Kembali ke masa lalu, adalah sesuatu yang mustahil bagi Nara.
Tapi demi memenuhi keinginan terakhir sang putri, ia rela melakukan apapun bahkan jika harus berurusan kembali dengan keluarga Nalendra.
Naraya bersimpuh di hadapan Tama dengan deraian air mata. Ia memohon padanya untuk menemui putrinya dan membiarkan sang putri melihatnya setidaknya sekali dalam seumur hidup.
"Saya mohon temui Amara! Jika anda tidak ingin menemuinya sebagai putri anda, setidaknya berikan belas kasihan anda pada gadis mungil yang bertahan hidup dari leukimia"
"Sudah lebih dari lima menit, silakan anda keluar dari ruangan saya!"
Nara tertegun begitu mendengar ucapan Tama. Ia mendongak menatap suaminya dengan sorot tak percaya.
****
Amara, gadis berusia enam tahun yang sangat ingin bertemu dengan sang ayah.
Akankah kerinduannya tak tergapai di ujung usianya? Ataukah dia akan sembuh dari sakit dan berkumpul dengan keluarga yang lengkap?
Amara Stevani Nalendra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemberhentian kerja & Ancaman
Bersandar pada jok mobil, kedua tangan Nara terlipat di dada. Pikirannya kosong, sekosong sorot matanya yang menatap lurus ke depan.
Dia sudah menduga dengan tanggapan orang tua Tama yang menolak keras hubungannya dengan putra mereka.
Sementara Tama, dia fokus dengan roda kemudi. Pandanganya tak teralihkan dari padatnya jalanan barang sebentar.
Untuk melirik wajah Nara yang duduk di sampingnya pun seakan tak sanggup. Dia sangat mengerti dengan situasi hati Nara yang mendapat penolakan dari sang bunda.
Nara menghela napas panjang bersamaan dengan laju mobil yang melambat karena terjebak lampu merah.
Mereka sama-sama membisu sampai lampu merah berganti hijau dan mobil kembali berjalan tidak ada yang bersuara. Mereka benar-benar seperti orang asing dengan pemikirannya masing-masing.
Hanya selang beberapa detik, mata Nara mengerjap dan bergerak mengamati sekitar, lalu menengok ke arah Tama.
"Katanya mau mengantarku pulang?" Tanya Nara heran, sebab Ia menyadari bahwa jalan yang sedang di lewati, bukanlah jalan menuju rumahnya.
"Kita mampir dulu ke taman kota" balasnya setelah melirik Nara sekilas, lalu kembali menatap ke depan. "Aku tahu suasana hatimu sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak mau kamu mogok bicara seperti ini, itu sebabnya aku membawamu untuk membahas ini di sana"
Dahi Nara seketika berkerut mendengar perkataan Tama. Ia sama sekali tak menyangka jika Tama menganggap dirinya tak mau bicara.
Sesampainya di taman kota, Tama sengaja memilih tempat sepi agar dia bisa bebas berbicara dengan Nara.
"Aku tidak akan menghentikan usahaku hanya karena bunda belum menyetujui rencana kita" ujar Tama. Mereka kini sudah duduk tak berjarak secara berdampingan di bangku panjang. "Aku akan terus memperjuangkan kamu sampai bunda menerima hubungan kita. Aku ingin kamu tahu, bahwa aku benar-benar serius denganmu"
Sepasang netra Nara menatap Tama selagi mengatakan itu.
Ketika Tama memalingkan wajah untuk melihatnya, persekian detik Nara menjatuhkan pandangannya pada dada Tama. Ia tak mampu jika harus beradu pandang dengan pria di samping kirinya.
"Apa aku sebaiknya mundur?"
Tiba-tiba Tama langsung meraih kedua tangan Nara, lalu menggenggamnya dengan sangat kuat.
"Please Na, jangan pernah punya pikiran seperti itu" sergahnya cepat. "Aku sangat mencintaimu, aku tidak mau kehilanganmu"
Nara menggigit bibir bawah bagian dalam sebelum kemudian kembali bersuara. "Aku sadar dengan statusku, dan itu mustahil bagiku untuk menjadi istrimu"
"Apanya yang mustahil? Sudah ku bilang aku akan berjuang, aku tidak peduli dengan statusmu. So please believe me"
Hening, mereka terdiam. Pandangan Tama terus tertuju pada wajah Nara yang tengah menunduk menatap tangan mereka yang saling bertaut.
