Berawal dari niat balas dendam kepada mantan tunangannya, membuat Indhi terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan kakak angkatnya.
Tanpa di sangka, pernikahan tersebut justru memberinya kehidupan baru yang di penuhi oleh kasih. Ketulusan cinta dari sang kakak akhirnya membawa Indhi melabuhkan hatinya kepada pria yang 26 tahun terakhir telah menjadi kakaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Astuty Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lupa status
Indhi sampai di rumah ibunya saat petang menjelang, sebelum masuk ke dalam rumah ia berlatih tersenyum agar ibunya tak mencurigai apapun sebab sejak beberapa hari lalu Indhi terlihat murung.
Setelah menarik nafas panjang, dokter muda itu membuka pintu utama dengan hati-hati, ia khawatir akan mengganggu waktu istirahat ibunya. Sepi, rumah besar itu selalu saja sepi, sama dengan beberapa tahun silam ketika ia selalu di tinggal di rumah sendirian saat ibu dan Ega bekerja. Indhi melangkahkan kakinya semakin dalam, setibanya di dapur di raihnya botol air mineral dari dalam kulkas, ia menenggak air putih itu sampai setengah habis hingga mengobati dahaganya.
Masih dengan langkah pelan, Indhi menaiki satu persatu anak tangga menuju kamarnya, ia berhenti tepat di depan pintu kamar, ia melirik pintu lain yang masih tertutup, pintu kamar Ega yang tepat berada di sebelah kamarnya, namun tiba-tiba ia mengingat momen saat Ega menciumnya dengan lembut. Indhi memegangi bibirnya, detik berikutnya wajahnya terasa hangat cenderung panas, ia mengipasi wajahnya dengan kedua tangan berharap panas di wajahnya akan segera hilang.
"Apa yang kau fikirkan Indhi?" Gumamnya seraya membuka pintu kamar.
Indhi melemparkan tas serta blezernya di atas kasur, ia lantas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihan tubuhnya yang lengket. Sepuluh menit kemudian ia keluar, rambut panjangnya yang basah menetes membasahi bathrobe berwarna putih, sesekali ia mengusap rambutnya dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya.
Indhi berjalan menuju lemarinya, ia memilih pakain yang cukup rapi dan tertutup, malam ini ia dan Ega berencana untuk memberi tahu ibu perihal rencana pernikahan mereka. Saat Indhi duduk di depan meja rias, terdengar suara pintu terbuka dari sebelah kamarnya menandakan Ega sudah tiba di rumah. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, ia mulai gugup bahkan sebelum bertemu dengan ibu.
Setengah jam kemudian Indhi turun dari kamarnya, ia mendapati sang ibu telah menunggunya di meja makan, ibu menoleh saat mendengar langkah kaki Indhi dan di susul Ega di belakangnya.
Indhi dan Ega duduk berdampingan, hal itu tentu tak membuat ibu mereka merasa heran, kedua anaknya memang selalu duduk bersebelahan saat mereka sedang makan.
"Kemarin kalian tidak pulang?" Tanya ibu Tika seraya menyendok nasi ke atas piringnya.
"Indhi pulang ke rumah kakak bu."
Ibu Tika hanya mengangguk lalu menikmati makan malamnya, begitupun dengan kedua orang yang tengah cemas dengan niat mereka.
Makan malam selesai, ketiganya masih diam dan mencerna makanan masing-masing. Ibu Tika melipat tangannya di atas meja makan dan menatap putrinya seraya tersenyum.
"Bagaimana dengan persiapan pernikahanmu, apa kamu dan Dokter Ilham sudah fiting baju pengantin?
Indhi menghabiskan air minumnya, tenggorokannya tiba-tiba kering mendengar pertanyaan ibunya. "Belum,"jawabnya singkat.
"Tinggal seminggu lagi menuju pernikahan kalian, sempatkan waktu untuk memilih gaun pengantin!" Ucap bu Tika mengingatkan putrinya.
"Emm, bu. Ada yang ingin Indhi sampaikan," tutur Indhi setengah ragu, namun ia tetap harus membicarakn rencananya dan Ega kepada sang ibu.
"Kenapa? Apa ada masalah?" Wajah bu Tika mendadak cemas.
"Aku dan Dokter Ilham tidak jadi menikah," jujur Indhi seraya memejamkan matanya.
"Apa maksudmu Ndi? Jangan bercanda? Pernikahan kalian tinggal menghitung hari, undangan sudah tersebar!" Bu Tika nampak panik.
