Ruby Alexandra harus bisa menerima kenyataan pahit saat diceraikan oleh Sean Fernandez, karna fitnah.
Pergi dengan membawa sejuta luka dan air mata, menjadikan seorang Ruby wanita tegar sekaligus single Mom hebat untuk putri kecilnya, Celia.
Akankah semua jalan berliku dan derai air mata yang ia rasa dapat tergantikan oleh secercah bahagia? Dan mampukah Ruby memaafkan Sean, saat waktu berhasil menyibak takdir yang selama ini sengaja ditutup rapat?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Segengam Asa
Aroma masakan menguar dari arah dapur. Kiran yang baru saja keluar dari kamar seketika menghirup udara dalam, hingga bisa membayangkan senikmat apa sajian makan malam yang tengah diolah oleh sang Ibu juga Ruby. Melengkungkan bibir membentuk senyum simpul, gadis yang bekerja sebagai kasir di sebuah kafe itu lekas memasuki kamar kemudian berpakaian.
Kiran menyisir rambutnya yang setengah basah dengan menghadap pada kaca berukuran besar di kamar. Dari ruangan itu ia masih bisa mendengar gelak tawa dua wanita dari arah dapur yang membuatnya tak sabar untuk ikut bergabung.
Kiran, gadis itu bisa bernafas lega. Kehadiran Ruby rupanya sudah membawa kebahagiaan tersendiri bagi ia dan sang ibu. Jika selama ini saat dirinya pergi bekerja maka Ibunya akan tinggal seorang diri di rumah, tapi tidak dengan sekarang. Ruby sudah seperti Kakak kandung bagi Karin dan putri bagi Ibunya.
"Ibu dan Kak Ruby sedang masak apa?" Tanya Karin yang kini menyusup, menempel ditengah dua wanita yang sedang berdiri di depan kompor dengan mengolah masakan masing-masing.
"Ibu menggoreng ikan dan Kak Ruby menumis kangkung," jawab Fatimah lembut seraya menatap pada Karin dan Ruby secara bergantian.
"Em, pasti enak." Kiran bertepuk tangan riang, kedua menu sederhana ini begitu spesial di matanya.
"Tentu, siapa dulu dong yang masak." Fatimah menanggapi ucapan sang putri.
"Kak Ruby." Ketiganya tergelak dan sudah tak sabar untuk menikmati hidangan.
Ikan goreng, tumis kangkung beserta tiga piring nasi hangat, terhidang di meja. Ketiga perempuan berbeda usia itu lebih dulu memanjatkan doa sebelum mulai menyuap menu sederhana namun spesial itu ke dalam mulut.
"Emmm, pas seperti ucapanku. Masakan Kak Ruby memang tiada banding. Semua bumbu pas, hingga menghasilkan cita rasa yang begitu spektakuler saat menyentuh lidah." Sanjungan Kiran seakan membuat perut Ruby yang membuncit terasa mulas. Kiran begitu berlebihan, lagi pula Ruby memasak hanya dengan bumbu seadanya.
"Kau berlebihan, Kiran. Hampir sama seperti...." Ruby menggantung ucapan. Ia memilih terdiam setelah sadar jika seseorang yang dulu juga begitu memujinya kini sudah menjadi mantan suaminya.
Suasana hangat itu berubah canggung. Menyadari keterdiaman Ruby membuat Kiran dan Fatimah sadar jika perempuan hamil itu tengah mengingat seseorang yang sejatinya tak perlu diingat.
"Em Ruby, Kiran ayo tambah lagi lauknya atau mau nasinya, sini Ibu ambilkan." Fatimah bergerak hendak memindahkan lauk dan juga nasi pada dua perempuan di depannya tanpa bisa ditolak.
"Nah, makanlah yang banyak supaya kalian sehat. Dan akan lebih baik jika kita diam saat menikmati makanan." Kedua perempuan itu lantas mengangguk dan kembali melanjutkan makan malam dalam diam.
💗💗💗💗💗
"Bibi, aku ingin mengatakan sesuatu hal pada Bibi." Kini, Ruby yang sedang meluruskan kaki di depan televisi, coba mengungkap sesuatu hal yang selama ini mengganjal di hati kepada Fatimah. Sementara perempuan paruh baya yang semula fokus menatap layar televisi itu menoleh kepada Ruby dengan pandangan penuh tanya.
"Ya, tentang apa itu Nak?" Karin yang duduk di samping sang Ibu juga mengahkan pandangan ke arah Ruby.
"Aku ingin mencari pekerjaan," jawab Ruby seraya menundukan kepala.
"Untuk apa? Kau juga sedang mengandung, Nak. Sepertinya akan kesulitan mencari pekerjaan jika tengah berbadan dua." Fatimah menatap tak tega pada Ruby. Dua bulan lalu gadis itu juga pernah meminta izin untuk tinggal sendiri dengan menyewa rumah peta. Tentu Fatimah tegas tak mengizinkan. Dalam kondisi hamil muda juga mengalami mual dan pusing seperti perempuan hamil pada umumya, Fatimah tak tega dan tak mengizinkan Ruby untuk tinggal seorang diri tanpa pengawasan darinya. Dan kini Ruby justru meminta izin untuk bekerja?.
"Aku butuh biaya banyak untuk persiapan kelahiran bayiku, Bibi. Dan saat ini aku sama sekali tak memiliki uang untuk semua itu, Bibi" Ruby kian tertunduk dalam seiring bulir bening yang mulai berderai membasahi pipi.
