Kael Draxon, penguasa dunia bawah yang ditakuti dan dihormati pada masa nya. Namun, di puncak kekuasaan nya, Kael Draxon di khianati oleh teman kepercayaan nya sendiri, Lucien.
Di ujung kematian nya, Kael bersumpah akan kembali untuk balas dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon asep sigma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Buruk
Kael berdiri di tengah kehampaan. Bayangan-bayangan berkelebat di sekelilingnya, berbisik-bisik dengan suara yang samar. Udara terasa berat, seolah menekan dadanya.
Tiba-tiba, di hadapannya berdiri dua sosok yang begitu dikenalnya—Lukas dan Lucien. Keduanya menatapnya dengan seringai penuh penghinaan.
"Ini adalah kutukan untukmu..."
"Takkan ada yang setia kepadamu..."
"Lebih baik mati saja, dan jangan mencoba untuk balas dendam."
Suara mereka bergema, berulang-ulang, menyusup ke dalam pikirannya seperti racun.
Kael mengepalkan tangannya. Amarah mendidih di dalam dirinya. Lukas, teman yang ia percayai untuk balas dendam. Lucien, pengkhianat yang dulu ia anggap saudara sendiri.
"Tutup mulut kalian!" Kael meraung, lalu melesat ke depan, meninju wajah mereka dengan sekuat tenaga.
Namun tinjunya menembus tubuh mereka, seperti menghantam udara kosong. Lukas dan Lucien hanya tertawa, suara mereka bergema semakin keras.
"Ini adalah kutukan untukmu..."
"Takkan ada yang setia kepadamu..."
"Lebih baik mati saja..."
Kael menggertakkan giginya, menutup telinganya dengan kedua tangan. Tapi suara itu semakin keras, semakin menusuk kepalanya. Dunia di sekelilingnya mulai berputar, bayangan hitam melingkupinya.
Kael terbangun dengan napas tersengal.
Tubuhnya basah oleh keringat, jantungnya berdebar kencang. Cahaya remang dari lampu jalan yang masuk melalui jendela membuat ruangan terasa dingin dan sepi.
Ia duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya.
Mimpi itu... begitu nyata.
Tangannya masih gemetar. Perasaan marah, kecewa, dan frustasi bercampur menjadi satu.
Kael menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya.
"Aku tidak akan jatuh karena mimpi bodoh ini."
Ia mengepalkan tangannya erat. Bagaimanapun juga, dia akan membalas dendam.
Tak peduli kutukan, tak peduli pengkhianatan. Kael akan terus maju.
...****************...
Udara malam di teras Mansion Dante terasa sejuk. Kael duduk di salah satu kursi kayu, menyesap minuman energi yang baru saja ia ambil dari lemari pendingin. Setelah mimpi buruk yang mengusik tidurnya, ia butuh sesuatu untuk menenangkan pikirannya.
Langkah kaki terdengar mendekat. Kael menoleh dan melihat Dante keluar dari dalam rumah, juga membawa sekaleng minuman.
"Tidak bisa tidur, Zayne?" tanya Dante sambil meneguk minumannya.
Kael menatapnya sebentar, lalu mengangguk.
Dante bersandar di pagar teras, menatap Kael dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada sedikit rasa penasaran bercampur kasihan di matanya.
"Apa yang membuatmu, seorang anak kecil berumur dua belas tahun, ingin melawan Cobra Zone?"
Kael terdiam. Ia menatap kaleng minumannya, memutar-mutar isinya sebelum akhirnya menghela napas.
"Ceritanya panjang, bahkan lebih panjang dari yang kau kira."
Dante menaikkan satu alisnya. "Malam masih panjang, mungkin kau bisa bercerita."
Kael awalnya ragu, tapi ada sesuatu dari cara Dante berbicara yang membuatnya merasa nyaman. Akhirnya, ia mulai bercerita.
Namun, ia tidak menceritakan masa lalunya sebagai Kael Draxon. Ia hanya menceritakan penderitaan yang dialami Zayne, pemilik tubuh ini.
Tentang bagaimana Zayne kehilangan orang tuanya karena Cobra Zone. Bagaimana ia dipaksa hidup di jalanan, bertahan dengan cara mencuri dan bersembunyi. Bagaimana setiap hari adalah perjuangan untuk tetap hidup, dan bagaimana dunia memperlakukannya seperti sampah yang tidak berharga.
Saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, Kael merasakan amarah membuncah dalam dadanya. Amarah Zayne. Amarahnya sendiri. Amarah karena ketidakadilan.
Tangan Kael mengepal tanpa ia sadari. Dante memperhatikannya.
