Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ngambek
***
"Kamu ngambek sama suami kamu?" tuduh Ibu saat aku menyuap nasi yang seharusnya menjadi makan siang Mas Yaksa tadi.
Aku memilih mengabaikannya karena aku tahu Ibu pasti tidak akan percaya denganku dan menuduhku yang tidak-tidak. Pasti itu.
"Kenapa? Kamu minta sama Nak Yaksa biar dikasih izin tetap kerja?"
"Bu, mengatakan sesuatu yang belum tentu kebenarannya bisa jadi itu memfitnah loh," balasku sambil menatap beliau datar.
Aku berusaha untuk setenang mungkin padahal aslinya ya pengen marah juga karena dituduh demikian.
"Ya, terus kenapa?"
"Ini urusan rumah tangga aku sama Mas Yaksa, biarkan ini menjadi urusan kami dan biarkan kami menyelesaikannya dengan cara kami sendiri. Tolong, ibu jangan ikut campur."
"Kamu ini loh, baru nikah kemarin udah berlagak dua tahun nikah. Ibu ini sebagai orang tua kamu dan yang lebih berpengalaman mau berbaik hati kasih nasehat, kok responmu malah begitu."
Aku memilih diam dan sibuk mengunyah nasi. Meski sejujurnya aku berat melakukannya, tapi berhubung nasinya sudah terlanjur kuambil, ya mau tidak mau harus kumakan, karena biar nggak mubazir.
"Nak Yaksa apes banget, Ge, dapetin istri modelan kayak kamu. Sekarang Ibu nyesel kasih restu kalian nikah, harusnya Nak Yaksa bisa dapet yang lebih baik ketimbang kamu."
"Aamiin," balasku cuek.
Tak lama setelahnya ibu langsung mendorong kepalaku gemas. "Sembarangan kamu, nanti kalau Nak Yaksa beneran dapet yang lebih baik dari kamu, ya kamu nya jadi janda lah, Ge. Kamu mau jadi janda?"
"Ya kalau emang takdirnya harus jadi janda Geya bisa apa? Harus menerima dengan lapang dada dan tulus ikhlas, dan insha Allah abis itu Geya juga dapet gantinya yang lebih baik."
"Astagfirullah, Ge, istighfar, baru kemarin kamu jadi istri Nak Yaksa, mulutnya udah aneh-aneh aja."
Aku hanya merespon dengan mengangkat kedua bahuku secara bersamaan. Lalu memilih untuk mencuci piring tak lama setelahnya.
"Loh, emang udah makannya?" tanya Ibu heran, saat melihatku berjalan menuju wastafel.
Tanpa membalas, aku menunjukkan piring kotorku yang hanya tersisa noda di sana.
"Cepet banget, kamu tuang apa gimana?" decak beliau sambil geleng-geleng kepala.
***
Saat menyadari sang putri sudah bangun, Mas Yaksa langsung mengajak kami pulang. Aku menatapnya sebentar lalu basa-basi menawarinya makan lebih dahulu. Tapi ditolak olehnya.
Aku mengangguk paham. "Kak, adeknya dijagain dulu ya," ucapku pada Javas. Ia merengut sebentar, namun, tak lama setelahnya mengangguk pasrah.
"Ya udah, iya, iya, kakak jagain."
"Alin biar sama Mas," sahut Mas Yaksa.
Aku dan Javas saling bertukar pandang, bocah itu kemudian langsung menyengir malu-malu. Aku sedikit mencibirnya lalu berdiri dan berniat menyerahkan Alin pada Mas Yaksa. Tapi sepertinya semua tidak berjalan semudah itu, ternyata Alin menolak digendong oleh Ayahnya sendiri.
"Loh, sayang, ini Ayah lho. Ikut Ayah bentar ya, nanti sama Mama lagi. Mama mau beresin barang-barang Adek sama Kakak dulu, ya?" ucapku berusaha membujuknya.
Tapi Alin menolak tegas. Ia bahkan semakin mengeratkan pelukannya terhadapku. Aku menatap Mas Yaksa ragu-ragu.
"Enggak papa, nanti Mas ajak liat sesuatu di luar."
Aku pun mengangguk paham dan menyerahkan Alin pada Ayahnya. Saat Alin berpindah ke gendongan Mas Yaksa, tangisnya langsung pecah. Mas Yaksa mencoba menyakinkanku kalau dia memang bisa menenangkannya, aku percaya, soalnya dia Ayahnya. Dengan langkah buru-buru aku menuju kamar untuk membereskan barang-barang Alin dan juga Javas. Mas Yaksa sempat meneriaki-ku agar lebih berhati-hati dan tidak perlu berlari. Yang kurespon dengan acungan jempol.
