Seorang pria muda yang sedang menunggu interview dan seraya menunggu panggilan, dia memilih meluangkan waktunya untuk menjadi driver ojek online, tapi pria yang bernama Junaidi ini cukup apes dan apesnya ini bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali.
Singkatnya, pada malam itu pria muda tersebut tengah terburu-buru untuk mengantarkan pesanannya, tanpa sengaja, dia menyerempet nenek tua yang sedang menyebrang jalan.
Bukannya menolong, dia justru acuh tak acuh dengan alasan takut diberi bintang satu jika terlambat datang.
Namun, siapa sangka kalau nenek yang dia serempet bukanlah sembarang nenek dan setelah malam itu, mata batinnya terbuka. Inilah KUTUKAN SEMBILAN PULUH SEMBILAN HARI yang harus Junaidi terima.
Cerita ini merupakan karya fiksi murni. Nama tempat, kejadian dan karakter yang disebutkan tidak memiliki koneksi dengan kenyataan dan hanya untuk tujuan kreatif semata ditulis oleh Tsaniova.
Jam Update pukul 9.00 pagi dan malam pukul 19.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Saling Mengagumi
Setelah dirasa aman, Junaidi pun kembali ke kantor, tapi sayangnya dia harus dipecat karena pergi tanpa izin dan telat kembali ke kantor. "Anak baru aja kebanyakan gaya!" gerutu staf yang baru saja memecatnya, dia terus memperhatikan Junaidi yang keluar dari kantor.
"Begini banget hidup," gumam Junaidi seraya menaiki motor Rumi, memakai helm dan tanpa diminta, Melati sudah duduk di jok belakang.
"Ngapain lu ikut gua?" tanya Junaidi seraya menatap Melati di kaca spionnya.
"Mau nagih pizza," jawab Melati dengan begitu polosnya, Junaidi tersenyum dan sekarang pergi untuk membeli pizza.
Setelah mendapatkan pizzanya, sekarang Junaidi mencari taman di pinggiran kota, mereka duduk di kursi panjang seraya memperhatikan anak-anak kecil yang sedang berlarian.
"Kamu punya anak?" tanya Melati yang duduk bersila, dia menatap Junaidi, menunggu jawabannya dan juga menunggunya membuka kemasan pizza tersebut.
Junaidi menoleh, dia menjawab dengan menggeleng. Lalu, membuka bungkus pizza itu dan mulai mengambil sepotong pizza tersebut.
"Baguslah," jawab Melati yang sepertinya sudah tidak sabar ingin menikmati pizzanya.
"Bagus? Jangan bilang lu naksir gua, kita beda alam!" celetuk Junaidi, dia terdiam menatap Melati yang melotot.
"Bukan, bukan itu maksud aku. Kamu itu pengangguran sekarang, kalau kamu punya anak dan istri, gimana nasib mereka?" Melati menggeleng, dia mematahkan pikiran Junaidi yang jauh kemana-mana.
"Oh, bener juga. Seenggaknya, gua harus mapan dulu baru nikah, kan?" tanya Junaidi, dia melanjutkan memakan pizzanya.
"Kenapa diem aja?" tanya Junaidi saat melihat Melati dengan kecumutannya, ilernya pun hampir tumpah-tumpah, ini semua karena Junaidi tak segera mempersilahkannya.
"Kamu belum nawarin aku," jawab Melati seraya tersenyum manis, seketika membuat Junaidi sedikit terkesima.
"Sepolos ini kenapa bisa jadi hantu?" tanyanya pada diri sendiri dengan lirih, hampir saja Melati tak mendengarnya.
Melati yang sedang mencium aroma pizza, tepatnya mengambil sari makanan itu terdiam, dia menatap Junaidi dan bertanya, "Kenapa?"
"Nggak papa, ayo kita pulang, Gua mau benerin motor, kayanya gua emang kudu narik ojek lagi," ucapnya seraya bangun dari duduk dan saat itu, ada sebuah bola yang datang mengenai dadanya.
Dengan sigap, pria tampan nan tinggi itu menangkap bola tersebut, dia tersenyum pada pria kecil yang menghampirinya untuk mengambil bola. "Makasih, Om," ucap pria kecil itu yang menerima bola dari Junaidi.
Lalu, melihat pada pizza yang tergeletak begitu saja di kursi, dia pun menjilat bibirnya. Tapi, Junaidi yang tau kalau itu bekas Melati pun dengan segera merapikan bekas makanannya, dia membuang pizza bekas tersebut ke tempat sampah.
"Dari pada dimintain sama orang mendingan dibuang kayanya," cibir seseorang yang memperhatikan Junaidi dari ujung kaki sampai ujung kepala, dia duduk di kursi taman persis sebelahnya.
Tak menanggapinya, Junaidi pun mulai melangkah, dia memasukkan dua tangannya ke saku jaket parasutnya dan Melati yang masih diam di tempatnya berdiri itu sepertinya mulai mengagumi pria tampan tersebut dan berpikir takan melepasnya.
Sekarang, Junaidi menghampiri motornya yang terparkir di area parkir dan ternyata Melati sudah duduk di sana sedang menatap Junaidi dengan senyum manisnya.
"Kenapa lu masih di sini? Bukannya pergi," kata Junaidi seraya mengambil helmnya yang yang berada di kaca spion.
