatap Max dengan curiga.
“Siapa kalian?” tanyanya dengan suara serak.
“Saya Max, dan ini Ethan,” jawab Max dengan tenang. “Kami ingin bicara tentang eksperimen medis yang terjadi puluhan tahun lalu. Apa Anda Daniel?”
Pria itu membeku sejenak, matanya melebar. “Eksperimen medis? Aku nggak tahu apa yang kalian bicarakan.”
Max mencoba bersikap sabar. “Kami tahu Anda adalah salah satu korban yang selamat. Kami hanya ingin tahu apa yang Anda ingat. Informasi Anda mungkin bisa membantu menyelesaikan sebuah kasus.”
Daniel menggeleng dengan cepat. “Tidak. Aku tidak mau terlibat. Pergi dari sini!”
Pria itu mencoba menutup pintu, tapi, Max menahannya. “Tolong, Pak. Kami hanya ingin tahu apa yang Anda alami. Kami tahu ini sulit, tapi, ada orang-orang yang membutuhkan jawaban.”
Daniel terdiam sejenak, lalu membuka pintu itu sedikit lebih lebar. “Masuklah.”
Max dan Ethan melangkah masuk, mengikuti Daniel ke ruang tamu yang berantakan. Pria itu duduk di kursi tua, sementara Max dan Ethan duduk di sofa yang sudah sobek di beberapa bagian.
“Apa yang kalian ingin tahu?” tanya Daniel tanpa basa-basi.
“Apakah Anda ingat apa yang terjadi selama eksperimen itu?” Max bertanya.
Daniel menghela napas berat. “Aku ingat ... rasa sakit. Mereka menyuntikkan sesuatu ke tubuhku, berulang kali. Mereka bilang itu untuk kebaikan manusia, tapi, aku tahu itu bohong. Aku melihat teman-temanku mati satu per satu. —Aku tidak tahu bagaimana aku bisa selamat.”
Max menatap Daniel dengan serius. “Apa Anda ingat siapa yang melakukan eksperimen itu? Wajah mereka, nama mereka?”
Daniel menggeleng pelan. “Aku tidak ingat wajah mereka. Mereka selalu memakai masker. Tapi ada satu hal yang aku ingat ... suara seorang pria. Suaranya dingin, seperti tidak punya perasaan. Aku yakin dia adalah pemimpin mereka.”
Max mencoba mencerna informasi itu. “Apakah Anda pernah melihat tato seperti ini?” Ia menunjukkan foto tato “196506A” yang diambil dari salah satu korban.
Daniel menatap foto itu dengan mata yang melebar. “Tato itu ... aku pernah melihatnya. Itu adalah kode subjek eksperimen. Aku juga punya tato yang sama, tapi dengan nomor yang berbeda.”
Pria tua itu menarik lengan bajunya, menunjukkan tato pudar di lengannya. Nomor di tato itu adalah “196504B.”
Max menatap tato itu dengan perasaan campur aduk. Ia tahu ini adalah petunjuk besar, tapi masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.
---
Di lain tempat, dua orang sedang duduk di sebuah kafe kecil, kedua wajah mereka tersembunyi di balik topi dan kacamata hitam. Percakapan mereka terdengar tegang.
“Kamu nggak bisa terus begini!” kata orang itu dengan suara rendah. “Semua ini akan terbongkar cepat atau lambat.”
Lawan bicaranya tersenyum tipis, tapi matanya dingin. “Aku tahu apa yang aku lakukan. Kamu pikir aku takut?”
Orang itu menghembuskan napas kasar. “Aku hanya ingin mengingatkanmu. Jika ini gagal, aku tidak akan ikut menanggung akibatnya.”
Sorot mata yang tadinya dingin, kini menatap lawan bicaranya dengan tajam. “Kamu nggak punya pilihan. Kita semua sudah terlibat terlalu jauh.”
*
*
*
kembali kasih Kaka...🥰🥰
w a d uuuuuuhhhhh Bellaaaaa....
jadi inspirasi kalau di dunia nyata besok ada yg jahat² lagi mulutnya, siapkan jarum bius😅🤣😂.
tapi sayangku aku takut jarum suntik😅