Aku kembali ke ruang tengah setelah membereskan semuanya. Samar-samar aku masih mendengar tangis Alin. Lah, belum diem? Batinku heran.
Cepat-cepat aku keluar rumah untuk mencari mereka, dan benar saja, Alin masih menangis kencang seraya memberontak. Buru-buru aku menghampiri dan langsung mengambil alih Alin dari gendongan Ayahnya. Tangisnya langsung berhenti begitu saja setelah kugendong. Jujur, aku cukup takjub dengan apa yang baru saja terjadi.
Wow, kok bisa?
"Langsung pulang, yuk!" ajak Mas Yaksa seolah tidak betah di rumahku. Oke, ralat, maksudku di rumah ibu.
Tapi kalau dipikir-pikir ya wajar sih kalau dia nggak betah, soalnya rumah ibu nggak sebesar rumahnya atau rumah keluarganya, jadi wajar kalau kurang nyaman.
"Yakin nggak mau makan dulu?" tanyaku memastikan.
Mas Yaksa menatapku sebentar lalu menggeleng. Aku tidak memprotes dan hanya mengangguk setuju saat diajak pulang. Ya mau nggak setuju gimana, orang kewajibanku ya memang ikut suami.
***
"Nggak laper?" tanyaku saat kami sudah sampai di rumah. Javas dan Alin sedang bermain di ruang bermainnya, rumah Mas Yaksa memang terdapat ruangan khusus untuk bermain.
Awalnya aku ingin menemani mereka bermain, tapi teringat kalau Mas Yaksa belum makan siang, alhasil aku menitipkan Alin pada Javas. Lalu turun ke bawah untuk mencari keberadaan Mas Yaksa, yang ternyata sedang sibuk dengan laptopnya.
"Alin tidur lagi?"
Aku menggeleng. "Lagi main sama Javas."
"Kamu tinggal berdua?"
"Iya, soalnya keinget kalau Mas Yaksa belum makan. Kalau Mas Yaksa mau makan sekarang, biar aku masak terus Mas Yaksa ke atas temenin mereka. Jadi, Mas Yaksa udah laper apa belum?"
Ting Tong Ting Tong
"Enggak usah, kamu panggil aja anak-anak buat ke sini. Mas udah pesen makanan."
Mas Yaksa kemudian bangkit dari duduknya dan segera keluar untuk mengambil makanannya. Tak lama setelahnya ia kembali.
"Itu apa?"
"Ayam goreng kesukaan Javas. Sama burger buat kita."
"Di rumah kita bahan makanan cukup dan aku bisa masak, Mas, kenapa Mas Yaksa malah beli dan tanpa tanya aku lagi."
"Sesekali doang, nggak papa, Geya. Kamu bisa masak mulai besok. Eh, tidak perlu deh, mulai besok Mbok Ru sama ponakannya udah mulai kerja lagi. Jadi fokus kamu cukup ngurusi Alin sama Javas aja."
"Kenapa? Masakanku enggak enak?"
Mas Yaksa menghela napas. "Mas cuma nggak mau kamu terlalu banyak pekerjaan, Geya, ngurusin Alin dan Javas udah pasti bikin capek. Mas nggak akan setega itu buat nyuruh kamu masak juga. Tolong, niat Mas baik, jangan kamu salah pahami terus-menerus. Mending sekarang kamu panggil Javas, bilang kalau Ayahnya beliin ayam goreng kesukaannya."
Aku kesal. "Tau lah, panggil aja sendiri."
"Geya, Mas minta tolong."
Aku pasrah. Mau tidak mau, aku pun naik ke lantai atas dan menyuruh Javas untuk turun sementara aku tetap di atas bermain dengan Alin. Awalnya, Javas sempat merajuk dan bilang tidak mau turun kalau aku tidak ikut turun. Tapi setelah aku sempat mengeluh pusing dan butuh istirahat, dia pun akhirnya mau turun sendiri. Aku tidak sepenuhnya berbohong, karena aku memang sedang pusing dalam menghadapi Mas Yaksa. Mungkin benar, niatnya memang baik, tapi entah kenapa aku seperti memiliki ego yang tinggi dan kurang setuju dengan niat baiknya tersebut.
To be continue,