Detik berikutnya Nara mencium genggaman mereka sedikit lebih lama.
"Aku percaya padamu" ucap Nara akhirnya. Lalu di balas kecupan di keningnya oleh Tama.
"Jangan ada kata menyerah Na, yang justru akan membuatku patah semangat. Kamu cukup diam, biar aku yang berjuang. Mengerti?"
Nara mengangguk sebelum kemudian tersenyum.
"Jangan diamkan aku seperti tadi" lanjut Tama sambil membelai pipi Nara.
Sementara Nara mengernyit dengan tatapan heran.
"Aku antar kamu pulang sekarang"
*****
Sudah tiga hari makan malam itu berlalu, Nara bekerja seperti biasa. Yang membedakan adalah selama tiga hari itu, ia tak melihat bu Rania datang ke kantor. Selain itu, Baru kali ini Nara tak mendampingi Tama melakukan perjalanan bisnis ke luar kota yang baru berangkat tadi pagi.
Ketika dia sedang fokus dengan pekerjaannya, tiba-tiba di kejutkan dengan suara notif pesan yang masuk ke gawainya.
Bu Rania : "Temui saya di cafe B & J sepulang kantor"
Jantung Nara seketika berdebam tak karuan saat membaca pesan dari atasannya.
Pikirannya bertanya-tanya kenapa nyonya CEO mengajaknya bertemu, namun ia sama sekali tak menemukan jawaban apapun. Ia tak bisa menerka alasan yang tepat di balik ajakan bu Rania.
Sore harinya, pekerjaan pun berada di ujung jam pulang kantor. Ia segera mengemasi beberapa kertas lalu menatanya dengan sangat rapi.
Tepat ketika ia baru saja keluar dari gedung bertuliskan Angkasa Group, Ia sudah di sambut oleh pak Agus.
"Nona Nara" panggilnya lengkap dengan seulas senyum.
"Iya pak?"
"Saya mendapat tugas dari bu Rania untuk menjemput dan mengantarkan nona Nara ke B & J cafe"
Agus yang merupakan sopir dari pak Idris, sudah cukup dekat dengan Nara, karena mereka sama-sama bekerja untuk keluarga Nalendra.
Pembawaan Nara yang kalem serta ramah, membuat Agus menyayangi gadis itu seperti anaknya sendiri.
"Mari"
Sebenarnya Nara heran kenapa harus di jemput dan di antar sekaligus oleh sopir mereka, tapi dia tak punya waktu untuk bertanya apalagi menolak.
Akhirnya dengan terpaksa, Nara memasuki mobil mewah milik keluarga pak Idris setelah Agus membukakan pintu dan mempersilakannya naik.
"Non, saya dengar dari bik Sani kemarin tuan muda mengajak nona makan malam. Benarkah itu?" Agus bertanya seraya melihat Nara melalui spion tengah di dalam mobil. Bibirnya menyunggingkan senyum seperti ikut merasa senang dengan acara makan malam mereka.
"Iya pak"
"Dan saya dengar, jika tuan muda mencintai Nona"
Nara merasa gugup usai mendengar kalimat Agus.
"Saya do'akan semoga hubungan kalian berlanjut ke jenjang pernikahan"
"Terimakasih pak"
"Kalian terlihat sangat cocok, saya senang jika tuan muda memiliki istri seperti nona. Yang sudah jelas, baik, ramah, pintar, cantik pula"
"Itu berlebihan pak?"
Pak agus menggelengkan kepala untuk merespon sanggahan Nara, lengkap dengan bibir terulas lebar.
Hingga cukup banyak hal yang mereka bicarakan, tahu-tahu sudah sampai di tujuan.
Dengan cepat Agus keluar dari mobil setelah mematikan mesinnya. Kemudian membuka pintu bagian penumpang dimana Nara duduk.