"Maafin Indhi bu, tapi Indhi serius bu. Indhi sadar jika Indhi tidak mencintai Dokter Ilham. Tapi ibu tak perlu khawatir pernikahan itu akan tetap terjadi, Indhi akan menikah hanya saja bukan dengan Dokter Ilham."
Bu Tika beralih menatap Ega. "Apa yang terjadi dengan adikmu, apa maksudnya tetap menikah tapi bukan dengan Dokter Ilham?" Cecar bu Tika menunggu jawaban Ega.
Ega menelan salivanya dengan kasar, dengan segenap kekuatan yang ia miliki ia memberanikan diri untuk meminta izin kepada sang ibu. "Sebelumnya maafin Ega dan Indhi bu, Indhi batal menikah dengan Dokter Ilham karena Indhi akan menikah dengan Ega."
Bu Tika tak bisa menahan tawanya, ia sampai terbahak mendengar ucapan putranya, tangan tuanya menyentuh ujung mata yang mengeluarkan air akibat terlalu banyak tertawa.
"Kalian ini kompak sekali ngerjain ibu."
Indhi dan Ega bersitatap, Ega meraih tangan Indhi, membawanya ke atas meja makan dan menggenggamnya dengan erat. "Kami serius bu, kami saling mencintai dan ingin menikah," tutur Ega.
Bu Tika menatap kedua anaknya secara bergantian, ia tak melihat kebohongan di dalam mata keduanya.
"Kalian lupa apa status kalian? Mana boleh kakak dan adik menikah!" Seru bu Tika sambil menunjuk keduanya.
"Tapi kami bukan saudara kandung bu," sahut Ega seraya menahan air matanya, sangat berat mengucapkan kalimat yang pasti menggoreskan luka di dalam hati ibunya.
"Kau sudah tak menganggap ibu lagi?" bu Tika menatap nanar kedua anaknya.
"Kami sungguh saling mencintai bu, izinkan kami untuk menikah," sela Indhi dengan tangan bergetar.
Bu Tika bangun dari duduknya dengan mata memerah. "Tidak boleh, kalian sudah gila," ujarnya lalu meninggalkan Ega dan Indhi.
Namun tiba-tiba langkah bu Tika terhenti, ia memegangi kepalanya yang terasa pusing, dadanya juga terasa sakit dan sesak nafas, penglihatannya mulai buram membuat bu Tika hampir terjatuh, untung saja Ega yang sedari tadi memperhatikan ibunya segera berlari dan menahan tubuh sang ibu sebelum terjatuh.
"Darah tinggi ibu pasti kambuh," ucap Ega kepada Indhi yang sudah berada di sebelahnya.
Ega lalu memapah ibunya untuk duduk di sofa yang berada di ruang keluarga. "Atur nafasnya bu," Perintah Ega dan hanya di angguki oleh bu Tika. Setelah itu Ega berlari menuju dapur, setelah beberapa waktu ia kembali ke ruang keluarga dengan membawa jus tomat.
"Minum jusnya bu,"
Bu Tika meraih gelas dari tangan Ega dan meminum jus tomat yang bermanfaat untuk menurunkan tekanan darahnya. Bu Tika memang sudah lama mengidap tekanan darah tinggi, namun selama ini tak pernah kambuh karena ia selalu rutin berolahraga, menjalani pola makan sehat dan membatasi penggunaan garam, namun hari ini, karena stress yang berlebihan membuat tekanan darahnya kambuh.
Setengah jam berlalu, ketiganya hanya diam, Ega dan Indhi merasa bersalah karena membuat ibunya sakit.
Setelah merasa lebih baik bu Tika masuk ke dalam kamar meninggalkan kedua anaknya, ia menangis seraya memeluk foto mereka bertiga. Sebenarnya ia tau akan perasaan Ega kepada putrinya, namun bu Tika tak menyangka jika mereka akan meminta izin untuk menikah. Bagaimana mungkin kakak dan adik menikah?
"Ada sesuatu yang mereka sembunyikan!" Gumam bu Tika, ia lalu meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
Satu jam kemudian bu Tika keluar dari rumah tanpa di ketahui oleh Indhi dan Ega. Ia pergi ke sebuah caffe yang tak terlalu jauh dari rumahnya untuk menemui seseorang. Meskipun kepalanya masih sedikit pusing, namun ia nekat untuk bertemu dengan orang tersebut.
Bu Tika masuk ke dalam caffe itu, seorang gadis duduk di sudut ruangan tangah menunggunya. Bu Tika melangkahkan kakinya mendekati gadis itu.
"Tante."
BERSAMBUNG...
tdk dibawa kerumah skt?