Fatimah kebingungan begitu pun dengan Karin. Gadis manis itu segera memeluk Ruby dan berusaha menghentikan tangisnya.
"Ruby, tenanglah. Meski kau tak bekerja, tapi Bibi masih mempunyai simpanan perhiasan yang kelak bisa gunakan untuk biaya kelahiran." Fatimah memang sudah merencanakan ini setelah beberapa hari Ruby tinggal bersamanya. Tak memiliki pekerjaan saat dirinya hamil besar, Fatimah pun pernah merasakannya. Begitu pahit dan getir hidupnya dulu, hingga tak tega jika perempuan sebaik Ruby merasakan perihnya hidup seperti yang pernah dialaminya dulu.
"Tapi aku tak ingin memberatkan Bibi, lagi pula badanku juga sehat. Aku masih bisa bekerja selagi menunggu calon buah hatiku lahir." Sekeras itulah pendirian Ruby, ia pun tak ingin terlalu banyak memberatkan Fatimah atas dirinya. Setidaknya dengan memiliki penghasilan sendi Ruby tidak terlalu merepotkan janda tersebut.
💗💗💗💗💗
Akhirnya, bersama Fatimah Ruby berkeliling mencari pekerjaan yang sesuai dengan bakat yang dimiliki. Beberapa distro pakaian dan juga rumah makan mereka datangi, namun tak ada satu pun yang menerima sebab Ruby dalam keadaan mengandung dan juga tidak berpendidikan tinggi.
Tubuh sudah lelah. Bukan hanya sehari dua hari mereka berkeliling namun lebih dari satu minggu, Ruby masih tak jua mendapatkan pekerjaan.
"Bibi bagaimana jika kita membuka jasa cuci setrika di rumah." Ruby mulai pasrah namun terbesit sebuah ide yang mungkin bisa menjadi alternatif untuk bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah.
"Nak, Bibi tidak melarang namun.." Perempuan patuh baya itu menghela nafas berat. "Fikirkan dulu masak-masak dan bukankah lebih baik membuka usaha selepas engkau melahirkan saja." Fatimah memang tak melarang, namun kondisi Ruby akhir-akhir ini membuatnya khawatir. Membuka jasa cucu pakaian juga membutuhkan tenaga besar sementara tubuh perempuan itu lemah dan membutuhkan banyak istirahat.
Ruby menarik nafasnya perlahan saat mendengar jawaban Fatimah. Satu sisi ucapan paruh baya itu bisa dibenarkan namun di sisi lain ia pun ingin mecari penghasilan untuk biaya melahirkan, jadi jika dirinya akan memulai usaha selepas melahirkan, maka untuk biaya kelahiran dirinya harus meminta pada siapa?.
Seketika bayangan wajah Sean melayang di pelupuk mata. Seraut wajah tampan yang dulunya selalu memberinya kehangatan. Ah, entah seperti apa kabar mantan suaminya sekarang. Apakah dia sudah memiliki penganti dirinya atau bahkan...
Helaan nafas terdengar. Ruby lekas mengusap wajahnya kasar guna mengusir bayang-bayang Sean dari ingatan.
"Assalamualaikum, Wah Ibu, kak Ruby, ada apa ini. Kenapa terlihat serius begini." Karin yang baru saja datang selepas bekerja cukup dibuat terkejut dengan sikap Ruby dan Fatimah yang sedang duduk berdua dengan memasang wajah serius. Karin pun dibuat bertanya-tanya, hingga tak kuasa untuk tak melempar tanya.
"Ini, Kak Ruby beberapa hari ini sedang mencari pekerjaan. Kami berkeliling namun masih belum mendapatkan. Kau sendiri tau, Kak Ruby dalam kondisi hamil. Para pemilik usaha pun ragu untuk mempekerjakan Kakakmu dalam kondisi seperti ini."
Seketika Kiran menatap ke arah perut Ruby yang mebuncit. Dadanya terasa sesak seketika. Mengingat nama Pria yang sudah mengakibatkan nasib Ruby, hingga terlunta-lunta.
"Kiran akan coba bantu, tapi tidak berani janji."
"Kiran, apa maksudmu?" Ruby dan Fatimah sama-sama bertanya.
"Resto tempat karin bekerja sedang membutuhkan asisten koki baru, sementara koki lama risagn selepas menikah."
Wajah Fatimah terlihat sumringah.
"Kiran, coba tanyakan lebih dulu. Mungkin mereka bisa mempekerjakan Kak Ruby di sana." Secercah harapan muncul dari wajah perempuan itu. Setidaknya kabar ini seperti angin segar untuknya.
"Akan Kiran usahakan, tapi seperti tadi yang Karin bilang, Kiran tidak berani janji. Protokol di sana ketat dan setiap wanita hamil sudah tak diperbolehkan bekerja demi meminimalisir kejadian yang tak diinginkan."
Ruby mengembangkan senyum di bibir, ia seperti sedang menyemangati dirinya sendiri.
"Tidak masalah, Kiran. Jika pun ditolak, berarti memang bukan rezekiku." Hanya bisa berpasrah. Begitulah Ruby menjalani hari-harinya kini. Tak menginginkan satu Sean pun uang dari Sean, bukanlah sebuah sesal baginya. Ia akan lebih merasa terhormat andaikata bisa menghidupi dirinya sendiri dari pada mengantungkan hidup pada pria yang tak lagi mempercayainya.
Tbc.
la ini malahan JD bencana gr2 percaya Sama mamaknya