"Terimakasih pak" ucap Nara sembari menunduk ramah.
"Sama-sama Non. Nyonya besar ada di meja nomor tiga"
Nara mengangguk merespon ucapan Agus, lalu bergegas melangkahkan kaki menuju meja yang sudah di beritahu oleh sang sopir.
Perlahan, langkahnya semakin dekat dengan meja bernomor tiga, dimana sudah ada bu Rania yang tengah menyesap minuman di cangkirnya.
"Selamat sore bu"
"Sore" jawabnya datar "Silahkan duduk" lanjutnya masih tanpa ekspresi.
Nara tak berani membuka obrolan terlebih dulu. Ia memilih diam dan menunggu bu Rania berbicara.
Hingga beberapa detik berlalu,,
Bu Rania meraih amplop dari dalam tasnya, lalu menggesernya di atas meja. "Ini pesangon untukmu, besok saya tunggu surat pengunduran dirimu, dan taruh di atas meja saya. Silahkan bereskan barang-barangmu karena mulai besok kamu saya berhentikan dari perusahaan saya"
Pandangan Nara yang tadinya jatuh pada amplop putih, kini ia beranikan untuk menatap wajah bu Rania bermaksud mencari kesungguhan dari ucapannya barusan.
Selang dua detik, wanita paruh baya itu kembali menyerahkan amplop berwarna coklat "Pergilah dari kehidupan anak saya sejauh mungkin, dengan uang ini kamu bisa meninggalkan kota ini secepatnya"
Nara masih tak bergeming, ia tak habis pikir dengan pertemuan yang selain untuk memberhentikan dirinya dari pekerjaan, dia juga di bayar untuk meninggalkan putra semata wayangnya.
"Saya dan suami saya, tidak mungkin menikahkan anak kami dengan wanita sepertimu. Dia adalah penerus kami satu-satunya, dan harapan kami, dia bisa menikah dengan wanita dari kalangan yang sederajat dengan kami. Jadi saya tegaskan, tinggalkan anak saya karena sampai kapanpun, saya tidak akan pernah merestui hubungan kalian apalagi menikahkan kalian"
Usai mengatakan itu, bu Rania langsung berdiri, Dan langsung di ikuti oleh Nara yang juga ikut berdiri.
"Nyonya tidak perlu membayar saya untuk meninggalkan putra nyonya, jadi akan lebih baik nyonya ambil kembali uang itu"
Rania berdecih "Ckk orang miskin yang sombong" sinisnya dengan tatapan mengejek. "Itu kan yang kamu inginkan dari anak saya? Rugi kalau sampai saya menerimamu"
"Sebelumnya saya minta maaf atas perkataan yang saya ucapkan, tapi saya memang bukan wanita yang mencintai seseorang demi harta. Dan saya tidak butuh uang itu"
"Oh, jadi kamu tidak mau meninggalkan anak saya? Seharusnya kamu sadar, bahwa gadis sepertimu tidak sepadan dengan anak saya" katanya dengan intonasi meninggi dan angkuh.
"Mau di taruh mana muka saya jika memiliki menantu miskin sepertimu, menantu dari keluarga yang derajatnya sangat jauh di bawah saya. Jangan mimpi kamu. Wanita sepertimu tidak pantas bersanding dengan anak saya. Kamu tahu dimana keberadaan langit dan bumi kan?, itu ibarat kamu dengan anak saya"
Mendengar semua perkataan bu Rania, hati Nara merasa tercubit sangat keras, hingga sakit itu terasa begitu menyesakkan.
"Tinggalkan anak saya jika kamu tidak ingin berurusan lebih jauh lagi dengan saya. Jika tidak, kamu akan menyesal" Ancamnya sadis, lalu meraih kembali amplop coklat itu. "Satu lagi" Tambahnya dengan mata berkilat merah "Tama akan menikah sesuai dengan gadis pilihan saya. Gadis yang setara dengan keluarga Nalendra"
Rania segera pergi dari hadapan Nara sesaat setelah mengucapkan itu.
Bersambung
suka banget sama karya2mu..
semoga sehat selalu dan tetap semangat dalam berkarya.. 😘🥰😍🤩💪🏻