Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baikan
***
Cklek!
Aku reflek menoleh saat mendengar pintu kamar terbuka. Di sana ada Mas Yaksa sedang berdiri di ambang pintu sambil melirik ke arah box bayi, di mana ada Alin yang baru saja terlelap di sana.
Sejujurnya aku ingin bertanya, tapi karena kita masih perang dingin perkara kemarin membuatku mengurungkan niat untuk bertanya. Terserah lah, kalau diusir maka aku akan kembali ke kamar sebelah atau kalau dia yang memutuskan tidur di kamar sebelah juga tidak masalah.
"Alin sudah tidur?"
Bukannya menjawab, aku malah mengerutkan dahi heran. Tidak bisakah dia melihat kalau putrinya sudah anteng di box bayinya? Itu artinya jelas Alin sudah tidur. Dia kalau belum tidur mana mungkin seanteng itu.
"Mas nggak lihat?" aku balik bertanya dengan nada geli.
"Bisa turun bentar?" tanyanya kemudian.
Sekali lagi aku mengerutkan dahi heran. "Kenapa?"
"Nonton, yuk!" ajaknya random.
Aku reflek melongo. "Hah?"
"Nonton. Di rumah. Di bawah."
"Oh," responku entah kenapa terdengar seperti orang yang sedang kecewa. Karena kalau boleh jujur memang kangen juga aku pergi ke bioskop, aku bahkan lupa kapan terakhir pergi ke sana.
"Geya?" panggil Mas Yaksa berhasil membuyarkan lamunanku.
"Tiba-tiba banget?"
"Sambil ngobrol. Baikan. Kita kemarin marahan."
Aku ingin menertawakan gelagatnya yang terkesan seperti sedang salah tingkah, beruntung aku masih dapat mahan didi. "Mas kali yang marah, aku sih enggak."
Mas Yaksa tidak protes dan mengangguk. "Ya makanya ayo, turun, kita nonton di bawah."
"Oke," ucapku pasrah pada akhirnya. Karena tidak mungkin juga aku membantah ajakannya ini.
Saat kami sudah sampai di bawah lampu di sana sudah dimatikan, sepertinya Mas Yaksa memang sengaja membuat suasana terkesan seperti berada di bioskop sungguhan. Bahkan Mas Yaksa juga menyiapkan popcorn untuk pendamping menonton kami.
Waw, aku cukup terkesan dengan usaha Mas Yaksa. Padahal kan yang marah Mas Yaksa tapi kenapa yang usaha untuk berbaikan effort-nya banyakan dia? Mendadak aku merasa bersalah.
"Mas Yaksa niat juga ya," komentarku sebelum duduk di sofa panjang.
Mas Yaksa tidak membalas komentarku dan hanya duduk tepat di sebelahku. Bahkan kedua lengan kami sempat bersentuhan.
"Mau popcorn?" tawar Mas Yaksa setelah menyalakan smart tv dan menemukan film yang ia cari.
Aku mengangguk lalu mengambil beberapa popcorn sambil berusaha untuk fokus dengan film yang Mas Yaksa putar, meski sejujurnya aku kurang paham juga dengan apa yang sedang dia putar. Karena Mas Yaksa tidak memilih film lokal atau film Hollywood. Melainkan film yang berasal dari negeri Ginseng.
"Kamu pernah nonton film ini apa belum?"
Aku menoleh ke arah Mas Yaksa sebentar sebelum akhirnya menggeleng.
"Kenapa? Sibuk banget jadi perawat sampai nggak sempet nonton?"
"Kurang suka," jawabku seadanya.
"Mas pikir kamu suka juga kayak Aruna."
Apa ini artinya aku sedang dibandingkan dengan orang yang bahkan sudah meninggal?
"Aku sama Kak Runa itu beda, Mas."
"Maaf, Mas kurang berpengalaman. Jadi kamu suka nonton apa?"
"Apa saja, yang ini juga nggak masalah."
"Tapi tadi kamu bilang kurang suka, Geya."
"Aku cuma kurang suka, bukan nggak bisa nonton. Selagi bukan film horor atau yang berbau mistis aku masih bisa nonton."
Mas Yaksa mengangguk paham. Lalu suasana mendadak hening kembali, baik aku maupun Mas Yaksa sama-sama mencoba memfokuskan diri dengan tontonan yang ada di hadapan kami.
"Aku minta maaf banget soal Alin, Mas," ucapku kemudian.