"Kau terlihat sangat marah," kata Dante dengan tenang. "Apakah kau butuh pelampiasan?"
Kael mengangkat wajahnya, menatap Dante dengan penuh tanya.
"Kudengar kau sangat hebat dalam bertarung. Bahkan bisa menyamai Edgar," lanjut Dante sambil meliriknya dengan tatapan menantang. "Kalau begitu, ingin mencoba sparring denganku?"
Kael terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Tantangan itu membuat darahnya bergejolak.
"Baiklah," jawabnya sambil berdiri, meregangkan tubuhnya. "Tapi jangan menyesal kalau kau kalah."
Dante tertawa kecil. "Lucu sekali. Anak kecil sepertimu yang harusnya takut kalah."
Mereka berdua turun ke halaman Mansion. Lampu taman memberikan penerangan cukup untuk bertarung. Angin malam berhembus pelan, membawa ketegangan di antara mereka.
Tanpa aba-aba, duel pun dimulai.
Kael bergerak lebih dulu, melesat ke depan dengan kecepatan yang sulit dipercaya untuk tubuh sekecil itu. Ia melayangkan pukulan ke arah perut Dante, tapi pria itu dengan cepat mengelak ke samping.
Dante balas menyerang dengan tendangan samping, tapi Kael melompat ke belakang, menghindarinya dengan gesit.
"Kau cepat," gumam Dante. "Tapi bagaimana dengan kekuatan?"
Dante tiba-tiba meluncur maju dengan serangan beruntun. Pukulan keras diarahkan ke Kael, membuatnya harus mengandalkan refleks untuk menghindar. Kael menyadari satu hal—Dante tidak hanya cepat, tapi juga sangat kuat.
Namun, Kael tidak mundur. Ia membaca pola serangan Dante, menunggu celah. Dan saat Dante melayangkan pukulan kanan, Kael memanfaatkannya.
Dengan kecepatan luar biasa, Kael berputar ke samping dan melayangkan tendangan lurus ke rusuk Dante.
Bugh!
Dante terdorong beberapa langkah ke belakang, tapi tetap berdiri tegak. Ia menatap Kael, lalu tersenyum.
"Menarik."
Sparring mereka terus berlangsung. Serangan demi serangan, pukulan demi pukulan. Tak ada yang mundur, tak ada yang ragu. Keduanya bertarung seolah ini adalah pertempuran sungguhan.
Dan di antara pertarungan itu, Kael merasa sesuatu yang berbeda—untuk pertama kalinya sejak kebangkitannya, ia menikmati pertarungan bukan karena dendam, tapi karena tantangan.
Malam itu, di bawah langit yang gelap, Kael dan Dante bertarung tanpa memikirkan masa lalu atau masa depan. Hanya mereka berdua, kekuatan, dan keterampilan mereka.
Dan dalam pertarungan itu, Kael merasa hidup kembali.
...****************...
Kael mengatur napasnya, keringat mengalir di pelipisnya. Duel itu berakhir dengan kemenangan Dante.
Pengalaman Dante sebagai ninja dan pembunuh bayaran bukan isapan jempol belaka. Kael sudah bertarung sebaik mungkin, tapi pada akhirnya, Dante menggunakan teknik ninja yang membuatnya kehilangan keseimbangan dan tak bisa bergerak.
Dante menatapnya dengan senyum tipis. "Tak kusangka kau benar-benar hebat."
Kael, yang masih duduk di tanah, mendengus sambil menyeringai. "Kau bilang aku hebat, padahal aku kalah darimu."
Dante mengangkat bahu. "Itu artinya aku lebih hebat darimu."
Keduanya tertawa kecil, menghilangkan ketegangan yang tadi sempat muncul di antara mereka.
Kael kemudian berdiri, merapikan pakaiannya, begitu pula dengan Dante. Meski kalah, Kael tidak merasa kecewa. Sebaliknya, ia merasa lebih tertantang dan ingin berlatih lebih keras lagi.
Dante menepuk pundaknya. "Tubuhmu pasti masih lelah. Istirahatlah kembali. Aku yang akan menjaga kalian."
Kael menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Kalau begitu, aku akan istirahat lagi. Kau juga jangan terlalu memaksakan diri, Dante."
Dante hanya tersenyum dan mengangguk.
Tanpa berkata lagi, Kael berbalik dan berjalan masuk ke mansion, meninggalkan Dante di teras.
Saat Kael menghilang di balik pintu, Dante menatap langit malam, lalu meletakkan tangannya di perutnya. Kael memang kalah, tapi serangannya tadi cukup kuat hingga meninggalkan sedikit rasa nyeri.
Dante tersenyum kecil. "Anak itu benar-benar kuat."