"Siapa suruh aku pergi dari kantor, aku jadi nggak punya tempat tinggal sekarang," sahut Melati seraya menepuk jok motor supaya Junaidi cepat duduk di sana.
"Terus, bukan berarti lu ngikutin gua, dong!" protes Junaidi dan Melati menjawab dengan menggeleng.
"Kamu harus tanggungjawab, Bang!" jawab Melati dengan mata terpejam, melipat tangannya di dada, dia menolak untuk pergi.
"Astaga, mana ada hantu seimut ini, kayanya gua mulai gila!" kata Junaidi dalam hati. Dia pun membiarkan Melati ikut bersamanya ke kos.
Sesampainya di kos, Junaidi melihat dua temannya sedang tertidur pulas membuatnya pergi tanpa pamit.
Sementara itu, dalam tidurnya, Rumi berada di tengah kegelapan, pria yang keadaannya masih lemah itu mendengar suara orang yang memanggilnya.
"Rrruuuumiiii," panggil sosok tersebut terdengar lirih sampai bulu halus Rumi terasa merinding, dia yang belum menampakkan diri itu terus memanggilnya, sesekali tertawa terbahak-bahak.
"Aneh, kalau ini mimpi seharusnya gua nggak merinding, tapi ini kaya beneran," gumam Rumi seraya mengusap lengannya yang terasa amat dingin.
Lalu, sepasang kaki menendangnya dari belakang membuat pria tersebut tersungkur dan memuntahkan darah.
"Aaakhhh, bener-bener. Pak Kumis, gua punya Allah, gua bakalan balikin jin kirimanmu, ini!" geram Rumi seraya bangun, dia menoleh tapi tak melihat siapapun, dirinya hanya diliputi oleh kegelapan malam yang dinginnya menyeruak sampai tulang.
Rumi yang teringat dengan pesan Junaidi pun mulai mencoba membaca ayat-ayat pendek sesuai dengan yang dihafalnya.
"Bismillah, Ya Allah, dengan pertolonganmu aku memohon keselamatan," doa Rumi dalam hati, dia pun mulai menengadahkan tangannya, membaca ayat-ayat pendek tersebut.
Perlahan dunianya yang semula gelap itu sudah terang benderang, dia pun berhasil membuka mata dan melihat Sami yang tidur di sisinya.
Rumi yang merubah posisinya jadi duduk itu melihat kunci motor yang berada di meja kerja Sami, dia pun berpikir kalau Junaidi sudah kembali, tapi dimana dia? Rumi bangun dari duduk dan saat itu juga ponselnya berdering, Junaidi yang menghubunginya.
"Halo, Jun. Kenapa?" tanyanya seraya duduk di kursi kerja.
Namun, yang ditanyainya itu tak segera menjawab membuat Rumi mengulangi pertanyaannya. "Jun, ada apa?" tanya Rumi lagi dan kali ini terdengar nafas Junaidi yang tersengal, seperti sedang terseok-seok.
"Rum," lirih Junaidi yang sedang menahan perutnya, perut yang baru saja ditikam oleh orang suruhan Pak Kumis.
"Gua-" ucap Junaidi yang terpotong dan sekarang, benar-benar tak ada tanda pergerakan darinya membuat Rumi segera membangunkan Sami.
"Sam! Bangun, Juna... Juna, Sam!" ucap Rumi seraya menggoyangkan lengan dan kaki sahabatnya.
Sami yang baru saja meminum obatnya itu tidur bagaikan mayat, rasanya ingin tidur lebih lama tanpa ada yang mengganggu.
Melihatnya tak mau bangun, Rumi pun mengguyurnya dengan segayung air. "Sorry, gua harus lakuin ini biar lu bangun!" ucapnya saat melihat Sami yang terkejut, gelagapan, dia pun mengusap wajahnya yang basah.
"Apa, sih. Ganggu orang tidur aja, dah!" gerutu Sami seraya mengambil gayung yang di tangan Rumi, dia membuangnya ke arah pintu kamar mandi.
"Juna, dia telpon gua tapi nggak ngomong apa-apa," jawab Rumi yang kembali menarik lengan Sami.
"Sakit, bege. Nih, tangan gua lu tonjokin, sampai memar gini!" tukas Sami seraya menyingkirkan tangan Rumi, dia menunjukkan luka tersebut.
"Gua nggak sengaja, sekarang nyawa Juna dalam bahaya, ayo cepet cari dia!" ajak Rumi yang segera gegas, dia masih berdiri di pintu menunggu sahabatnya turun dari ranjang.
"Kalau aja gua nggak penakut, gua nggak nungguin lu, Sam!" protes Rumi lagi.
"Ada apa, sih. Lagian kalau Juna telepon nggak ada suara, kita mau cari kemana?" tanya Sami seraya turun dari ranjang.
"Benar juga, kita cari kemana yang penting keluar, kita usaha dulu!" sahut Rumi yang sudah tidak sabaran, dia menarik lengan Sami membawanya keluar dari kamar.
Sementara itu, Melati tengah memperhatikan Junaidi yang hampir hilang kesadarannya. "Aku harus gimana, selamatin dia atau biarin?" tanyanya pada diri sendiri.
"Biarin aja, bukannya kamu suka sama dia?" tanya Melati lagi dan dia benar-benar bingung saat ini, mengikuti nalurinya sebagai setan atau berbaik hati menyelamatkan pria yang dia suka?
Bantu Melati tentukan pilihannya, yuk dikomen. 😇😇😇