Mas Yaksa tidak menoleh tapi dia mengangguk untuk mengiyakan. "Udah Mas maafin lain kali jangan diulangi lagi."
Aku mengangguk cepat. "Iya, Mas," jawabku kemudian.
"Minggu depan kamu sudah bisa kembali bekerja. Tapi Mas nggak kasih izin kamu motoran, harus dianter-jemput Pak Joko dan kalau kamu shift pagi kita berangkat bareng."
"Tapi, Mas," aku kurang setuju dengan ide Mas Yaksa.
Mas Yaksa langsung menoleh ke arahku. "Nggak ada penolakan, Geya. Mas bahkan sudah kasih kamu kebebasan untuk kembali bekerja."
Mendengar kalimat itu, mau tidak mau aku pun hanya mampu mengangguk pasrah. Benar, sekarang aku sudah menjadi tanggung jawab Mas Yaksa, sedikit banyak memang sudah seharusnya aku menurut padanya.
"Astagfirullah!" Aku berseru spontan saat mencoba mengembalikan fokusku pada tayangan di tv, justru disambut sebuah adegan dewasa yang sedang berciuman.
"Apa sih, Geya? Bikin kaget saja," protes Mas Yaksa dengan wajah datarnya.
Ekspresinya masih tenang tidak menggambarkan kalau kaget seperti yang baru saja dikatakannya. Ia baru terkekeh saat mendapati wajah cemberutku.
"Kita sudah sama-sama dewasa, Geya dan bahkan sudah menikah. Nonton beginian untuk referensi nggak masalah. Mau langsung praktek?" godanya iseng.
"Apa sih? Nggak jelas."
"Pelan-pelan. Step by step, Geya."
Dapat kurasakan tiba-tiba jemari Mas Yaksa menyusup di sela jari-jemariku. Tak butuh waktu lama tanganku berada dalam genggamannya.
"Di mulai dari ini. Lalu ke sini."
Seketika aku mematung saat merasakan sentuhan jarinya pada bibiku. Entah karena suasana remang-remang yang mendukung atau memang aku yang tidak bisa berpikir jernih. Tapi yang jelas pikiranku benar-benar kacau hanya karena sentuhan itu.
Gila! Bibirku hanya disentuh pakai jari apa kabar kalau bibir ketemu bibir?
"Mau coba?"
Lamunanku seketika langsung buyar. "Apa?"
"Yang kayak barusan di tv."
Dadaku terasa berdesir. Ada letupan aneh yang tidak dapat kujelaskan. Aku berniat kabur dan melarikan diri tapi aku lupa kalau tanganku sedang berada di genggaman Mas Yaksa.
"Mau ke mana?"
Aku menggeleng dan kembali membenarkan dudukku.
"Mas minta hak Mas sekarang?"
"Belum. Mas mau kita berproses, Geya. Step by step."
Mendadak aku teringat kalimat Yasmin. Pikiranku semakin terasa kacau. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
"Oke."
"Apa?"
"Aku mau."
"Kamu mau apa, Geya?"
Berbanding balik denganku yang sudah gugup setengah mati, ekspresi maupun nada bicara Mas Yaksa masih terkesan kalem dan tenang.
Aku kemudian menunjuk ke arah layar, yang sebenarnya tidak benar-benar kami tonton.
"Yang kayak tadi."
"Lain kali ya," ucapnya masih tetap tenang. Ia tersenyum tipis sambil mengangkat tangannya yang menggenggam telapak tanganku, "untuk malam ini, ini dulu." Dan anehnya aku merasa sedikit kecewa.
"Ngomong-ngomong sebelum sama Mas, kamu beneran nggak punya pacar?"
Aku mendengus saat mendengar pertanyaan Mas Yaksa. "Menurut Mas kalau aku punya pacar dia bakalan rela ngeliat pacarnya dinikahi mantan calon kakak iparnya sendiri?"
Mas Yaksa mengangguk. "Benar juga sih. Tapi dulu setahu Mas belum ada cowok yang dateng ke rumah, kamu benar-benar nggak punya pacar selama ini?"
"Kalau iya kenapa? Kenapa Mas Yaksa mau tahu?"
"Karena sekarang kamu istri Mas, Geya."
Benar. Sekarang aku istri Mas Yaksa dan kami adalah sepasang suami-istri.
To be continue,
author nya dah pintar nih......... ☺